Breaking News

Selasa, 12 April 2011

DAN CAMAR PUN HARUS PULANG KE PANGKUAN MARCUSUAR

“Yaa ayatuhannafsul mutmainnah, irji’ii ilaarobbiki roodiyatanmardiyyah, fadkhuli fii’ibadi, wadkhulii jannati”
( Hai jiwa yang tenang, Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya, Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku,  masuklah ke dalam syurga-Ku )

Pagi yang cerah masih diselimuti embun semalam, di suatu sudut desa terpencil terdengar lantunan ayat suci Al-Quran yang tak begitu cantik nada-nadanya, suara khas lelaki tua yang sudah mulai menunjukkan wajah lelah terhadap kehidupan ini, kehidupan sebagai manusia yang tak selamanya perkasa. Lantunan bait-bait puisi  Tuhan yang ia bacakan menyusup ke setiap sela rerumputan yang selalu bertasbih atas kesucian Tuhan-nya. Menembus beningnya embun pagi dan membiaskannya menjadi nada-nada alam yang hanya bisa dimengerti oleh makhluk yang berkenan untuk membaca kekuasaan Tuhan.

Di kejauhan sana masih terdengar suara kokok ayam jago yang bersiap untuk menantang hari, menelusuri alam mencari rizki di bawah terik sinar mentari. Seekor ayam yang tak mampu berfikir, namun dengan kekuasaan-Nya tetap hidup dalam kegembiraan sebagai seekor ayam. Walaupun insting mencari makan dimiliki oleh setiap makhluk hidup, namun hanya manusialah yang berkelebihan untuk mencari rizki dengan tenaga dan otak.
Tak tertinggal ngengat-ngengat malam yang mulai risau dengan kehadiran sang mentari, sinarnya menggiring mereka untuk segera menepi ke rerimbunan semak belukar. Hukum alam harus tetap berlaku, kehidupan malam harus berganti dengan kehidupan siang. Perputaran bola dunia pun harus tetap berjalan. Ngengat harus tahu diri jika ia ditakdirkan Tuhan hanya untuk menghiasi malam. Hanya manusialah yang diberi kekuasaan oleh Tuhan untuk hidup di bawah naungan mentari dan di bawah belaian cahaya rembulan sembari bersujud mengesakan Asma-Nya. Nikmat Tuhan mana yang wajar didustakan, jika manusia diberi kekuasaan yang demikian lebihnya. Menguasai cerita dunia di semua sudutnya, di segala dimensi waktu dan disetiap perputaran jarum jam. Bandingkan dengan nasib ngengat-ngengat malam, dimanakah letak kisah mereka?
Demi Dzat Yang Tak Pernah Lupa. Tak ada ruang dan waktu untuk melupakan karunia-Nya. Karunia yang tak ternilai lebihnya. Nikmat hidup dalam kelengkapan sebagai makhluk terindah di muka bumi ini, yang haus dengan catatan kisah di masa mendatang. Bukan manusia jika ia tak mampu berfikir yang demikian. Manusia pun harus tahu diri seperti halnya ngengat yang mampu bertingkah laku benar dengan segala kekurangan.
            Lantunan ayat-ayat Al-Quran yang sedari tadi membelai jagat mulai menghilang dan kini berganti dengan suara kicauan burung kutilang di atas pohon nangka di samping rumah. Ia tetap bertengger di dahan hingga kutilang lain mengajak untuk terbang ke angkasa mencari kebebasan, kebebasan atas seekor burung. Kebebasan yang tak dimiliki oleh makhluk yang berfikir. Mereka harus tetap mengepakkan sayap agar tetap dapat disebut sebagai burung sejati, berkicau atas nama Tuhan-nya. Begitu juga manusia, harus tetap melangkahkan kaki menelusuri dunia sembari membaca ke-Esa-an Tuhan agar tetap dapat disebut sebagai manusia yang beriman. Maka, bersyukurlah menjadi makhluk yang berakal.
            Dia, bukanlah seorang yang masyhur apalagi berpunya. Dia juga bukan seorang yang berilmu apalagi bertahta. Dialah ayahku, ayah yang selalu menaungi setiap langkahku. Dialah ayahku, yang telah melantunkan kisah cinta terhadap Tuhan-nya dan dia pula lah yang telah membangunkanku dari mimpi buruk semalam, mimpi sebagai seorang anak yang tak tahu diri terhadap Tuhan-nya.
            “Rozi, bangun! Lihatlah sekelilingmu, tak malukah engkau dengan kisah si ayam jago yang selalu bersujud diawal waktu, ketika Tuhan telah menjadikan goresan tinta sang mentari menjadi hiasan alam raya ? Tak malukah engkau dengan ngengat yang telah bertasbih semalaman atas nama Kesucian Tuhan-Nya, kini giliranmu untuk menggantikan peran mereka? Ayo bangun, sang mentari sudah mulai menampakkan wajahnya anakku!”
            Hampir setiap hari ia membangunkanku dengan kalimat-kalimatnya yang penuh hikmah kasih sayang. Kalimat yang selalu membuatku berfikir, mengapa ia begitu sabar menghadapi tingkah lakuku yang tak dapat diterima oleh kebaikan milik orang banyak. Kebaikan yang belum dapat ku mengerti artinya.
            Dengan segala rasa kantuk, kupaksakan langkah kaki untuk bersegera mengambil air wudlu sedapatnya. Semua ini kulakukan dengan rasa yang tak dapat dikatakan penuh keikhlasan, hanya sebagai syarat menggugurkan kewajiban sebagai seorang muslim. Kubasuh muka penuh kekusaman ini tiga kali, agar aku mengerti apa arti sebuah keceriaan hidup. Kubasuh kedua lengan hingga batas sikut, agar aku mengerti manfaat kedua tanganku yang selalu menjamah barang-barang nista tanpa adanya pembatas. Kuusap jidatku yang isinya selalu kering dengan pemikiran hebat, agar rasa hausnya terobati oleh air suci ini. Kuusap pula kedua telingaku, agar ia tak lagi dipenuhi dengan suara-suara yang selalu menghujat nikmat-Nya dan kubasuh kedua kakiku, agar ia mampu berjalan di tengah kegersangan dunia ini dengan penuh keteguhan. Tuhan, dimanakah letak hikmah amalan-Mu ini bila aku tak mampu merasakan nikmatnya?
            Rasa kantuk hasil semalam, belum sirna walaupun air telah membelainya. Aku tertidur lagi, kembali pada mimpi buruk semalam. Mimpi yang tak kuharap menjadi kenyataan. Mimpi itu terlihat begitu nyata, hingga air mata tak mampu kubendung alirannya.
            “Rozi, lihatlah di angkasa terlihat serombongan burung pipit yang sedang menuju arah datangnya sinar mentari. Tak tahukah engkau jika mereka tidak mempunyai nasib sepertimu? Hari ini kau harus pergi ke asrama lagi, bukankah kemarin kau tak mendapatkan izin pulang dari asrama?” Seketika itu juga, pikiranku menuju asrama yang penuh dengan aroma kegelisahan bagi jiwa yang menginginkan kebebasan lebih. Aku harus segera bersiap-siap menantang apa-apa yang menghalangiku.
            Tepat jam tujuh pagi, kulangkahkan kaki ini dengan penuh keyakinan jika aku mampu untuk menaklukkan dunia. Menaklukkan segala mimpi-mimpi indahku dan menjinakkan mimpi buruk semalam.Bismillahi tawakkaltu ‘alallah, laakhaula wala kuwwata illabillahil ‘aliyyil ‘adziim.

