Breaking News

Sabtu, 10 September 2011

Kebahagiaan Bagi Manusia


      Orang-orang yang mendapatkankebahagiaan, keberuntungan, kemenangan, dan keutamaan hidup, banyak dijelaskandalam al-Qur’an, antara lain dalam surat al-Baqarah ayat 5 yang artinya; “Merekalahyang dapat (memegang teguh) hidayah dari Tuhannya. Dan merekalah yang mendapatkemenangan.”
Dalamsurat al-Mu’minun ayat 1 dan 2 yang artinya: “Sesungguhnya beruntunglahorang-orang yang beriman (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.”
Dalamsurat al-A’la ayat 15-17 yang artinya; “Sesungguhnya beruntunglah orang yang bersih (dari dosa).Dan dia ingat nama (sifat-sifat Agung Tuhannya, lalu dia shalat.”
Dengan ayat-ayat tersebut jelaslahseseorang baru akan berbahagia apabila ia beriman dan melaksanakan isiayat-ayat tersebut.
Masihbanyak ayat-ayat lain dan sabda Rasul yang merupakan al-akhlak al-karimah yangmembawa manusia ke kebahagiaan hidup dan keutamaan hidup. Para shufi denganberbagai macam pelaksanaannya sudah biasa menempuh jalan yang ditujukan olehAllah Swt dan Rasul-Nya meskipun dengan pengalaman masing-masing yang berlainanbentuknya.
            Apabilakita menurutkan orang tentang bahagia, maka yang disebut bahagia itu banyaksekali bentuknya dan sifatnya, sebanyak penderitaan, karena orang yangmenderita akan membayangkan alangkah bahagianya apabila penderitaan itu hilangdari dirinya. Juga sebanyak orang yang sedang mengalami kekecewaan atausebanyak orang miskin, atau sebanyak orang yang ingin mendapat nama yangmasyhur, berpangkat tinggi, atau beristeri cantik, dan hiasan-hiasan dunialainnya, yang seringkali hal-hal tersebut hanyalah merupakan kesenangantemporer. Bahkan ada yang dikejar namun setelah dicapai bukanlah kebahagiaanyang diraih, sebab dibalik itu justeru mengakibatkan kekecewaan.
            Olehkarena itu umat Islam jangan tertipu dengan kesenangan temporer, kegembiraansementara, yang seringkali lupa kepada Allah Swt. Demikian juga apabila kitamendapat keuntungan tidak perlu berlebih-lebihan menampakkan diri kepada oranglain. Hendaknya kita bersyukur dalam arti kita merasa gembira dalam hati, mampumenggunakan keuntungan itu dan memeliharanya sesuai dengan kehendak Pemberinya,dan mampu juga berterima kasih kepada manusia yang menyebabkan kita mendapatkenikmatan; hindarkanlah kekufuran atas nikmat itu.
            Puncakkebahagiaan dalam Islam sebenarnya adalah kenal akan Tuhan, yaitu baik ma’rifatkepada-Nya, baik dalam taat kepada-Nya, baik dalam syukur atas nikmat yangditerimanya dan baik atas musibah yang menimpa dirinya. Dirinya selalu beradadalam ridla Allah Swt.
            Mengenaikesempurnaan perangai yang utama, kita perhatikan keutamaaan pikiran yang dapatmembedakan mana jalan yang benar yang membawa kepada kebahagiaan, dan manajalan yang salah yang akan membawa kepada kehinaan. Akal manusia yang mendapatcahaya Tuhan setelah mengetahui mana yang benar, kemudian dilaksanakan sesuaidengan kemampuannya dan mana yang salah sekaligus dijauhinya.
            Agamamemerintahkan kepada manusia untuk menggunakan akalnya agar memikirkan ayatAllah yang ada dalam al-Qur’an atau ayat Qur’aniyah dan ayat-ayat yang terdapatdalam alam semesta atau ayat-ayat kauniyah. Kesemuanya ini untuk kembali kepadaAllah Swt. Manusia yang telah kembali kepada-Nya, dengan sendirinya keutamaanbuki akan tercapai, ia mampu menghilangkan segala perangai yang buruk, adatistiadat yang rendah.

            Untukmencapai budi pekerti yang mulia yang mempunyai dampak terasanya keutamaan dankebahagiaan hidup bagi manusia, dalam melaksanakan perangai yang terpuji danmenghindarkan diri dari perangai tercela, hendaknya disertai dengan hati yangikhlas, bukan karena terpaksa, ria atau sum’ah. Juga disertai kejujuran dantetap istiqamah. Dengan demikian hati tidak merasa miskin, tercapailahkebahagiaan hidup, meskipun kadang-kadang ditinjau dari segi kehidupan duniawitidak termasuk orang kaya dengan harta, juga tidak mempunyai kedudukan yangtinggi.
            Shufi di zaman Rasulullah adalahorang yang berakhlak tinggi, berbudi mulia, sanggup menderita lapar dan haus,dan jika memperoleh kekayaan, tidaklah kekayaan itu melekat ke dalam hatinya,sehingga mudah menafkahkannya, dan apabila sewaktu-waktu terpisah tidak akanmelukai hatinya. Demikian pula kedudukan dan kehormatan lainnya yang hanyadipandang dari pujian manusia saja. Demikianlah shufi yang akan mendapatkeutamaan dan kebahagiaan hidupnya baik di dunia maupun di akhirat. 
Read more ...

