Breaking News

Jumat, 10 Juni 2011

Akhlak Islami, Induknya dan Pembentukannya

1.      Pengertian Akhlak Islami
Akhlak Islami secara sederhana dapat diartikan sebagai akhlak yang berdasarkan ajaran Islam atau akhlak yang bersifat Islami. Akhlak Islam ini sifatnya universal yang untuk menjabarkannya diperlukan bantuan pemikiran akal manusia dan kesempatan sosial (kondisi dan situasi) yang terkandung dalam ajaran etika dan moral di dalam suatu masyarakat tertentu. Menghormati orang tua misalnya, bagi orang Barat adalah dengan memberikan berbagai fasilitas hidup, bagi orang Sumatera adalah dengan hidup bersama, bagi orang Jawa dengan cara sungkem, bagi orang Sunda dengan cara cium tangan dan sebagainya.
Quraish Shihab menjelaskan bahwa tolok ukur akhlak Islami adalah ketentuan Allah, dan sesuatu yang dinilai baik oleh Allah pastilah esensinya baik pun demikian sebaliknya, tidak mungkin Allah menilai kebohongan sebagai suatu kelakuan yang baik. Sedangkan rumusan akhlak Islami itu sendiri diberikan oleh kebanyakan para ulama.[1]


2.      Induk Akhlak Islami
Akhlak secara garis besar terbagi kepada dua bagian, yaitu akhlak yang terpuji, al-akhlaq al-karimah dan akhlak yang tercela, al-akhlaq al-mazmumah. Dan secara teoritis macam-macam akhlak ini berinduk kepada tiga perbuatan utama, yaitu hikmah (bijaksana), syaja’ah (perwira, kesatria), dan iffah (menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat). Yang ini semua berinduk kepada sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia, yaitu ‘aql (pemikiran) yang berpusat di kepala, ghadab (amarah) yang berpusat di dada, dan nafsu syahwat (dorongan seksual) yang berpusat di perut,[2] mengenai terakhir ini telah dibicarakan sebelum ini.
Tetapi walau demikian sikap adil ini tidak luput dari kritik para peneliti di bidang akhlak sebagaimana dikemukakan oleh Aristoteles yang diikuti oleh Ibn Miskawaih dan para filosof akhlak lainnya, di mana sikap adil, tengah-tengah ini tidak sepenuhnya diterima oleh mereka, karena menurutnya keutamaan sebenarnya berada pada titik yang jauhnya tidak sama dari dua sisi keburukan, sikap dermawan misalnya, akan lebih dekat kepada sikap boros dibandingkan pada sifat kikir. Demikian juga yang lainnya. Selain itu, lanjutnya, banyak keutamaan yang tidak mempunyai tengah-tengah seperti jujur dan adil itu sendiri pun demikian dengan benar dan baik. Sehingga dengan ini teori pertengahan tidak dapat menjelaskan seluruh contoh perbuatan akhlak yang baik ataupun yang buruk karena memang teori pertengahan hanya terbatas pada akhlak yang dasarnya adalah bersumber pada penggunaan potensi rohani, akal, amarah dan nafsu syahwat yang digunakan secara pertengahan.

3.      Ruang Lingkup Akhlak Islami
Berkenaan dengan ruang lingkup akhlak Islami ini sesungguhnya sama dengan ruang lingkup ajaran Islam itu sendiri, khususnya yang berkaitan dengan pola hubungan yang dimulai dengan akhlak kepada Allah Swt hingga kepada sesama makhluk yang tidak bernyawa sekalipun.[3]
a.       Akhlak kepada Allah Swt. Akhlak kepada Allah Swt adalah akhlak yang seharusnya dilakukan oleh setiap manusia sebagai makhluk kepada Khaliknya. Paling tidak ada empat alasan mengenai ini. Pertama, Allah-lah yang telah menciptakan manusia.[4] Kedua, Allah-lah yang telah memberi-kan perlengkapan pancaindera, akal pikiran, hati sanubari, disamping anggota badan yang kokoh dan sempurna.[5] Ketiga, Allah-lah yang tela menyediakan berbagai bahan dan sarana yang diperlukan bagi kelang-sungan hidup manusia.[6] Dan keempat, Allah-lah yang telah memuliakan manusia dengan diberikan kemampuan menguasai daratan dan lautan.[7] Quraish Shihab mengatakan bahwa titik tolak akhlak terhadap Allah Swt ini adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, Dzat Yang Mahaterpuji, Mahaagung.[8]
b.       Akhlak kepada sesama manusia. Berkaitan dengan akhlak terhadap sesama manusia, al-Qur’an telah banyak sekali merincinya baik dalam bentuk berita, perintah maupun dalam bentuk larangan.[9] Di sisi lain al-Qur’an juga menekankan hendaknya setiap orang didudukkan secara wajar, karena semua manusia pada hakikatnya adalah sama, hanya iman dan takwalah yang membedakan derajatnya di sisi Allah Swt.[10]
c.        Akhlak kepada lingkungan. Yang dimaksudkan dengan lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan maupun benda-benda yang tidak bernyawa. Akhlak terhadap lingkungan ini diajarkan oleh al-Qur’an berdasarkan fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi ini, yang berarti mengayomi dan memelihara lingkungan.[11] Berkaitan dengan ini Nabi Muhammad Saw bersabda:

