Breaking News

Jumat, 10 Juni 2011

Akhlak Hubungannya dengan Kebebasan, Tanggung Jawab dan Hati Nurani

Kebebasan atau kemerdekaan menyalurkan kehendak dan kemauan adalah sebuah term yang sering diperdebatkan secara sengit, bahkan dalam sejarah teologi tercatat ada dua kelompok yang berlawanan mengenai ini, kelompok pertama adalah kelompok Qadariyah yang mengatakan bahwa manusia memiliki kehendak dan kemauan yang bebas dan merdeka menurut kemauan dirinya,[1] sedangkan kelompok yang kontra, kedua adalah kelompok Jabariyah, yang mengatakan bahwa manusia tidak memiliki kebebasan untuk melakukan perbuatannya sendiri, tetapi dibatasi dan ditentukan oleh Allah Swt.[2] Sebagian ahli filsafat modern seperti Spinoza, Hucs dan Mrache sepakat dengan pendapat kedua, tetapi tidak dengan sebagian filosof yang lain.[3]

Kebebasan, sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad Charris Zubair, terjadi apabila kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak tidak dibatasi oleh suatu paksaan dari atau keterikatan kepada orang lain. Paham ini disebut dengan bebas negatif, karena hanya dikatakan bebas dari apa, tetapi tidak ditentukan bebas untuk apa. Seseorang bebas apabila: dapat menentukan sendiri tujuan-tujuannya dan apa yang dilakukannya; dapat memilih antara kemungkinan-kemungkinan yang tersedia baginya; dan tidak dipaksa atau terikat untuk membuat sesuatu yang tidak akan dipilihnya sendiri ataupun dicegah dari berbuat apa yang dipilihnya sendiri, oleh kehendak orang lain, negara atau kekuasaan apa pun.[4] Kebebasan di sini tidak terkait dengan keterbatasan dalam penentuan jenis kelamin, kesukuan atau lainnya, yang sifatnya fisik, karena keterbatasan itu tidak mengurangi kebebasan itu sendiri.
Kebebasan dilihat dari segi sifatnya terbagi tiga. Pertama, kebebasan jasmani, yaitu kebebasan dalam menggerakkan dan mempergunakan anggota badan. Kedua, kebebasan berkehendak (kebebasan rohaniah), yaitu kebebasan untuk menghendaki sesuatu. Dan ketiga, kebebasan moral yang dalam arti luas berarti tidak adanya macam-macam ancaman, tekanan, larangan dan lain desakan yang tidak sampai berupa paksaan fisik. Dan dalam arti sempit berarti tidak adanya kewajiban, yaitu kebebasan berbuat apabila terdapat kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak.
Kebebasan ini ditantang jika berhadapan dengan kewajiban moral. Sikap moral yang dewasa adalah sikap bertanggung jawab. Tak mungkin ada tanggung jawab tanpa ada kebebasan. Di sinilah letak hubungan kebebasan dengan tanggung jawab. Berkaitan dengan tanggung jawab ini, maka kebebasan dapat mengandung arti: Kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri; kemampuan untuk bertanggung jawab; kedewasaan manusia; dan keseluruhan kondisi yang memungkinkan manusia melakukan tujuan hidupnya. Dan tingkah laku yang didasarkan pada sikap, sistem nilai dan pola piker berarti adalah tingkah laku yang berdasarkan pada kesadaran diri, bukan instintif, yang ini berarti terdapat makna kebebasan yang merupakan obyek materia etika. Sejalan dengan adanya kebebasan atau kesengajaan, maka orang tersebut harus bertanggung jawab terhadap tindakannya yang disengaja itu, paling tidak bertanggung jawab terhadap hati nuraninya, keyakinannya terlebih pada agama dan masyarakat.
Hati nurani atau intuisi merupakan tempat di mana manusia dapat memperoleh saluran ilham dari Tuhan. Hati nurani ini diyakini selalu cenderung kepada kebaikan dan tidak suka pada keburukan. Sehingga atas dasar inilah muncul sebuah aliran atau paham intuisisme, yaitu paham yang mengatakan bahwa perbuatan yang baik adalah perbuatan yang sesuai dengan kata hati, sedangkan perbuatan yang buruk adalah perbuatan yang tidak sejalan dengan kata hati nurani. Karena sifatnya yang demikian itu, maka hati nurani harus menjadi salah satu dasar pertimbangan dalam melaksanakan kebebasan yang ada dalam diri manusia, yaitu kebebasan yang tidak menyalahi atau membelenggu hati nuraninya, karena kebebasan yang demikian itu pada hakikatnya adalah kebebasan yang merugikan secara moral.
Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa suatu perbuatan, dapat dikatakan sebagai perbuatan yang akhlaki adalah apabila dilakukan dengan tanpa ada paksaan, atas kebebasan sendiri, sesuai hati nurani dan dapat dipertanggung jawabkan.


[1] Senada dengan ini Q.S. al-Kahfi, [18]: 29; Fushilat, [4]: 40; dan Ali ‘Imran, [3]: 164.
[2] Harun Nasution. Teologi Islam. (Jakarta: UI Press. 1972). hal. 87.
[3] Ahmad Amin. Al-Akhlaq … hal. 53.
[4] Ahmad Charris Zubair. Kuliah Etika … hal. 39-40.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By