Breaking News

Minggu, 05 Juni 2011

Evolusi Menurut Agama Islam

Beberapa umat islam banyak yang menolak teori evolusi, itu didasari dari kesalah pahaman mereka tentang teori evolusi, kita tidak tau darwin apakah sudah mengenal Islam masa itu atau belum, darwin sendiri meragukan keberadaan tuhan, dia seorang agnostik, tapi kita tahu orang tuanya bukan beragama islam, kita tau dia tidak mengenal islam pada jamannya, mungkin jika dia belajar islam bisa jadi dia akan menganut agama tersebut. Salah satu kesalah pahaman tentang evolusi adalah dengan dikatakannya oleh para creationis bahwa manusia itu dari kera. Itu adalah kesalahan yang fatal, untuk mengetahuinya kita bahas dulu apa itu evolusi.

Menurut wikipedia : Evolusi (dalam kajian biologi) berarti perubahan pada sifat-sifat terwariskan suatu populasi organisme dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perubahan-perubahan ini disebabkan oleh kombinasi tiga proses utama: variasi, reproduksi, dan seleksi. Sifat-sifat yang menjadi dasar evolusi ini dibawa oleh gen yang diwariskan kepada keturunan suatu makhluk hidup dan menjadi bervariasi dalam suatu populasi. Ketika organisme bereproduksi, keturunannya akan mempunyai sifat-sifat yang baru. Sifat baru dapat diperoleh dari perubahan gen akibat mutasi ataupun transfer gen antar populasi dan antar spesies. Pada spesies yang bereproduksi secara seksual, kombinasi gen yang baru juga dihasilkan oleh rekombinasi genetika, yang dapat meningkatkan variasi antara organisme. Evolusi terjadi ketika perbedaan-perbedaan terwariskan ini menjadi lebih umum atau langka dalam suatu populasi.


Itulah pengertian dari evolusi, mungkin dikarenakan pada zaman dahulu tidak mengenal istilah dari evolusi tapi istilah lain yang mirip pengertiannya dengan evolusi, makanya beberapa creationis tidak mengetahui bahwa orang-oang sebelum darwin sudah mengemukakannya, dengan inti pembahasan yang sama dengan teori evolusi seperti saat sekarang ini yaitu Penciptaan secara bertahap. Sebelum darwin, evolusi sudah dikemukakan oleh beberapa ahli filsafat Yunani kuno, baru setelah itu diikuti oleh berbagai ilmuan-ilmuan muslim terkenal salah satunya Ibn Khaldun.

Abu Utsman Amr atau Al-Jahiz, seorang ilmuwan muslim abad 9, dalam Kitab Al-Hayawan (buku hewan) telah menjelaskan teori survival sebagai dasar dari mekanisme evolusi dan seleksi alam. Al-Jahiz berpendapat bahwa suatu species akan beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang berbeda dan akhirnya melahirkan species baru. Species yang tidak dapat beradaptasi akan punah, dan yang beradaptasi akan sukses melanjutkan keturunanannya.

Al-Jahiz juga telah melakukan pembahasan mengenai rantai makanan dalam sebuah ekosistem.

Ibnu Miskawayh, seorang ilmuwan muslim di abad 10, bahkan menjelaskan teori evolusi dengan sangat mendetail dan mengkombinasikannya dengan metafisika sebagai sebuah siklus "Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Roojiun/ Sesungguhnya kita dari Allah dan kepada-Nya kita kembali". Dari Allah, bahwa mula-mula Allah menciptakan zat, kemudian zat itu berevolusi menjadi gas, gas berevolusi menjadi air, air berevolusi menjadi mineral, mineral berevolusi menjadi tumbuhan (Bisa di cek pada surat Nuh), tumbuhan berevolusi menjadi hewan, hewan berevolusi menjadi manusia, manusia berevolusi menjadi nabi, nabi berevolusi menjadi malaikat, dan malaikat akhirnya kembali kepada Allah.
Pandangan mengenai evolusi biologi yang berlanjut ke evolusi spiritual ini begitu populer di abad pertengahan, hingga kita bisa menemukannya pada syair-syair Jalaluddin Rumi yang hidup di abad 13, seperti berikut:
Aku mati sebagai mineral dan menjelma tumbuhan, Aku mati sebagai tumbuhan dan terlahir binatang, Aku mati sebagai binatang dan kini manusia. Kenapa aku mesti takut?