اِتَّـقُوا اللهَ فىِ هَـدِهِ الْبَـهَائِمَ الْمُـعْجَمَةَ فَارْكَبُوْهَا صَالِـحَةً وَكُلُوْهَا صَالِـحَةً
“Bertakwalah kepada Allah dalam perlakuanmu terhadap binatang, kendarailah, dan beri makanlah dengan baik.”[12]

2.      Pembentukan Akhlak Islami
Pada hakikatnya pembentukan akhlak Islami sama dengan tujuan pendidikan, di mana tujuan pendidikan sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad D. Marimba bahwa tujuan utama pendidikan Islam adalah untuk menjadi hamba Allah Swt yang percaya dan menyerahkan diri sepenuh jiwa kepadaNya dengan memeluk agama Islam, ini sama dengan tujuan hidup semua umat Muslim.[13] Selain itu Muhammad Athiyah al-Abrasyi juga mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa dan tujuan pendidikan Islam.[14] Jadi dengan demikian pembentukan akhlak Islami adalah juga pembentukan hamba Allah Swt yang berbudi pekerti luhur sesuai dengan aturan Allah Swt.
Mengenai persoalan pembentukan akhlak ini, sebagian ulama mengatakan bahwa akhlak pada dasarnya tidak perlu dibentuk, karena akhlak adalah instinct (garizah) yang dibawa oleh manusia sejak lahir,[15] pembawaan dari manusia itu sendiri, yaitu fitrah berupa kata hati atau intuisi yang berkecenderungan kepada kebaikan, dan tumbuh dengan sendirinya tanpa pembentukan (ghair muktasabah).[16] Sedangkan sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa akhlak adalah hasil dari usaha (muktasabah), pendidikan, latihan, pembinaan dan perjuangan keras dan sungguh-sungguh.[17] Imam al-Ghazali misalnya, mengatakan bahwa :

لَوْ كَانَتِ الاَخْلاَقُ لاَ تَقْبَلُ الْتَّغَيُّرَ لَبَطَلَتِ الْوَصَايَا وَالْمَوَاعِظَ وَالْتَأْدِيْبَاتُ وَلِمَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَسِّنُوْا اَخْلاَ قَكُمْ
“Seandainya akhlak itu tidak dapat menerima perubahan, maka batallah fungsi wasiat, nasihat dan pendidikan dan tidak ada pula fungsinya hadis nabi yang mengatakan, “Perbaikilah akhlak kamu sekalian”.[18]

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa usaha pembinaan akhlak melalui berbagai lembaga pendidikan dan melalui berbagai macam metode terus dikembangkan. Sehingga menunjukkan hasil berupa terbentuknya pribadi-pribadi Muslim yang berakhlak mulia, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, hormat kepada ibu bapak, sayang kepada sesama makhluk Allah dan seterusnya. Keadaan sebaliknya juga menunjukkan bahwa anak-anak yang tidak dibina akhlaknya, atau dibiarkan tanpa bimbingan, arahan dan pendidikan, ternyata menjadi anak-anak yang nakal, mengganggu masyarakat, melakukan berbagai perbuatan tercela dan sebagainya.
Pembinaan akhlak menurut al-Ghazali juga bisa ditempuh dengan cara pembiasaan sejak kecil dan kontinyu.[19] Tetapi dapat juga dilakukan dengan cara paksaan, sehingga lama kelamaan itu akan menjadi kebiasaan. Dan cara yang tak kalah ampuhnya adalah dengan cara keteladanan.[20]
Selanjutnya pembinaan akhlak juga bisa dengan cara senantiasa merasa diri banyak kekurangannya dibanding kelebihannya. Sebagaimana dikatakan oleh Ibn Sina bahwa jika seseorang menghendaki dirinya berakhlak utama, hendaklah ia terlebih dahulu mengetahui kekurangan dan cacat yang ada dalam dirinya, dan membatasi sejauh mungkin untuk tidak berbuat kesalahan, sehingga kecacatannya itu tidak dalam kenyataan.[21]
Menurut para psikolog bahwa kejiwaan manusia berbeda-beda menurut perbedaan tingkat usia, karenanya cara yang paling efektif dalam melakukan pembinan akhlak ini adalah dengan memperhatikan faktor kejiwaan seseorang yang akan kita bina akhlaknya.
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak pada khususnya dan pendidikan pada umumnya, terdapat tiga aliran. Pertama, aliran konvergensi yang berpendapat bahwa pembentukan akhlak dipenga-ruhi oleh adanya faktor internal, yakni pembawaan dan eksternal, yakni pendidikan dan pembinaan. Aliran sesuai dengan ajaran Islam,[22] dalam sebuah hadis disebutkan bahwa.