Pengaruh Tasawuf Bagi Manusia


              UmatIslam yang mempelajari tasawuf itu tidak selalu mempunyai pengaruh positif bagidirinya, namun kemungkianan adanya pengaruh negarif. Hal ini akan tergantungkepada ajarannya, cara mempelajarinya dan menerapkannya.
            Pengaruh positif misalnya, bagiorang yang bersangkutan akan mempunyai hati yang ikhlash dalam amal danberjuang, sebab ilmu tasawuf  dapatmenuntun kepada yang telah menghayatinya agar rohaniyahnya selalu rindu ataskasih sayang Allah Swt. Dengan demikian ia akan selalu membersihkan dirinyakarena Allah itu Maha Suci. Ia akan memiliki jiwa yang tenang dan keyakinanyang mendalam dan akan tersasa indah dan senang dalam ibadah.
            Pengaruh negatif dari mempelajaritasawuf apalagi tanpa guru, ialah apabila dilakukan ‘uzlah menyingkirkan diridari masyarakat, dalam waktu yang tidak ditentukan, karena terdorong bencikepada duniawi. Hal ini akan melemahkan perjuangan umat Islam sendiri baikdalam meningkatkan taraf hidupnya maupun dalam melaksanakan amar ma’ruf nahimunkar.
            Hamkadalam tasawuf modern mengemukakan, bahwa orang yang menyisih  inilah asal-usul kaum shufi itu, yang mulanyabermaksud baik, tetapi akhirnya telah banyak tambahnya. Maksud hendak memeranginafsu, dunia dan syetan, tetapi kadang-kadang menempuh jalan yang tidak digariskanoleh ajaran agama. terkadang mereka haramkan kepada dirinya sendiri barang yangdihalalkan Allah, bahkan ada yang tidak mau lagi mencari rezeki karenabencinya.
            Kehidupanyang asalnya dari zuhud dan membenci kemegahan dunia yang dicapai orang lain ataukehidupan mencari kekayaan di dalam hati sendiri, tambah lama bertambah majudan bertambah dalam. Dari dalam tasawuf itulah timbul tilikan tentang artima’rifat, sa’adah, dan bagaimana ikhtiar untuk mencapai hubungan yang kekaldengan Tuhan.
            Bekaspendidikan tasawuf dan pengaruhnya yang negatif terus menyebar ke dalam duniaIslam. sekian lamanya kaum muslimin membenci dunia dan tidak menggunakankesempatan sebagaimana orang lain. Itulah sebabnya umat Islam menjadi lemah,akan berkurban tidak ada yang akan dikurbankan, dan akan naik hajji tidakmempunyai bekal.
            KetikaImam Nawawi menyalinkan perkataan Imam Syafi’iy yang memberi syarah sebuahhadits yang berbunyi; “Zuhudlah kepada dunia supaya Allah cinta kepadamu danzuhudlah terhadap apa-apa yang ada di tangan manusia supaya manusia pun sukapadamu” dengan ; “Menuntut berlebihan harta benda walaupun pada yanghalal, adalah siksa yang diberikan Allah kepada hati orang mu’min.”
SayyidRidla berkata; bahwa pendapat itu jauh dari kebenaran, karena meminta tambahharta yang halal tidaklah haram, dan bukan pula siksa, sebab mengapa diadihalalkan? Dan bahkan pula dimakruhkan. Jatuh hukum haramnya ialah jika hartayang halal itu menjadi tangga untuk mencapai yang haram, dan dimakruhkanapabila menyebabkan perbuatan tercela.
            Banyakpara shahabat yang besar, para tabi’in dan orang-orang yang shalih yangmempunyai harta lebih daripada yang diperlukan. Dalam hal ini memang menjadipertikaian para ulama, mana yang lebih utama di sisi Allah, orang kaya yangsyukur atau yang fakir yang sabar?.
            Jauhsebelum Islam datang di masyarakat Indonesia telah tumbuh dan berkembang sikapkerohanian tertentu, baik berupa kepercayaan primitif yang bersifat lokal,walaupun yang bercorak Hindu Budhisme yang datang kemudian. Sikap kerohanianyang selalu mendambakan diri kepada sesuatu yang ghaib dan Yang Maha Ghaibtelah bersemi dan mendarah daging dalam diri setiap manusia Indonesia. Demikianpula ajaran Hindu yang bersifat mistik telah menguasai banyak masyarakat.Karenanya hidup bersemedi menjauhkan diri dari kemewahan dunia untuk memperolehsuatu kelepasan dan kebahagiaan bathin, bukan lagi merupakan masalah baru bagibangsa Indonesia.
            AjaranIslam datang dan bersamaan dengan faham tasawuf yang kemudian berkembangmenjadi ajaran tharikat. Tentu saja kedatangan ajaran Islam bersama fahamtasawuf ini disambut baik dengan terbuka dan mental yang siap menunggu.Karenanya tidak heran lagi apabila faham tasawuf yang lebih mengutamakan hidupkerohanian dengan pencucian bathin bisa hidup subur dan berkembang di seanterapenjuru Nusantara sampai sekarang ini. Pengaruhnya kemudian menjadi dominan,dan hal ini dapat dilihat dalam berbagai aspek dan kegiatan keagamaan, dalampraktek ibadat, sosial budaya, pendidikan dan sebagainya.
            Kadang-kadangtimbul sikap fanatik dan pemujaan yang berlebih-lebihan terhadap syaikh,misalnya; sisa makanan dan minuman menjadi rebutan orang dengan harapan  memperoleh berkah. Minta pertolongan danbantuan kekuburan orang-orang yang dianggap keramat.
            Selanjutnyakita perhatikan pecahnya kerajaan Mataram pada masa yang lalu menjadi 4kerajaan kecil, kemudian hilang kekuasaan politik dan kenegaraannya, makaperhatian mulai dipusatkan kepada perkembangan kerohanian dan kebudayaanspiritual. Timbullah faham kerohanian dan kesusasteraan Jawa Baru.

            Dalampengembangan kesusasteraan Jawa Baru ini yang dijadikan sumber adalahkitab-kitab kuna yang digubah ke dalam bahasa dan syair Jawa Baru; jugabersumber kepada ajaran Islam yang telah lama berpusat di pesantren yang digubahdan dipadukan dengan alam pikiran jawa. Perhatikanlah karya-karya;
-         Serat Centini, ditulis oleh pujangga Yosodipuro II, RonggoSutrasono dan R. Ng. Sastrodipuro. Karya ini banyak dipengaruhi faham tasawuf,misalnya jenjang pengalaman ilmu kebathinan, yaitu syari’at, tharikat, hakikatdan ma’rifat.
-         Serat Wirid Hidayat Jati, karya R. Ng. Ronggowarsito, bukanbuku yang mudah dibaca, sebab untuk mengetahuinya secara mendalam harus lebihdahulu mengetahui tharikat yang berkembang terutama mengenai martabat tujuh(lihat ajaran Hamzah F.).
KitabWedhatama, karya pangeran Adipati Mangkunegara IV, yaitu sembahyang empattingkat. Ajaran ini sejajar dengan ajaran tentang pengertian tasawuf yaitu;syariat, tharikat, hakikat dan ma’rifat dan dinamakan ‘Sembah Catur’.
Read more ...

