Breaking News

Kamis, 30 Juni 2011

Pembagian Akhlak

          Kewajiban dalam akhlak Islam erat hubungannya dengan kewajiban dalam Fiqh dan Tauhid, kerena semuanya berjalan tidak terpisahkan, meskipun kewajiban dalam tiga aspek ini berbeda-beda kerena mempunyai arti masing-masing. Perbuatan terpuji atau tercela terhadap Allah Swt dinamakan hubungan vertikal, sedangkan hubungan terpuji atau tercela terhadap sesama manusia atau alam sekitarnya, dinamakan hubungan horizontal. Supaya manusia tidak tertimpa kehinaan, maka hendaknya dalam hubungan dengan Khaliq, maupun hubungan dengan makhluk harus selalu perpegang kepada agama Allah Swt, yakni selalu berakhlak karimah.


            Kita perhatikan firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 112, yang artinya:

 “Kehinaan menimpa mereka dimanapun mereka berada, kecuali (jika memegang) tali (agama) Allah dan memegang tali (memelihara hubungan baik) sesama manusia.”

Orang yang berakhlak baik terhadap Allah Swt ia akan merendahkan diri (tadarru’) dihadapan-Nya, misalnya ketika mendirikan shalat terutama ketika bersujud, diwaktu berdo’a, munajat, ketika membaca al-Qur’an, membaca tasbih, tahlil, takbir dan ibadah mahdlah lainnya.
            Allah Swt berfirman dalam surat Al-A’raf ayat 55 yang artinya,

 “Mohonlah kepada Tuhanmu dengan merendahkan diri dan dengan suara yang rendah lagi lemah lembut (dari bisikan kalbu). Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”

Dalam surat tersebut ayat 204 dan 205,

“Dan apabila al-Qur’an dibacakan, hendaklah kamu dengar baik-baik, dan diamlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan perasaan rendah diri dan takut dengan tidak bersuara keras di waktu pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”

Orang yang mau dan mampu memegang teguh tali Allah, ia akan khusyu’ dalam shalatnya dan ia termasuk orang-orang yang beruntung, sebagaimana firman Allah Swt dalam surat Al-Mu’minun ayat 1 dan 2 yang artinya:

“Sesungguhnya beruntunglah orang–orang yang beriman (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.”

Memang banyak manusia yang berakhlak buruk terhadap Allah Swt, misalnya beribadah dan minta pertolongan kepada-Nya, namun juga kepada yang lain, buruk sangka kepada Allah; tidak sopan dalam mendirikan shalat (shalat sahun), demikian pula seringkali tidak mendengarkan apabila al-Qur’an sedang dibaca.
            Orang yang berakhlak baik terhadap dirinya dan terhadap orang lain, akan rendah hati (tawadlu’) ia akan baik memelihara dirinya, misalnya makanan, pakaian dan tempat tinggal, memelihara kebersihan dan kesehatan (yang ada hubungannya dengan kepentingan jasmani). Demikian pula yang erat hubungannya dengan kepentingan rohani seperti: rasio atau cipta, diisi dengan ilmu dan hal-hal yang masuk akal; rasa yang selalu berhubungan dengan pengalaman seseorang, kepercayaannya, pendidikanya, pengetahuan dan suasana lingkungan. Dan karsa yaitu kemauan dan kehendak, ia tidak takabur, ria dan sum’ah, namun dibuktikan dengan karya nyata.
            Tertanam dalam diri orang yang baik akhlaknya rasa kasih sayang dan cinta terhadap sesama manusia, menyayangi binatang, dan sayang serta suka memelihara alam sekitarnya. Kesadaran hidup dalam hubungannya dengan sesama manusia dan alam sekitarnya, harus dilandasi dengan iman dan taqwa kepada Allah Swt sehingga benar-benar menjadi manusia yang mulia disisi-Nya. Ia akan terhindar dari buruk sangka terhadap orang lain, namun tetap waspada dan hati-hati. Perhatikanlah firman Allah Swt dalam surat Al-Hujurat ayat 12, yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman. Jauhilah kebanyakan prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Dan janganlah kamu mencari-mencari kesalahan orang lain. Dan janganlah sebahagian kamu memperguncingkan sebahagian yang lain.”