 Maut tak menyebabkanku berkurang! Namun sekali lagi aku harus mati sebagai manusia,
Dan melambung bersama malaikat; dan bahkan setelah menjelma malaikat
aku harus mati lagi; segalanya kecuali Tuhan, akan lenyap sama sekali.
Apabila telah kukorbankan jiwa malaikat ini, Aku akan menjelma sesuatu yang tak terpahami.
O,..biarlah diriku tak ada! sebab ketiadaan menyanyikan nada-nada suci, “Kepada-Nya kita akan kembali.”

Ilmuwan muslim lainnya yang banyak membahas evolusi adalah Nasiruddin At-Tusi yang hidup di abad 13. Beliau menyatakan pendapatnya mengenai adaptasi makhluk hidup yang membuat setiap organ mereka menjadi fit dengan lingkungannya. Tusi mencontohkan mekanisme pertahanan pada beberapa hewan (tanduk, cakar, kecepatan bergerak) sebagai bukti bahwa mereka menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Tusi juga berpendapat bahwa makhluk hidup yang beradaptasi lebih cepat akan memiliki lebih banyak variasi species. Dan akhirnya akan memiliki keunggulan dibandingkan makhluk hidup lain yang lambat dalam beradaptasi.
Ilmuwan lainnya yang tersisa di akhir-akhir zaman keemasan Islam juga masih berbicara mengenai evolusi, seperti Ibnu Khaldun yang hidup di abad 14. Dalam kitab pembukaannya, Muqaddimah, Ibnu Khaldun menjelaskan teori evolusinya yang juga senada dengan teori-teori sebelumnya, berawal dari mineral yang berevolusi menjadi tumbuhan, kemudian hewan, dan manusia. Ibnu Khaldun menyebut secara eksplisit evolusi manusia dari makhluk yang lebih rendah yaitu sejenis kera.

Setelah kekalahan islam, barulah islam mulai menolak teori evolusi yang dibawa Darwin hanya karena Darwin mengatakan kehidupan muncul dengan sendirinya melalui kecelakaan atau kebetulan, padahal inti dari teori evolusi adalah perubahan suatu organisme secara bertahap.

Kembali pada para ilmua muslim pada zaman kejayaan islam, kita melihat adanya keanehan, jika Evolusi bertentangan dengan Al-Quran apakah tidak aneh kalau para ilmuan muslim tersebut masih beragama islam pada saat itu? Dan apakah tidak aneh kalau dia tidak dianggap sebagai penghina Nabi Adam? Kenapa hal itu bisa terjadi. Tidak lain penyebabnya pastilah ucapan mereka tidak bertentangan sama sekali dengan Ayat Al-Quran. Mari kita lihat apa yang dikatakan Al-Quran didalam surat Nuh:
Ada apa dengan kamu bahwa kamu tak mengharap kebesaran dari Allah? Dan sesungguhnya Ia telah menciptakan kamu dengan berbagai tingkatan. Apakah engkau tak melihat bagaimana Allah menciptakan tujuh langit sama? Dan di sana Ia membuat bulan sebagai cahaya, dan membuat matahari sebagai lampu. Dan Allah telah menumbuhkan kamu dari bumi sebagai tumbuh-tumbuhan (Dari asal kata Nabatun, berarti Tumbuh-tumbuhan) (Nuh Ayat 13-17)
Lihat kalimat yang mengatakan "Iatelah menciptakan kamu dengan berbagai tingkatan" Tak sangsi lagi bahwa ayat ini menerangkan evolusi manusia. Pada umumnya para mufassir berpendapat, bahwa ayat ini mengisyaratkan berbagai keadaan yang dialami oleh bayi selama dalam rahim ibu. Tetapi ayat ini berarti sempurnanya keadaan jasmani manusia sekarang ini setelah mengalami berbagai keadaan, ini dijelaskan oleh ayat 17 berikutnya yang menerangkan bahwa pertumbuhan manusia pada tingkat permulaan itu seperti tumbuh-tumbuhan yang keluar dari bumi. Hendaklah diingat bahwa di sini manusia digambarkan sebagai tumbuh- tumbuhan yang keluar dari bumi, artinya melalui proses perkembangan tahap demi tahap. Bahkan dalam proses kejadian, yang kita saksikan sehari-hari, ini pun melalui proses tahap demi tahap. Segala macam tanaman tumbuh dari bumi. Dari tanaman ini manusia mendapat makanan, dan dari makanan yang ia makan, dihasilkan benih manusia, yang selanjutnya mengalami pula proses perkembangan (tahap demi tahap). Tetapi kemungkinan besar bahwa pertumbuhan di sini, dan tingkatan-tingkatan yang disebutkan dalam ayat 14 itu, mengisyaratkan proses perkembangan besar yang dialami oleh semua manusia hingga ia mencapai tingkatan jasmani yang sempurna seperti sekarang ini. Ingat juga diayat lain Allah menerangkan semua kehidupan bermula dari air.. kita ingat dari air lah mulai nya tumbuhan seperti lumut, dari lumut merubah bebatuan menjadi lapuk dan berubah menjadi tanah nah disanalah awal manusia dari tumbuhan tersebut.