Abdur Rauf Singkel Dalam Dunia Sufistik (Tokoh Tasawuf Indonesia)


       Beliaubanyak belajar di Makkah, Madinah dan Jedah. Ia memperoleh ijazah TharikatSattariyah dari gurunya Syaikh Ahmad Qushashi dan Syaikh Maulana Ibrahim(Khalifah Tharikat Syattariyyah). Selain seorang Sufi, juga beliau sebagaiulama besar bermadzhab Syafi’iy. Beliau mengajar di Singkel pada tahun 1661 M.Muridnya yang terkenal ialah Burhanuddin dari Ulakan yang kemudian menyebarkanTharikat Sattariyyah di Pariaman.

Ajarannyaantara lain:

i)       Kejadian manusia.

Sebelummakhluk ini diciptakan, semuanya berada di dalam ilmu Allah yang disebut ‘AyanTsabithah. Allah berpikir dan memikirkan diri-Nya sendiri menurutilmu-Nya yang tak dapat kita ketahui. Akibat pemikirannya itu keluarlah materiyang disebut ‘ayan kharijah. ‘Ayan Tsabithah ini termasuk tuhyang akan dimasukkan ke dalam ‘Ayan Kharijah.

ii)     Hati

Hatiadalah unsur penting dalam tubuh manusia. Bila hati manusia baik, maka baiklahmanusianya, dan apabila hati ini buruk, maka buruk dan jahatlah manusianya. Ada7 golongan martabat hati, yaitu:
-         Hati mati (hati orang kafir)
-         Hati munafik
-         Hati fasik
-         Hati salim
-         Hati tawajjuh (yang selalu menghadap Allah)
-         Hati mujarrad (yang telah terbuka untuk bertemu denganAllah)
-         Hati Rabbani (yang sudah pantas dapat bertemu dengan Allah).

iii)   Dzikir.

Dzikiritu ialah membersihkan diri dari ghoflah dan nisyan dengan menghadirkan yanghag di dalam hati secara terus menerus agar dengan demikian dapat memperolehpengaruh.
            Dzikir yang paling popular dalamTharikat ini adalah lafadz;
-         Laa ilaha illa Allah (tiada tuhan kecuali Allah)
-         Laa ma’buda illa Allah (tiada yang disembah kecuali Allah)
-         Laa maujuda illa Allah (tiada yang maujud kecuali Allah)

Adapunorang-orang pengikut dzikir itu terdiri atas;
-         Tingkatan Mubtady
-         Tingkatan Mutawasith
-         Tingkatan Muntahy.

Dalamperlaksanaannya ada yang dinamakan dzikir hasanat (yang dilaksanakan tanpamengikuti aturan-aturan khusus), dan ada yang dinamakan dzikir darajat (yangdilakukan dengan berpedoman kepada aturan-aturan).


Artikel di atas hanya sedikit coretan, selebihnya wallahu a'lam ^_^
Read more ...

Hamzah Fansuri Dalam Dunia Sufistik (Tokoh Tasawuf Indonesia)


            Iaberasal dari daerah Barus dan kemunculannya dikenal pada masa kekuasaan SultanAlauddin Ri’ayat Syah di Aceh pada abad XVI M.
            Hamzah Fansuri seorang ahli tasawufasli Melayu yang suka mengembara menjelajah Timur Tengah, Syam, Malaya, danbeberapa pulau Nusantara Indonesia. Karya tulisnya dibuat dalam beberapabahasa, seperti: Bahasa Arab, Persia, Melayu dan sebagainya misalnya: Sya’irPerahu, Sya’ir Burung Pingai, Sya’ir Dagang, Sya’ir Jawi, Asrar Al-‘Arifin,Syarabul ‘Asikin (Zinat Al-Muwahidin). Pandangannya merupakan perpaduanantara tasawuf, filsafat dan ilmu kalam.
Sebagian ajarannya dapat dikemukakansebagai berikut:

i.       Wujud

Wujudhanyalah satu, meskipun kelihatannya banyak. Wujud yang satu itu berkulit danberisi, ada kenyataan lahir dan batin. Wujud ini mempunyai 7 martabat:

1.     Ahadiyah, hakikat sejati dari Allah;
2.     Wahda, hakikat dari Muhammad;
3.     Wahdiyah, hakikat dari Adam;
4.     Alam Araah, hakikat dari nyawa;
5.     Alam Mitsak, hakikat dari segala bentuk;
6.     Alam ajsam, hakikat tubuh;
7.     Alam insan, hakikat manusia.

Semuaberkumpul pada yang satu. Itulah Ahadiyah, itulah Allah dan itulah Aku. (LihatHamka: Tasawuf, Perkembangannya dan Pemurnianya).

ii.     Allah

Allahadalah Dzat yang Mutlak dan Qadim, First Causal (sebab pertama) dan Pecintaalam semesta. Dzat Allah bisa ditamsilkan seperti laut yang dalam, lautbatiniah. Tuhan itu ada pada diri manusia, tetapi tidak identik dengan alam. Allahbersifat Qadim, Hidup, Berilmu, Berkehendak, Berkuasa, Berkata, Mendengar danMelihat.

iii.   Penciptaan

Sebenarnyahakikat dari Dzat Allah itu adalah Mutlak dan La-Ta’ayun (tidak dapatditentukan/dilukiskan). Dzat yang mutlak itu mencipta dengan cara menyatakandiri-Nya dalam suatu proses penjelmaan, yaitu pengaliran kembali kepada-Nya(Taraqy). Mengenai Ta’ayun ini dikemukakannya terdiri dari: Ta’ayun awal,Ta’ayun tsani sampai dengan Ta’ayun khamis.