***
            “Apa yang harus saya lakukan Pak Kiyai? Saya bukan orang yang berpunya, sedangkan anak saya memiliki cita-cita yang melambung ke langit tertinggi meluas hingga ujung dunia dan menjuantai sampai ke ufuk, untuk makan sehari-hari saja tak kepalang repotnya, saya merasa sudah sangat lelah untuk bekerja kasar Pak Kiyai”.
“Ketahuilah anakku, bahwasannya tak ada hal yang menyulitkan bagi Tuhan untuk mengurus seluruh makhluknya dalam sekali waktu. Adapun cita-cita anakmu itu merupakan bagian dari kekusaan-Nya. Lantas apa yang kau risaukan wahai anakku? Bersegeralah kau mencari rizki yang tercecer di jalanan, yang tak dihargai lagi oleh kebanyakan manusia. Ambillah ia sebagai jalan rizkimu, walaupun pekerjaan itu terlihat nista, namun ketahuilah anakku, anak-anakmu adalah pembawa berkah bagimu, tahukah engaku jika takdir Tuhan tak ada yang mengetahuinya”, jawab Pak Kiyai.
            Pak Anwar hanya menunduk sembari menyernyitkan jidat berusaha mengartikan kalimat yang di sampaikan oleh Pak Kiyai. Raganya serasa melayang-layang entah kemana, karena keterbatasan dalam menyerap sesuatu yang terlalu sulit dimengerti. “Jika Tuhan Maha Kuasa, kenapa Ia tidak berkenan memberiku kemudahan untuk menghidupi anak dan istriku, mengapa Pak Kiyai memberiku peluang kerja yang demikian susahnya untuk dijalani oleh seorang keturunan yang pernah terhormat ?”. Sesungguhnya, ia – Pak Anwar sudah cukup mensyukuri nikmat Tuhan yang telah dianugrahkan kepadanya, namun ia hanya manusia biasa yang dalam keadaan tertentu memiliki tuntutan berlebih.                   
Dalam hati ia bangga melihat anaknya memiliki cita-cita mulia yang sedemikian melambungnya. Bagaimana tidak dianggapnya membumbung tinggi, ia hanya seorang pekerja kasar yang tak kepalang memalukan bagi kebanyakan orang. Ia hanya seorang pemulung sampah-sampah yang berserakan di pinggir jalanan. Sedangkan anaknya memiliki cita-cita menjadi seorang yang mampu memungut sampah dengat sekali suara. Di dalam hati, sebenarnya ia hanya bisa tertawa dalam kesedihan yang mendalam saat mendengar ocehan anak kesayangannya itu, anak seorang pemulung berani-beraninya memiliki keinginan yang demikian hebatnya.
            Setiap hari ia harus berangkat pagi agar dapat mengumpulkan sampah-sampah hasil kegiatan manusia dimalam hari. Dengan penuh ketabahan menahan rasa malu, dia tetap harus menunduk mengais rizki yang berceceran. Punggungnya harus memikul karung, merunduk di hadapan orang-orang hanya demi sebuah botol bekas air mineral. Dia harus rela tangan yang selalu dibasuh dengan air suci untuk membongkar tempat sampah yang penuh najis di pinggir jalan hanya demi beberapa barang daur ulang.
Lihatlah pula, ketika ia harus menghadiri acara pengajian dengan pakaian lusuh dikala orang-orang berpakaian rapih mengenakan peci, sedangkan ia hanya mengenakan topi kusam yang didapatkan di jalan. Ia hanya menunggu, menunggu sang imam membacakan do’a khataman. Do’a yang memohon kepada Tuhan-nya agar jama’ah dan para tamu undangan diberi rahmat dan rizki yang berlimpah. Lihatlah ia, bolehkah ia mengamini do’a yang dikhususkan untuk para hadirin? Sedangkan  ia hanya tamu yang tak diundang.
Demi Dzat yang Maha Pemurah. Ketika surat al-Fatihah mulai dibacakan dan suara kursi mulai beradu, ia mulai beraksi menelusuri longan-longan kursi. Berebut mengumpulkan gelas plastik dan kertas. Ia tetap harus tetap menundukkan kepala dan punggung menahan rasa. Demi Dzat Yang Maha Suci, nistakah pekerjaannya ?
Dialah ayahku, ayah yang selalu kubangga-banggakan. Yang selalu tersenyum dalam kelelahan, berusaha tertawa dalam kedukaan dan selalu menantang matahari dengan segala kekuasaan yang dimiliki. Dialah ayahku, dia telah berbohong kepada keluarganya, walaupun ia tak pernah berkata bohong. Ketika pertama kali aku mengetahuinya, begitu hancur hati ini mendengarkan pengakuaan yang ia tuturkan. Seketika itu juga tubuh ini serasa melayang di atas awan dan harus jatuh terhempas ke dalam lubang jalanan.
Dialah ayahku, putra seorang almarhum yang terhormat di desanya. Putra seorang yang bernasab terpandang. Namun, kehormatan itu harus terhenti karena pekerjaannya atas pandangan masyarakat. Sungguh, bukan mutlak karena hal tersebut aku merasa sangat terpukul. Karena kebohongan yang ia tutup-tutupi, padahal aku sendiri selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Aku lebih suka memulung bersama dia di desa sendiri dan berusaha jujur kepada masyarakat dengan menantang gaharnya mentari yang menghujat pandangan pekerjaan ini.
            Namun, aku harus menyadari betapa berat pengorbanan yang telah ia berikan kepada keluarganya. Ia lebih menginginkan kesedihan itu dirasakan sendirian tanpa harus membuat keluarganya malu. Rahasia ini kupendam rapat-rapat, bukan karena aku malu karenanya. Aku lebih memilih perasaan keluarga ayah dan kehormatannya. Demi Tuhan, aku rela memikul beban yang diderita ayah. Akhirnya ayah lebih memilih menghentikan pekerjaan tersebut demi menjaga perasaan keluarganya.