كُلُّ مَـوْلُوْدٍ يُـوْلَدُ عَـلىَ الْفِـطْرَةِ فَاَبَـوَاهُ يُهَوِّدَانِـهِ اَوْ يُنَصِّرَانِـهِ اَوْ يُمَجِّسَانِـهِ
“Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan (membawa) fitrah (rasa ketuhanan dan kecenderungan kepada kebenaran), maka kedua orang tuanyalah yang membentuk anak itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (H.R. Bukhari)

اَدِّبُـوْا اَوْلاَدَكُمْ عَلىَ ثَلاَثِ خِصَـالٍ حُبِّ نَبِيِّـكُمْ وَحُبِّ اَهْلِ بَيْتِـهِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ فَاِنَّ حَمَـلَةَ الْقُرْآنِ فىِ ظِلِّ اللهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ اِلاَّ ظِلَّـهُ مَعَ اَنْبِيَـائِـهِ وَاَصْغِيَـائِـهِ
“Didiklah anakmu sekalian dengan tiga perkara: mencintai nabimu, mencintai keluarganya dan membaca al-Qur’an, karena orang yang membawa (hafal) al-Qur’an akan berada di bawah lindungan Allah, di hari tidak ada perlindungan kecuali perlindungan-Nya, bersama para nabi dan kekasihnya.” (H.R. al-Dailami dari Ali).[23]

Kedua, aliran nativisme yang mengatakan bahwa faktor yang paling berpengaruh adalah faktor bawaan dari dalam, aliran ini yakin terhadap potensi yang ada dalam diri manusia. Dan ketiga, aliran empirisme yang berlawanan dengan aliran nativisme, di mana faktor luarlah yang berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang.


[1] M. Quraish Shihab. Wawasan al-Qur’an. (Bandung: Mizan. 1996). Cetakan III. hal. 205 dan 261.
[2] Harun Nasution. Falsafat dan … hal. 17.
[3] M. Quraish Shihab. Wawasan al-Qur’an … hal. 261.
[4] Q.S. al-Thariq, [86]: 5-7; dan al-Mu’minun, [23]: 12-13.
[5] Q.S. al-Nahl, [16]: 78.
[6] Q.S. al-Jatsiyah, [45]: 12-13.
[7] Q.S. al-Isra’, [17]: 70.
[8] M. Quraish Shihab. Wawasan al-Qur’an … hal. 262.
[9] Lihat misalnya Q.S. al-Baqarah, [2]: 263.
[10] Lihat misalnya Q.S. al-Nur, [24]: 58; al-Baqarah, [2]: 83; al-Ahzab, [33]: 70; al-Hujurat, [49]: 11-12; dan Ali ‘Imran, [3]: 134.
[11] Lihat misalnya Q.S. al-An’am, [6]: 38; al-Hasyar, [59]: 5.
[12] Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 151.
[13] Ahmad D. Marimba. Pengantar Filsafat … hal. 48-49.
[14] Muhammad Athiyah al-Abrasyi. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam. (Jakarta: Bulan Bintang. 1974). Cetakan II. hal. 15.
[15] Mansur Ali Rajab. Ta’ammulat fi Falsafah al-Akhlaq. (Mesir: Maktabah al-Anjalu al-Mishriyah. 1961). hal. 91.
[16] Imam al-Ghazali. Ihya’ ‘Ulum al-Din. Juz III. (Beirut: Dar al-Fikr. t.t.). hal. 54.
[17] Ibid. hal. 90.
[18] Ibid. hal. 54.
[19] Imam al-Ghazali. Kitab al-Arba’in fi Ushul al-Din. (Kairo: Maktabah al-Hindi. t.t.). hal. 190-191; lihat pula Asmaran, As. Pengantar Studi Akhlak. (Jakarta: Rajawali Pers. 1992). Cet. I. hal. 45.
[20] Ibid. hal. 16; lihat pula misalkan Q.S. al-Ahzab, [33]: 21.
[21] Ibn Sina. Ilmu Akhlaq. (Mesir: Dar al-Marif. t.t.). hal. 202-203.
[22] Lihat dan pelajari misalnya Q.S. al-Nahl, [16]: 78; dan Luqman, [31]: 13-14.
[23] Lihat Ahmad al-Hasyimi Bek. Mukhtar al-Ahadits al-Nabawiyah. (Mesir: al-Maktabah al-Tijari-yah al-Kubra. 1948). Cetakan VI. hal. 9; mengenai petunjuk tentang pendidikan pada anak ter-sebut dapat kita lihat pada Ibn Qayyim al-Jauziyah. Tarbiyah al-Aulad dan Abdullah Nashih Ulwan. Tarbiyah al-Ulad fi al-Islam. (Semarang: Asy-Syifa’. 1981). Cetakan I, hal. 143; baca pula H.M. Arifin. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara. 1994). Cetakan IV. hal. 60.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By