iv.   Manusia

Walaupunmanusia sebagai tingkat terakhir dari penjelmaan, akan tetapi manusia adalahtingkat yang paling penting dan merupakan penjelmaan yang paling penuh(sempurna). Ia adalah aliran/pancaran langsung dari dzat Allah yang mutlak. Halini menunjukan adanya kesatuan antara Allah dan manusia.

v.     Kelepasan

Sekalipunmanusia ini mempunyai potensi untuk menjadi insan kamil, tetapi karenaghoflahnya maka pandangannya kabur dan tidak sadar bahwa seluruh alam semestaini adalah wajmi, palsu, atau bayangan. Kecerobohan/ghoflahnya adalah perbuatansalah dan dosa, sedangkan obatnya ialah pengenalan terhadap diri sendiri,sehingga seorang mengamati rupanya, hanyalah suatu bayangan, namanya hanyalahsuatu gelar saja, sedangkan memiliki rupa atau nama itu sebenarnya bagian yangterdalam dari dirinya sendiri.
            Yang dicita-citakan oleh Hamzahdalam menuju kelepasan ini ialah penjauhan diri terhadap dunia ini secaratotal. Untuk ini seseorang harus menempuh empat tingkatan jalan, yaitu: Syari’a,Tharikat, Hakikat dan Ma’rifat.
            Secara berurutan dari: Dari AlamNasut, ke alam Malakut, kemudian Alam Jabarut dan alam Fana.
-         Alam Nasut, suatu tingkatan bahwa setiap manusia beradamenurut kodratnya dan pada tingkat ini seseorang dianggap baru mulai.
-         Alam Malakut, suatu tingkatan di mana seseorang harusmelalui jalan rohani.
-         Alam Jabarut, suatu tingkatan di mana tingkat inidihubungkan pertemuan hamba dengan Tuhan, ialah mengenal Allah denganpengetahuan sempurna, tidak melekat pada keluarga dan harta, serta kedudukanyang menjadi miliknya, tidak henti-hentinya menyebut Allah serta mencintai-Nya.
AlamFana, adalah alam ma’rifat, yaitu tingkatan yang paling tinggi dan sempurna dansekaligus merupakan rahasia Nabi.
Read more ...

Perkembangan Tasawuf di Indonesia


            Islammasuk ke Indonesia dapat dikatakan pada abad pertama Hijriyah yang dibawa olehpara pedagang dari luar, termasuk dari Arab sendiri. Kemudian mengalami pasangsurut seolah-olah hampir menghilang beberapa abad lamanya. Namun pada abad XIM. Islam ini menampakkan kekuasaannya lagi di Indonesia dengan berfaham Syi’ah,kemudian pada abad XIII berubah lagi menjadi aliran Syafi’iyah.
            Timbul pertanyaan, kapankah tasawufmasuk di Indonesia? Di abad ke III H. tasawuf telah mengembang ke luar darikota Bashrah dan Kufah, ke kota Bagdad dan terus mengalir ke tanah Persia,Mesir, Syam dan Jazirah Arab. Waktu itu mulailah hubungan yang erat antara guru(syekh) dan muridnya. Baghdad sangat subur tanahnya buat perkembangan Tasawufpada waktu itu.
            Apabila kehidupan shufi asalnya dariArab, kemudian tenggelam dan kembali ke tanah Arab, hal ini disebabkan setelahKhulafa al-Rasyidin, yaitu sebagian tokoh umat Islam tergoda dengan kehidupandunia yang berlebih-lebihan. Kemudian timbul kembali beberapa ulama yangmengemukakan bahwa kehidupan akhirat itu lebih baik dari pada kehidupan duniasebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an.
            Suasana tasawuf dalam bentuktharikat banyak berkembang di Indonesia, seperti: Tarekat Qadiriyah yangberasal dari Baghdad, Naqsabandiyah dari Turkistan, Sattariyah yang pada abadXVIII M berpusat di Makkah, di mana Abd al-Rauf Singkel sendiri pernahmempelajarinya dan kemudian mendapat ijazah untuk mendirikan faham tersebut diIndonesia. 
Read more ...

Ibnu Arabi Dalam Dunia Sufistik


            MuhyiddinIbn Arabi lahir di Murcia, Spanyol di tahun 1165. setelah selesai studi di Seville,ia pindah ke Tunis di tahun 1194, dan di sana ia masuk aliran sufi. Di tahun1202 M. ia pergi ke Mekah dan meninggal di Damaskus di tahun 1240 M.
            Ibn Arabi, selain sebagai sufi jugadikenal sebagai penulis yang produktif. Jumlah buku yang dikarangnya menurutperhitungan mencapai lebih dari 200, di antaranya ada yang hanya 10 halaman,tetapi ada pula yang merupakan ensiklopedia tentang sufisme seperti kitab Futuhahal-Makkah. Di samping buku ini, bukunya yang termasyhur ialah Fususal-Hikam yang juga berisi tentang tasawuf.[1]

            Menurut Hamka, Ibn Arabi dapatdisebut sebagai orang yang telah sampai pada puncak wahdat al-wujud. Dia telahmenegakkan fahamnya dengan berdasarkan renungan pikir dan filsafat dan zauqtasawuf. Ia menyajikan ajaran tasawufnya dengan bahasa yang agak berbelit-belitdengan tujuan untuk menghindari tuduhan, fitnah dan ancaman kaum awamsebagaimana dialami al-Hallaj. Baginya Wujud (Yang Ada) itu hanya Satu.Wujudnya makhluk adalah lain wujud Khaliq. Pada hakikatnya tidaklah ada pemisahdi antara manusia dan Tuhan. Kalau dikatakan berlainan antara Khalik danmakhluk itu hanyalah lantaran pendeknya paham dan akal dalam mencapai hakikat.Dalam Futuhat al-Makkah, sebagai kitab yang dikarangnya, Ibn Arabimengatakan bahwa:

يَاخَالِقَ الشَّيْئِ فىِنَفْسِنىِ اَنْتَ لِمَا تَخْلُقُهُ جَمِيْعَ تَخْلُقُ مَالاَيَنْتَهِى كَوْنُهُفَبِكَ فَاَنْتَ الضَّيِّقُ الْوَاسِعُ