Dalan surat yang sama ayat 13, yang artinya:

“Hai manusia. Sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang pria dan seorang wanita. Dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allah ialah siapa yang paling bertaqwa diantara kamu…”

1.      Pengertian Baik dan Buruk

Sebagaimana dijelaskan diatas, bahwa akhlak terbagi kepada akhlak terpuji (mahmudah) dan akhlak tercela (madzmumah), pembagian ini tidak terlepas dari nilai atas perbuatan manusia itu sendiri, apakah baik ataukah buruk.
            Pengertian baik secara bahasa diterjemahkan dari kata khair, good. Louis Ma’luf mengatakan bahwa yang disebut baik adalah sesuatu yang telah mencapai kesempurnaan.[1] Sementara itu dalam Webster’s New Twentieth Century Dictionary, dijelaskan bahwa baik adalah sesuatu yang menimbulkan rasa keharuan dalam kepuasan, kesenangan, persesuaian dan sebagainya.[2] Selanjutnya yang baik itu adalah sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang diharapkan, yang memberikan kepuasan;[3] sesuatu yang sesuai dengan keinginan;[4] sesuatu yang mendatangkan rahmat, memberikan perasaan senang atau bahagia;[5] sesuatu yang diinginkan, yang diusahakan dan menjadi tujuan manusia; dan segala sesuatu yang berhubungan dengan yang luhur, bermartabat, menyenangkan, dan disukai oleh manusia. Tingkah laku manusia adalah baik, jika tingkah laku tersebut menuju kesempurnaan manusia. Kebaikan disebut dengan nilai (value), apabila kebaikan itu bagi seseorang menjadi kebaikan yang kongkret tentunya.[6] Definisi kebaikan tersebut terkesan anthropocentris, yakni memusat dan bertolak dari sesuatu yang menguntungkan dan membahagiakan manusia. Pengertian tersebut tidak ada salahnya karena memang demikian yang disukai oleh manusia.
            Dengan mengetahui sesuatu yang dinilai baik itu, maka akan memudahkan dalam mengetahui yang buruk, syarr, sesuatu yang tidak baik, tidak seperti yang seharusnya, tak sempurna kualitasnya, di bawah standar, kurang dalam nilai, tak mencukupi, keji, jahat, tidak bermoral, tidak menyenangkan, tidak dapat disetujui, tidak dapat diterima, sesuatu yang tercela, lawan dari yang baik, dan perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.[7]

2.      Ukuran Baik dan Buruk

Ada beberapa pendapat tentang ukuran baik dan buruk. Ada yang menilainya dengan agama, tradisi, rasio, pengalaman dan sebagainya.
            Al-Ghazaly mengemukakan bahwa: orang yang mengajak kepada taklid saja dengan mengenyampingkan akal adalah bodoh, dan sebaliknya orang yang hanya merasa cukup dengan akalnya saja, lepas dari cahaya al-Qur’an dan as-Sunnah maka ia tertipu.
            Apabila akhlak disamakan dengan etika, maka apa yang disebut Filsafat Etika itu, juga adalah Filsafat Akhlak. Oleh karenanya banyak pendapat yang mengemukakan bahwa di dalam filsafat akhlak itu terdapat pula bermacam-macam aliran. Dan berikut ini dikemukakan beberapa aliran dalam filsafat etika.

1.      Tradisionalisme

Yang menjadi ukuran norma baik dan buruk itu adalah tradisi. Dengan demikian akan terdapatlah adat kebiasaan yang dijadikan norma oleh suatu kelompok masyarakat yang terkadang tidak sesuai dengan moral dalam agama. Misalnya kebiasaan yang sudah ada sejak nenek moyangnya, sehingga masyarakat menerima sebagai sesuatu yang sudah ada, kemudian melanjutkannya karena dianggapnya kebiasaan tersebut adalah peninggalan orang tua dan tidak boleh dilanggar, seperti “nyalin” di jawa Barat.

2.      Rasionalisme

Faham ini menganggap bahwa rasiolah yang menjadi sumber moral dan rasio berada di atas segala-galanya, sehingga menentukan mana yang baik dan buruk itu juga tergantung kepada penilaian rasio, meskipun tidak sesuai dengan agama.

3.      Empirisme

Faham ini menganggap bahwa pengalaman manusia adalah satu-satunya alat yang terpercaya untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk.

4.      Intuisionisme

Sumber pengetahuan dan juga penilaian yang baik dan buruk itu adalah intuisi (bisikan kalbu). Ada orang yang menamakannya kekuatan batin atau hati nurani.


5.      Hedonisme

Kebahagianlah yang merupakan norma baik dan buruk. Jadi suatu perbuatan itu baik kalau mendatangkan kebahagian, dan sebaliknya perbuatan itu buruk jika mendatangkan penderitaan. Kebahagian ini relatif, dan pengikut aliran ini banyak sekali terutama Hedonisme egoistis yaitu kebahagiaan individu. Tokoh pertamanya adalah Epicurus dan Thomas Hobbes. Adapun tokoh Hedonisme Universal ialah Bentham dan John Stuart Mill.

6.      Evolusionisme

Perbuatan-perbuatan moral itu tumbuh dan berkembang secara berangsur-angsur dan meningkat sedikit demi sedikit. Ia berproses terus menuju idealisme yang menjadi tujuan hidup.

7.      Idealisme

Perbuatan manusia harus berdasarkan prinsip kerohanian yang tinggi, bukan berdasarkan kepada kausalitas verbal yang lahir. Jadi perbuatan yang baik adalah yang berdasarkan atau kemampuan diri sendiri, atas rasa wajib bukan oleh karena anjuran orang atau menginginkan pujian orang. Faktor yang mempengaruhi perbuatan manusia itu adalah kemauan, rasa kewajiban.