***
            Langkah kaki yang kutapakkan di setiap jengkal di tanah merah pegunungan menyisakan jejak yang terlihat sepanjang jalan. Semalam hujan telah turun mengguyur bumi, menyirami kegersangan yang diderita tumbuhan. Sembari bersiul-siul menyanyikan lagu cinta burung camar yang bebabas di lautan lepas. Untuk mencapai jalan raya, aku harus menyusuri jalanan di daerah gunung yang masih terlihat rindang.
            Di kiri-kanan terlihat orang-orang sedang menggarap kebunnya. Di atas dahan pohon rambutan, burung perkutut sedang bercumbu dengan pasangannya. Suasana alam pedesaan yang belum terjamah oleh pembangunan seperti halnya di kota metropolitan. Tak ada suara deru mesin pabrik, tak ada asap hitam yang menutupi awan. Inilah suasana pedesaan yang menyimpan sejuta ketenangan dan kedamaian.                   
Bayanganku melayang menuju masa depan. Mimpi-mimpiku telah menjadi kenyataan, semua hal yang pernah kuharap-harapkan terkabul dengan mudahnya. Aku telah menjadi sesosok yang disegani dan terhormat.
            “Purwokerto, purwokerto, purwokerto….!” Aku tersentak dari lamunan ketika mendengar kenek bis yang bersuara lantang. Saat itu jarum jam di tanganku menunjukkan pukul setengah delapan tepat. Aku harus segera menumpang bis untuk dapat menuju ke asrama di Purbalingga. Kumantapkan langkah kaki untuk mengejar matahari................Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By