   “Wahai Yang Menjadikan segala sesuatu padadirinya Engkau bagi apa yang Engkau jadikan, mengumpulkan apa yang Engkaujadikan, barang yang tak berhenti adanya pada Engkau maka Engkaulah yang sempitdan lapang”.[2]

            Selain itu Ibn Arabi mengatakan pulabahwa wujud alam ini adalah ‘ain wujud Allah. Allah itulah hakikat alam. Tidakada di sana perbedaan di antara wujud yang qadim yang disebut Khaliq denganwujud yang baru yang disebut makhluk. Tidak ada perbedaan antara ‘abid (manusiayang menyembah) dengan ma’bud (Tuhan yang disembah). Perbedaan itu hanya rupadan ragam, sedangkan essensi dan hakikatnya sama. Pada bagian syairnya yanglain, Ibn Arabi mengatakan:

اَلْعَبْدُ رَبٌّ وَرَبٌّعَبْدٌ يَا لَيْتَ شِرِّى مِنَ الْمُكَلَّفِ اِنْ قُلْتَ عَبْدٌ فَذَاكَ رَبٌّاَوْ قُلْتَ رَبُّ اَنَّى يُكَلَّفُ

   “Hamba adalah Tuhan, dan Tuhan adalahhamba. Demi syu’urku,  siapakah yangmukallaf. Kalau engkau katakan, Hamba, padahal dia Tuhan atau engkau katakanaTuhan, yang mana yang diperintah?”[3]

            Selanjutnya Ibn Arabi mengatakan,kalau sekiranya antara Khaliq dan makhluk itu saja wujudnya, mengapa kelihatandua? Yaitu karena manusia tidak memandangnya dari wajah yang satu. Merekamemandang kepada keduanya dengan pandangan, bahwa wajah pertama ialah haqq danwajah kedua adalah Khalik. Tetapi kalau dipandang dalam ‘ain yang satu danwajah yang satu, atau dia adalah wajah yang dua dari hakikat yang satu,tentulah manusia akan mendekati hakikat Zat Yang Esa, yang tiada terbilang dantidak terpisah.[4]
            Konsep yang diuraikan diatas tadiitulah yang kemudian dikenal dengan wahdat al-wujud Ibn Arabi.[5] Wahdat al-wujud adalah ungkapan yangterdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdatartinya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada.[6] Dengan demikian wahdat al-wujudberarti kesatuan wujud. Kata wahdah selanjutnya digunakan untuk artiyang bermacam-macam. Di kalangan ulama klasik ada yang mengartikan wahdahsebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebihkecil. Selain itu kata al-wahdah digunakan pula oleh para ahli filsafatdan sufistik sebagai suatu kesatuan antara materi dan roh, substansi (hakikat)dan forma (bentuk), antara yang nampak (lahir) dan yang batin, antara alam danAllah, karena alam dari segi hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan.[7]
            Pengertian wahdat al-wujud yangterakhir itulah yang selanjutnya digunakan para sufi, yaitu paham bahwa antaramanusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud. Harun Nasutionlebih lanjut menjelaskan paham ini dengan mengatakan, bahwa dalam paham wahdatal-wujud, nasut yang ada dalam hulul diubah menjadi khalq(makhluk) dan lahut menjadi haqq (Tuhan). Khalq dan haqq adalahdua aspek bagian sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut khalq danaspek yang sebelah dalam disebut haqq. Kata-kata khalq dan haqqini merupakan padanan kata al-‘arad (accident) dan al-jauhar(substance) dan al-zahir (lahir-luar-nampak), dan al-bathin(dalam, tidak nampak).[8] Dan dari kedua aspek tersebut yangsebenarnya ada dan yang terpenting adalah aspek batin atau al-haqq yangmerupakan hakikat, essensi atau substansi. Sedangkan aspek al-khalq, luar danyang nampak merupakan bayangan yang ada karena adanya aspek yang pertama(al-haqq).[9] Dari sini kemudian membawa kepadatimbulnya paham bahwa antara makhluk (manusia) dan al-haqq (Tuhan) sebenarnyasatu kesatuan dari wujud Tuhan, dan yang sebenarnya ada adalah wujud Tuhan itu,sedangkan wujud makhluk hanya bayang atau foto copy dari wujud Tuhan. Paham inidibangun dari suatu dasar pemikiran bahwa Allah sebagai diterangkan dalamal-hulul, ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya, dan oleh karena itudijadikan-Nya alam ini. Dengan demikian alam ini merupakan cermin bagi Allah.Pada saat Ia ingin melihat diri-Nya, ia cukup dengan melihat alam ini. Padabenda-benda yang ada di alam ini Tuhan dapat melihat diri-Nya, karena pada benda-bendaalam ini terdapat sifat-sifat Tuhan, dan diri sinilah timbul paham kesatuan.Paham ini juga mengatakan bahwa yang ada di alam ini kelihatannya banyak tetapisebenarnya satu. Hal ini tak ubahnya seperti orang yang melihat dirinya dalambeberapa cermin ia lihat dirinya kelihatan banyak, tetapi sebenarnya dirinyahanya satu. Dalam kitab Fushush al-Hikam sebagaimana yang dijelaskanoleh al-Qashimi dan dikutip oleh Harun Nasution, menjelaskan:

وَمَا الْوَجْهُ اِلاَّ وَاحِدٌ غَيْرَاَنَّهُ اِذَا اَنْتَ اَعْدَدْتَ الْمَرَابَا تَعَدُّدًا

   “Wajah sebenarnya satu, tetapi jika engkauperbanyakan cermin ia menjadi banyak.”[10]

            Selanjutnya, bahwa makhluk yangdijadikan Tuhan dan wujudnya bergantung kepada-nya, adalah sebagai sebab darisegala yang berwujud selain Tuhan. Yang berwujud selain Tuhan tak akanmempunyai wujud, sekiranya Tuhan tidak ada. Tuhanlah yang sebenarnya yangmempunyai wujud hakiki atau yang wajib al-wujud. Sementara itu makhluk sebagaiyang diciptakan-Nya hanya mempunyai wujud yang bergantung kepada wujud yangberada dirinya, yaitu Tuhan. Dengan kata lain yang mempunyai wujud sebenarnyahanyalah Tuhan dan wujud yang dijadikan ini sebenarnya tidak mempunyai wujud.Yang mempunyai wujud sesungguhnya hanyalah Allah. Dengan demikian yang sebenarnyahanya satu wujud, yaitu wujud Tuhan.[11] Ibn Arabi lebih lanjut mengatakan:

اِنَّ الْمُحـْدِثُ قَدْثَبَتَ حـُدُوْثُهُ وَاِفْتـِقَارُهُ إِلىَ مُحْـدِثٍ اَحـْدَثَهُ لاَِمـْكَانِهِلِنَفْسـِهِ فَوُجـُوْدُهُ مِنْ غَيْرِهِ ... وَلاَ بُدَّ اَنْ يَّكُوْنَ الْمُسْتـَنَدُإِلَيـْهِ وَاجَبَ الْوُجُـوْدِ لِـذَاتِهِ غَنِيًّا فىِ وُجُـوْدِهِ بِنَفْسـِهِغَيْرَ مُفْتـَقِرٍ وَهُوَ الَّذِى اَعْطَى الْوُجـُوْدَ بِذَاتِهِ لِهَـذَاالْحَـدِيْثِ وَاجِـبُ الْوُجُـوْدِ وَلَكِنْ وُجُـوْبُهُ بِغَيْرِهِ لاَبِنَفْسِـهِ

   “Sudah menjadi kenyataan bahwa makhlukadalah dijadikan dan bahwa ia berhajat kepada Khaliq yang menjadikannya; karenaia hanya mempunyai sifat mumkin (mungkin ada mungkin tidak ada), dan dengandemikian wujudnya bergantung pada sesuatu yang lain … dan sesuatu yang laintempat ia bersandar ini haruslah sesuatu yang lain; yang pada essensinyamempunyai wujud yang bersifat wajib, berdiri sendiri dan tak berhajat kepadayang lain dalam wujudnya; bahkan ialah yang dalam essensinya memberikan wujudbagi yang dijadikan. Dengan demikian yang dijadikan mempunyai sifat wajib,tetapi sifat wajib ini bergantung pada sesuatu yang lain, dan tidak padadirinya sendiri.”[12]

            Paham wahdat al-wujud tersebut diatas mengisyaratkan bahwa pada manusia ada unsur lahir dan batin, dan padaTuhan pun ada unsur lahir dan batin. Unsur lahir manusia adalah wujud fisiknyayang nampak, sedangkan unsur batinnya adalah roh atau jiwanya yang tidak nampakyang hal ini merupakan pancaran, bayangan atau foto copy Tuhan. Selanjutnyaunsur lahir pada Tuhan adalah sifat-sifat ketuhanannya yang nampak di alam ini,dan unsur batinnya adalah zat Tuhan. Dalam wahdat al-wujud ini yang terjadiadalah bersatunya unsur lahut yang ada pada manusia dengan unsur nasut yang adapada Tuhan sebagaimana dikemukakan dalam paham hulul. Dengan cara demikian makapaham wahdat al-wujud ini tidak mengganggu zat Tuhan, dan dengan demikian tidakakan membawa keluar dari Islam.[13] Ini pun dapat dilihat pada firmanAllah Swt:

هُوَ اْلاَوَّلُ وَاْلاَخِرُ وَالظَّاهِرُوَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْئٍ عَلِيْمٌ

   “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir YangZahir dan Yang Batin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”.[14]

وَاَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةًوَبَاطِنَةً

“Dan menyempurnakan untukmu ni’mat-Nyalahir dan batin.”[15]

            Sebagaimana dikemukakan di atasbahwa wujud manusia sebagai bergantung kepada wujud Tuhan dapat dipahami bahwamanusia aalah sebagai makhluk yang butuh dan fakir, sedangkan Tuhan adalahsebagai Yang Maha Kaya. Faham yang demikian sesuai pula dengan isyarat ayat yangberbunyi:

يَآيُّهَا النَّاسُ اَنْتُمُ الْفُقَرَآءُإِلىَ اللهِ وَاللهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيْدُ

   “Hai manusia, kamulah yang berkehendakkepada Allah, dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagiMaha Terpuji.”[16]

            Kata al-awwal pada suratal-Hadid di atas diartikan dengan yang telah ada sebelum segala sesuatu ada,dan al-akhir ialah yang tetap ada setelah segala sesuatu musnah. “YangZahir” juga artinya yang nyata adanya karena banyak bukti-buktinya dan “YangBatin” ialah yang tak dapat digambarkan hakikat Zat-Nya oleh akal.[17]Namun dalam pandangan sufi bahwa yang dimaksud dengan yang zahir adalahsifat-sifat Allah yang nampak, sedangkan yang batin adalah zat-Nya. Manusiadianggap mempunyai kedua unsur tersebut karena manusia berasal dari pancaranTuhan, sehingga antara manusia dengan Tuhan pada hakikatnya satu wujud.[18]Sedangkan dalam surat Luqman di atas dinyatakan bahwa yang lahir dan batin itumerupakan nikmat yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Dan jelaslah bahwapada manusia juga ada unsur lahir dan batin itu.[19]


[1]Harun Nasution. Filsafat dan … hal. 62.
[2]Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 253-254.
[3]Ibid. hal. 254.
[4]Hamka. Tasawuf Perkembangan … hal. 155.
[5]Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 247-255.
[6]Mahmud Yunus. Kamus Arab … hal. 492 dan 494.
[7]Jamil Shaliba. Al-Mu’jam al-Falsafi … hal. 549.
[8]Harun Nasution. Falsafat dan … hal. 92.
[9]Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 248.
[10]Harun Nasution. Falsafat dan … hal. 93.
[11]Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 249-250.
[12]Harun Nasution. Falsafat dan … hal. 94-95.
[13]Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 251.
[14]Q.S. al-Hadid, [57]: 3.
[15]Q.S. Luqman, [31]: 20.
[16]Q.S. Fathir, [35]: 15.
[17]Departemen Agama Islam. Al-Qur’an dan Terjemahnya. 1984. hal. 90.
[18]Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 252.
[19]Ibid
Read more ...