Bagaimana dengan Adam?
Di dalam Al-Qur’an manusia pertama memang tidak diungkap secara eksplisit. Tampaknya, mengurai asal-usul manusia pertama bukanlah tema substantif al-Qur’an.
Seperti yang kita tau, Manusia modern pertama atau yang disebut Homo Sapien bermula dari Afrika baru selanjutnya menyebar keseluruh dunia. Apakah Homo aspen tersebut yang bernama adam? Tapi kalau dilihat dari segi bahasa, Homo sapien dan adam memiliki arti yang sama, kata adam berasal dari bahasa aram kuno yang berarti manusia atau yang kita kenal manusia modern, sedangkan kata Homo sapien sendiri juga berarti Manusia modern

Adam sebagai Khalifah
Substansi dari dialog dengan malaikat (Q.s. al-Baqarah: 30-31 ) adalah penegasan bahwa sesungguhnya Allah sebagai Pencipta atau Penjadi khalifah di muka bumi ini. Kata “jaa`ilun” sebagai konstruksi isim fa`il yang berarti subyek pelaku dalam frasa Innii jaa’ilun fi al-ardhi khaliifah tidak harus diartikan “hendak menjadikan khalifah di muka bumi”. Seandainya arti ini yang dipahami, maka tidak ada khalifah sebelum Adam. Konseksuensi logisnya, Adam adalah manusia pertama.

Seandainya frasa tersebut dikembalikan pada makna asalnya sebagai isim fa‘il, maka hal itu mengisyaratkan bahwa Allah—sebelum atau sesudah terjadinya dialog dengan malaikat sebagaimana yang termaktub dalam ayat tersebut—selalu menjadikan khalifah di muka bumi. Dengan demikian, Adam bukanlah khalifah yang pertama dan bukan pula manusia yang pertama yang diciptakan Allah.
Kemudian, ayat-ayat tersebut memunculkan wacana bahwa seolah-olah malaikat mempunyai pengalaman mengamat-amati sepak terjang sang khalifah. Tampaknya malaikat khawatir akan masa depan khalifah baru yang bernama Adam itu, seandainya perilaku destruktif akan menghancurkan tatanan taqdis dan tasbih malaikat. Kita hanya bisa menduga-duga kategori khalifah yang seperti apakah yang telah (dan akan) melakukan perbuatan tercela itu. Tidak ada keterangan yang jelas perihal khalifah versi malaikat yang dimaksud. Al-Qur’an dalam Q.s. Shaad: 67-73 dengan tegas menyatakan untuk tidak memperpanjang bantah-bantahan ini.