8.      Fitalisme

Yang baik adalah yang dapat memaksakan dan menekankan kehendak agar berlaku dan ditaati oleh orang-orang, yang diharapkan selanjutnya tidak terasa sebagai paksaan dan tekanan.

9.      Utilitarisme

Yang baik adalah yang bermanfaat hasilnya, dan yang buruk adalah yang hasilnya tidak bermanfat. Manfaat disini adalah kebahagian untuk jumlah manusia sebesar mungkin dari segi jumlah atau nilai.

10.  Theologia

Perbuatan yang baik adalah perbuatan yang sesuai dengan instruksi Tuhan dan yang tidak baik adalah bila berlawanan dengan perintah-Nya.

11.  Naturalisme

Manusia dapat bahagia apabila menurutnya panggilan fitrah lahir dan batin. Menurut Naturalisme, norma baik dan buruk itu dapat dicari dalam alam kita ini dan bukan problema yang terjadi diluar realita. Sedangkan aliran Methafisika berpendapat bahwa norma itu tidak akan dapat di dunia ini.

12. Ajaran Islam

Penentuan baik dan buruk dalam ajaran Islam harus didasarkan pada petunjuk al-Qur’an dan al-Sunnah. Ada beberapa istilah yang mengacu kepada yang baik, di antaranya al-hasanah lawannya al-sayyiah,[8] al-thayyibah lawannya al-qabihah,[9] al-khair lawannya al-syarr,[10] al-mahmudah,[11] al-karimah,[12] dan al-birr.[13] Adanya berbagai istilah kebaikan yang demikian variatif yang diberikan al-Qur’an dan hadis itu menunjukkan bahwa penjelasan tentang sesuatu yang baik menurut ajaran Islam jauh lebih lengkap dan komprehensif, karena meliputi kebaikan yang bermanfaat bagi fisik, akal, rohani, jiwa, kesejahteraan di dunia dan akhirat serta akhlak yang mulia.

            Dalam aliran akidah (teologi, kalam, tauhid) ada aliran Mu’tazilah, yang hampir sama dengan Rasionalisme, namun di mana selain berpendapat bahwa untuk mengetahui tentang baik dan buruk itu adalah kewajiban akal, juga aliran ini tetap setuju bahwa mengenal dan bersyukur kepada Allah sebagai pemberi ni’mat adalah wajib, dan tetap memperhatikan juga firman Allah dan sabda Rasul-Nya.
            Dr. Rachmat Djatnika mengemukakan juga tentang “benar” ini yang intisarinya ialah: secara subjektif benar di dunia ini bermacam-macam. Benar menurut Ilmu Hitung berlainan dengan benar menurut Ilmu Politik. Demikian pula benar menurut seseorang akan berlainan dengan benar menurut yang lainnya berdasarkan kepentingannya.
            Kita perhatikan pula ukuran benar berdasarkan peraturan yang disusun oleh sistem suatu negara, maka kemungkinan timbul perbedaan bahkan bertentangan antara kebenaran menurut negara yang satu dengan negara lain. Jelaslah kebenaran yang demikian adalah relatif.
            Secara objektif, benar itu adalah satu, tak ada dua benar yang bertentangan. Bila ada dua hal yang bertentangan, mungkin salah satunya saja yang benar atau kedua-duanya yang salah. Secara objektif pula peraturan hanya satu dan tak mungkin mengandung perlawanan di dalamnya. Maka pada hakikatnya yang benar itu adalah pasti dan hanya satu. Kebenaran yang pasti itu adalah yang didasarkan atas peraturan yang dibuat oleh yang Maha Esa, Yang Maha Satu.



[1] Louis Ma’luf. Munjid … hal. 198.
[2] Webster’s New Twentieth Century Dictionary. hal. 789.
[3] Hombay, AS., EU Gaterby, H. Wakefield. The Advanced Leaner’s Dictionary of Current English. (London: Oxford University Press. 1973). hal. 430.
[4] Webster’s World University Dictionary. hal. 401.
[5] Ensiklopedi Indonesia. Bagian I. hal. 362.
[6] Achmad Charris Zubair. Kuliah Etika … hal. 81.
[7] Lihat Webster’s New Twentieth Century Dictionary of English Language. hal. 138; The Advanced Leaner’s of Current English. hal. 63; Ensiklopedi Indonesia. hal. 557; dan Asmaran As. Pengantar Studi … hal. 26.
[8] Q.S. al-Nahl, [16]: 125 dan al-Qashash, [28]: 84.
[9] Q.S. al-Baqarah, [2]: 57.
[10] Q.S. al-Baqarah, [2]: 158.
[11] Q.S. al-Isra’, [17]: 79.
[12] Q.S. al-Isra’, [17]: 23.
[13] Q.S. al-Baqarah, [2]: 177.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By