Breaking News

Rabu, 01 Juni 2011

Pandangan Teologis Sufistik (Syaziliyyah) atas fenomena Ariel-Luna

[Tulisan ini dibuat menggunakan kacamata Sufistik yang menukil pada kitab Al-Hikam karya Ibnu Athaillah as-Sakandary murid Syeikh Abul Hasan Syazilli, Pengasas Thariqah Syaziliyyah (mursyid rantai sanad ke-19 dalam Thariqah Syaziliyyah-walisongo] - Wallahu alam bishowab -

Saat ini, tidak satu pun lembaga, Ormas keagamaan atau pun tokoh yang melihat peristiwa Ariel-Luna, dengan forum kearifan, apalagi dengan “kacamata Tuhan” yang penuh dengan pancaran Kasih Sayang dan Kelembutan.
Semua muncul dengan nada marah, sekaligus pembenaran diri sendiri. Apakah kita harus meminum miras, lalu mabuk lebih dahulu, kemudian sambil mabuk kita mengharamkan miras sembari memecahkan botol-botolnya? Bayangkan jika berjuta-juta pengguna seluler menghujat Ariel-Luna, pada saat yang sama mereka secara sembunyi menikmati video yang ada?

Padahal, menurut dimensi spiritual Islam (Sufisme), tingkat kearifan seseorang harus dikedepankan dalam memandang berbagai peristiwa “gelap”. Dalam tradisi Sufi, ada cara pandang yang lebih berhikmah dalam melihat kasus video porno tersebut.
Seperti dikatakan Ibnu Athaillah as-Sakandary, “Terkadang Allah mentakdirkan hambaNya berbuat dosa, agar si hamba lebih dekat kepadaNya…” Atau dalam hikmah lainnya, “Maksiat yang menimbulkan remuk redam jiwa di depan Allah, lebih baik dibanding ibadah yang melahirkan rasa sombong dan sok mulia…”

Bukankah video tersebut sebagai “sindiran” Allah kepada bangsa ini agar tidak munafik dengan diri sendiri? Bukankah Cahaya Allah, tampak semakin jelas justru dari sisi kegelapan, dan sebaliknya betapa banyak kegelapan yang subur dari ritual ibadah atas nama Tuhan, atas nama Nabi, atas nama Islam? Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an, “Allah memasukkan malam dalam siang, dan memasukkan siang dalam malam.” Yang ditafsirkan oleh para sufi, “Allah memasukkan maksiat dalam ibadah, dan memasukkan ibadah dalam maksiat”?
Nabi Adam as, dan Hawa, ditakdirkan bersalah di syurga, karena memang Nabi, Rasul, Khalifah, serta Bapak Manusia itu harus diangkat ketika ada di muka bumi. Derajat Risalah dan Nubuwwah justru muncul paska dosa di syurga. Sebuah “rahasia Ilahi” yang sangat dramatis dan kelak menjadi pelajaran bagi anak cucu Adam itu sendiri. Bahwa, sebesar apa pun dosa seseorang, tidak boleh menghalangi prasangka baiknya (husnudzon) kepada Allah swt.

Rasanya sudah terlalu jenuh kita dicekoki oleh informasi yang paradoks dalam keseharian batin kita, tapi juga respon publik yang sangat konyol dan sombong. Kelak jika kondisi ini berlarut, akan muncul kegamangan yang membahayakan kejujuran hati kita. Luka-luka moral, bukannya disembuhkan, tetapi dibiarkan meradang agar ada kompensasi musuh bersama yang kekanak-kanakan seperti yang kita lihat selama ini.
Sudah terlalu lama kita kehilangan “hikmah”, bahkan kejujuran batin yang bercahaya. Jangan sampai kita terjebak pada arena, yang dihuni oleh para penjahat yang sedang berlomba membangun peradaban jahat tanpa sedikitpun merasa jahat, karena cahaya tak pernah muncul di kegelapannya.
Juga jangan terjebak pada arena terang benderang yang dihuni oleh orang yang merasa dirinya patuh pada Tuhannya, lalu membangun peradaban “cahaya” dari kegelapan keangkuhan spiritualnya.

by KH M. Luqman Hakim, MA dalam tarekat Syaziliyyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By