Ada riwayat yang mengasumsikan bahwa iblis atau jin sebagai khalifah sebelum Adam. Qatadah, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas menduga, bahwa khalifah yang dimaksud adalah khalifah dari golongan jin yang diduga berbuat kerusakan. Asumsi ini berdasarkan analisis ayat yang menerangkan bahwa jauh sebelum manusia diciptakan, Allah telah menciptakan jin (Ibn-Katsir, Qishashul Anbiya’, hlm. 2).
Benar bahwa jin (dan malaikat) diciptakan sebelum Adam berdasarkan Q.s. al-Hijr: 26-27, namun apakah mereka—khususnya para jin—berperan sebagai khalifah di muka bumi? Pendapat para sahabat tersebut tampaknya hanyalah praduga saja. Lagi pula tidaklah mungkin bumi yang kasat mata ini diwariskan kepada para jin yang tidak kasat mata. Bentuk pengelolaan semacam apakah seandainya para jin yang berfungsi sebagai khalifah di muka bumi ini.

Khalifah sebelum Adam dan khalifah yang hendak diciptakan Allah ini adalah khalifah yang benar-benar berasal dari golongan manusia. Perhatikan ayat berikut ini: Dan Dialah yang telah menjadikan kamu khalifah-khalifah di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian yang lain beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat ‘iqab-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang. (Q.s. al-An’am: 165).
Ayat tersebut kembali menegaskan bahwa sesungguhnya Allah adalah pencipta para khalifah di muka bumi ini. Kata ganti orang kedua (dhamir mukhatab) pada ja’alakum merujuk pada seluruh umat manusia. Menilik pada keumuman lafadz ini, apabila dikaitkan dengan pertanyaan malaikat tentang penciptaan khalifah, maka khalifah sebelum Adam adalah khalifah dari golongan manusia juga. Ada banyak “Adam-Adam” lain yang sebelumnya diciptakan Allah dengan fungsi yang sama namun dengan karakter yang berbeda; destruktif. Adam dan Instalasi al-Asma’
Dengan mengorelasikan fakta-fakta arkeologis tentang ragam manusia sebelum Homo Sapiens, tampaknya selaras dengan karakter “destruktif” sebagai yang digambarkan malaikat. Namun, bukankah karakter hominid memang demikian? Manusia-manusia tersebut mempunyai struktur fisik yang hampir mirip manusia (kalau tidak ingin dikatakan hampir mirip kera). Mereka tercipta dengan volume otak yang kecil yang dengan sendirinya perilakunya pun cenderung tanpa tatanan manusiawi atau bersifat kebinatangan. Mereka tidak layak disebut sebagai khalifah. Sementara itu, khalifah mempunyai kedudukan yang terhormat sebagai “duta” Allah untuk mengelola bumi ini.

Di sinilah letak diskontinuitas itu. Ternyata, kita tidak bisa mengorelasikan fakta sejarah manusia (asal mula manusia menurut para penganut evolusionisme) dengan asal-usul Adam. Ada banyak keterserakan, sebagaimana yang dideskripsikan Michel Foucault, diskontinuitas dipahami sebagai terserak dan berkecambahnya sejarah ide-ide dan munculnya periode-periode yang begitu panjang dalam sejarah itu sendiri. Dalam pengertian tradisional, sejarah semata-mata selalu tertuju pada keinginan untuk menentukan relasi-relasi kausalitas, determinasi sirkular, antagonisme dan relasi ekspresi antara berbagai fakta dan kejadian yang terekam oleh manusia (The Archeology of Knowledge, hlm. 10).
Keterserakan ini yang menyangkut relasi-relasi kausalitas, determinasi sirkular, antagonisme dan relasi ekspresi antara berbagai fakta dan kejadian yang terekam oleh manusia. Celakanya, kita menganggap bahwa data-data historis tentang bapak manusia itu dirasa cukup hanya dengan ditafsirkan oleh data-data hadits yang sangat dipengaruhi oleh kisah-kisah israiliyat (Bible). Seandainya kita hendak meneliti sejarah penciptaan ini, meminimalisasi diskontinuitas dengan “comot sana comot sini” dari data-data Biblikal bukanlah semangat Qur’anik. Bukankah sejak awal al-Qur’an diturunkan untuk menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya?
Dengan meneliti ayat “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya, Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang (Q.s. al-Baqarah: 37), suksesi khalifah yang tidak berdasarkan kalimah Allah ke yang berdasarkan kalimah Allah barangkali yang paling mendekati untuk mereka-reka praduga ini. Allah hendak mengganti khalifah yang berperilaku destruktif yang tidak berdasarkan pada hukum-hukum Allah dengan khalifah berperadaban yang berdasarkan pada hukum-hukum Allah. Jadi, tegaslah bahwa para hominid itu bukan khalifah.

Namun yang pasti, Adam bukanlah manusia pertama. Tampaknya Q.s. al-Baqarah: 30 menghendaki bahwa penciptaan khalifah berikutnya adalah untuk mereformasi dan merehabilitasi “Adam-Adam” sebelumnya. Dengan kata lain, Allah hendak mengganti khalifah perusak yang tanpa tatanan hukum Allah itu dengan khalifah baru yang bernama Adam dan anak keturunannya kelak yang berlandaskan tatanan hukum Allah.

Selanjutnya, proses pembelajaran untuk khalifah baru ini segera dilakukan. Instalasi ini adalah pembekalan pada diri Adam yang berupa persiapan diri untuk menerima seluruh identifikasi nama-nama, al-asma’ kullaha. Kalimat kullaha adalah penguatan (taukid) bahwa pengajaran al-asma meliputi seluruh nama-nama atau identitas (al-musammiyaat) benda-benda (Tafsir Zamakhsyari, Juz I, hlm. 30).
Sementara itu, Imam al-Qurthuby menitikberatkan bahwa proses pengajaran al-asma’ adalah pengajaran dalam bentuk dasar-dasar ilmu pengetahuan (Tafsir al-Qurthuby, Juz I, hlm. 279). Hal ini mengandung makna yang lebih dalam, bahwa Adam sudah diperlengkapi dengan perangkat nalar yang siap untuk menerima seluruh identifikasi nama-nama. Pengajaran bukanlah dengan mengajarkan penyebutan benda-benda satu-persatu belaka, namun lebih pada pengidentifikasian yang selanjutnya dikembangkan sendiri oleh Adam. Adam-lah manusia rasional yang pertama.
Proses instalasi ini dijadikan bekal Adam untuk diwariskan kepada anak cucunya dalam rangka mengelola dunianya kelak. Instalasi al-asma’ adalah instalasi sendi-sendi pengetahuan sehingga Adam mampu mengidentifikasi nama-nama seluruhnya (al-asma’ kullaha). Faktor inilah yang mendorong manusia untuk menjadi makhluk pembelajar—homo academicus. Adam mampu mengidentifikasi dan mengembangkan daya nalarnya sampai pada tahap yang mengagumkan malaikat. Sementara, malaikat tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun kecuali apa yang telah diinformasikan Allah kepada mereka, subhaanaka laa ‘ilma lanaa illaa maa ‘allamtanaa. Inilah yang membuat malaikat jatuh tersungkur karena ta’dzim kepada Adam akan pencapaian kemajuan ilmiahnya.

Tampaknya, diskontinuitas sejarah penciptaan Adam memang demikian adanya. Al-Qur’an—justru—hendak menggerakkan hikmah di balik penciptaan itu untuk selalu terus menerus berpikir dan menggunakan daya nalar manusia di bawah bimbingan hukum Allah (kalimaatin) sebagaimana Adam meletakkan dasar-dasar budaya dan peradaban di bawah bimbingan-Nya. Sementara itu, membicarakan Adam sebagai tokoh sejarah (manusia pertama atau bukan) tidaklah substansial dan tidak memberikan dampak apa-apa bagi peradaban itu sendiri.

Wasalam

Sumber :
kamus Bahasa Arab penerbit apolo surabaya halaman 224

suara muhammadiyah wawasan islam

Al-Jahiz (1909), Kitab Al-Hayawan, Kairo, vol. I hal. 13; vol. VI hal. 133—34; vol VI hal 139; vol. VII 47, 80; vol. VII, hal. 47-48.

Muhammad Hamidullah and Afzal Iqbal (1993), The Emergence of Islam: Lectures on the Development of Islamic World-view, Intellectual Tradition and Polity, hal. 143-144. Islamic Research Institute, Islamabad.

Jalaluddin Rumi (2004), The Masnavi; Story:”The Vakil of The Prince of Bukhara”, Oxford University Press.

Farid Alakbari (2001), A 13-th Darwin? Tusi’s Views on Evolution. Azerbaijan International Magazine hal. 48.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By