Al-Ghazali Dalam Dunia Sufistik


          Namalengkap beliau adalah Abu Hamid Muhammad al-Ghazaly, lahir pada tahun 1059 M diGhazaleh, suatu kota kecil terletak di dekat Tus di Khurasan. Ia pernah belajarkepada Imam al-Haramain al-Juwaini, Guru Besar di Madrasah al-NizamiahNisyafur. Setelah mempelajari ilmu agama, beliau mempelajari ilmu agama,teologi, pengetahuan alam, filsafat dan lain-lain, akhirnya ia memilih tasawufsebagai jalan hidupnya. Setelah bertahun-tahun mengembara sebagai sufi iakembali ke Tus di tahun 1105 M dan meninggal di sana tahun 1111 M.[1]

Iaseorang ulama besar yang memperoleh gelar “Hujjat al-Islam” di sampingluas ilmu dan amalnya juga hidupnya penuh dengan perjuangan dan pengorbanandalam mempertahankan serangan terhadap ajaran agama Islam, baik yang datangnyadari dalam maupun dari luar Islam.
            Dia pernah berkecimpung dalam ilmukalam, bidang filsafat dan juga menyelidiki ilmu kebatinan, tetapi ia tidakpernah merasa puas dengan ajaran-ajaran yang dikemukakan tokoh-tokoh tersebut,yang akhirnya ia memasuki bidang tasawuf. Di situlah ia merasa bahagia karenamendapatkan kebenaran yang mutlak.
            Tasawuf Al-Ghazaly sangat memberikesan dan pengaruh bagi kehidupan para shufi berikutnya, karena ia telahberusaha membuka hijab yang memisahkan antara khalik dan makhluk, sehinggaterungkaplah rahasia-rahasia yang ada di balik alam nyata ini. Indera batin danindera lahir mengambil peranan penting dalam hal ini, akibat ilmu-ilmu yangselama ini bersifat samar-samar dan berdasarkan pengalaman saja berubah menjadisuatu keyakinan dalam kenyataan, bahkan ilmu-ilmu tersebut dapat disusunmenjadi buku-buku yang menjadi pegangan bagi penganut tasawuf berikutnya.Misalnya Ihya ‘Ulumuddin, dipelajari bukan hanya oleh ulama para Shufi.
            Menurut al-Ghazaly, sebagaimana yangditulis dalam kitabnya Al-Munqiz min al-Dalal, mempelajariilmu tasawuf itu lebih mudah daripada mengamalkannya. Maka, kemudian al-Ghazalypun menggali ilmu ini dengan menelaah kitab-kitab, seperti: kitab Qutal-Qulub, karya Abu Thalib al-Makki – rahimah Allah – dan beberapakitab al-Haris al-Muhaisibi serta berbagai wacana terkenal kala itu, yang terpisah-pisahdari al-Junaid, al-Syibli, Abu Yazid al-Bustami – semoga Allahmenyucikan arwah mereka – dan lain-lainnya, dari wacana guru-guru mereka,sampai beliau benar-benar berhasil melihat dan menelaah secara mendalammengenai hakikat tujuan ilmiah mereka. Beliau pun telah berhasil meraih apayang bisa beliau dapatkan dari metode mereka dengan cara belajar danmendengarkan. Yang jelas, di mata al-Ghazaly, untuk mencapai pengetahuankalangan khusus (khawwas) tidak mungkin hanya dicapai melaluibelajar, tetapi melalui rasa, tahapan kondisi ruhani dan pergantian sifat-sifatruhani. Banyak perbedaan untuk mengetahui batasan sehat dan kenyang, disertaibeberapa faktor dan syarat-syaratnya serta perbedaan yang menjelaskan bahwaseseorang itu dikatakan sehat dan sebagai orang yang kenyang. Perbedaan antaramengetahui batasan mabuk, – suatu gambaran dari keadaan dimana adanya gerakanbergelombang dari dinding lambung ke rongga mulut (gerakan anti peristaltik),yang pada akhirnya mempengaruhi keseimbangan pikiran – dan bagaimana keadaanseseorang yang sedang mabuk itu. Orang mabuk tidak mengetahui batasan mabuk danpengetahuan tentang mabuk. Akan tetapi, orang yang sepenuhnya sadar, akan tahutentang batasan mabuk, sendi-sendinya dan keadaan yang berkaitan dengan mabukitu sendiri.[2]
            Seorang dokter yang sedang dalamkeadaan sakit, tentu tahu batasan sehat, sebab-sebabnya serta obat-obatnya,padahal ia sendiri dalam keadaan tidak sehat. Demikian halnya perlu dibedakanuntuk mengetahui hakikat zuhud, syarat-syarat dan sebab-sebabnya, dan antarakeadaan seseorang sebagai orang yang zuhud dan mengasingkan diri dari perkaraduniawi.
            Maka, akan diketahui, bahwakenyataannya mereka merupakan orang-orang yang memiliki laku ruhani, bukanorang-orang yang memiliki kepandaian berbicara. Segala kemungkinan yang dapatdiperoleh melalui metode ilmu pengetahuan mungkin telah diperoleh. Namun untukmeraih pengetahuan sufi, tak ada jalan lain baik lewat belaja maupunpenyimakan, kecuali harus melalui rasa dan suluk.
            Menurut al-Ghazali, jelas tak adalagi keinginan beliau untuk meraih kebahagiaan akhirat, kecuali hanya melaluitakwa dan mengekang hawa nafsu. Sedangkan pangkal dari itu semua adalahmemutuskan ketergantungan hati dengan duniawi dengan cara menjauhkan diri darirumah tipu daya, menuju ke rumah abadi. Menghadapkan sepenuhnya kepada AllahSwt dan semua itu tidak akan tercapai secara sempurna, kecuali denganmemalingkan diri dari tahta, harta dan lari dari berbagai kesibukan sertaketergantungan duniawi. Inilah yang kemudian membawa keluar al-Ghazali darikesibukan belajar-mengajarnya, yang dinilainya sebagai kesibukan dunia yangtiada berarti, bahkan membawanya ketepi jurang yang sangat membahayakannya, danakhirnya beliau pun keluar dari Baghdad meninggalkan rutinitas yang ada[3] dengan alasan akan pergi ke Mekah,padahal sebenarnya hendak menyembunyikan diri dengan pergi ke Syam[4] dan menetap di sana kurang lebih duatahun, di mana tidak terdapat kesibukan lain kecuali ‘uzlah, khalwat, riyadatdan mujahadat dengan tujuan utama membersihak diri, melatih dan mendidikakhlak serta memurnikan hati untuk berzikir kepada Allah Swt sebagaimanapetunjuk ilmu tasawuf yang telah dikuasainya. Lantas mengadakan kunjungan kemasjid Damaskus dan melakukan i'tikaf di sana beberapa saat lamanya. Dansepanjang siang hari naik ke atas menara masjid dan mengunci pintu seorangdiri. Kemudian ke Bait al-Maqdis, memasuki biliknya dan menutup pintu untukmenyendiri. Kemudian ke Mekah dan Madinah. Dari sana kemudian ke Hijaz.[5]
                Selama sepuluh tahun beliau berkhalwat dan di tengah-tengahkhalwat ini menurutnya, tersingkap beberapa perkara yang tidak mungkin dihitungdan diselidiki sedalam-dalamnya. Misalnya, beliau melihat dengan yakin,sebenarnya para sufi adalah mereka yang meniti jalan Allah Swt saja sebagaiprioritas, dan perjalanan hidupnya merupakan perjalanan paling lurus, danakhlak mereka merupakan akhlak paling bersih dan suci. Bahkan andaikata akalorang-orang kreatif, kebijaksanaan para cendekiawan, pengetahuan orang-orangyang menekuni dan mendalami rahasia-rahasia syariat dari kalangan ulama inginmengubah sedikit saja dari perjalanan hidup para sufi dan akhlak mereka, laluberupaya menggantinya dengan yang lebih baik, pasti menemui jalan buntu. Sebab,segala gerakan dan ketenangan mereka di dalam lahir dan batinnya memang dipetikdan dipancarkan dari cahaya lampu kenabian. Sementara tak ada lagi setelahcahaya kenabian yang terdapat di dunia ini, tidak ada lagi cahaya yang bisamenerangi.[6]
            Membersihkan hati secara menyeluruhdari segala hal selain Allah Swt adalah syarat utama tharikat ini. Sedangkankuncinya, melalui alur sebagaimana orang yang salat, tenggelamnya hati secarakeseluruhan, melalui zikir kepada Allah Swt. Dan akhirnya melebur diri (fana’)secara mutlak di dalam Allah. Dan demikian akhirnya bila disandarkan kepadasesuatu yang nyaris masuk di bawah usaha dan kasab sejak padapermulaannya. Dan kenyataan semacam ini sebenarnya baru merupakan permulaantharikat. Sebelumnya tak lebih dari lorong sempit bagi penempuh yang melewatinya.
            Permulaan tharikat ini adalah mukasyafahdan musyahadah dengan jelas, sehingga mereka dalam keadaan terjaga pundapat menyaksikan malaikat dan ruh para Nabi. Mereka bisa mendengarkansuara-suara (spiritual) dan memetik berbagai manfaat darinya. Kemudian tahapruhaninya meningkat, dari penyaksian terhadap beberapa gambaran dan bayangansampai ke derajat yang sulit untuk diucapkan oleh kata-kata. Dan kalau punharus diucapkan, niscaya akan menimbulkan kekeliruan yang amat besar, dimanakesalahan sudah tidak mungkin terlindungi. Kesimpulannya, perkara demikian iniakan sampai pada suatu tahap yang hampir-hampir mendekati imajinasi yang telahdigambarkan oleh suatu kelompok dengan sebutan hulul, ittihad dan wusul.Padahal itu semua keliru menurut al-Ghazali sebagaimana dijelaskan dalamkitabnya al-Maqsad al-Asna. Bahkan orang yang telah mengalamikondisi ruhani semacam itu hanya bisa dikatakan lewat sebuah syair:

            Ada sebagaimana adanya, tak bisadisebutkan
            Disangka baik, dan jangan bertanyabagaimana ceritanya[7]

            Secara garis besar menurutal-Ghazali, dapatlah disimpulkan bahwa barangsiapa tidak mendapat anugerahsedikit pun dari tahap tersebut melalui rasa, niscaya ia tidak akan mampumengetahui sebagian hakikat kenabian, melainkan sekadar mengenal nama belaka.Dalam kenyataan, karamah-karamah para wali merupakan awal tahapan para Nabi.Terbukti bahwa hal itu merupakan permulaan kondisi ruhani Rasulullah Saw ketikabeliau menuju gua Hira’, di sana beliau menyendiri serta beribadat kepadaTuhannya, hingga orang-orang Arab berkata, “Sesungguhnya Muhammad itu sedangasyik kepada Tuhannya.” Keadaan seperti ini hanya bisa diketahui secara pastidengan menggunakan rasa (dzauq) oleh orang yang biasa menggunakan caraseperti itu. Maka barangsiapa dikaruniai rasa, niscaya ia akan bisameyakininya melalui pengalaman dan penyimakan, manakala banyak sahabat,sehingga ia benar-benar memahami melalui bukti-bukti kondisi ruhani secarameyakinkan. Lantas barangsiapa yang berada stu majelis dengan mereka, ia akandapat menyerap faedah keimanan ini darinya. Mereka merupakan suatu kaum dimanateman duduknya tidak akan mengalami celaka karena dirinya. Sebaliknya,barangsiapa tidak mendapatkan karunia menemani mereka, harap diketahuikemungkinan itu semua secara yakin, dengan saksi dalil-dalil.[8]
            Menegaskan dengan dalil itumelahirkan ilmu, sedangkan menggunakan realita kondisi ruhani melahirkan rasa,menerima dengan sikap toleran dari pengalaman melalui prasangka baik (husnual-zan) melahirkan keimanan. Inilah tiga derajat, sebagaimana yangsudah tertuang di dalam firman Allah Swt:

يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ أَمَنُوْامِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ (المجادلة: 11)

   “Niscaya Allah meninggikan derajatorang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang berilmupengetahuan dengan beberapa derajat.”[9]

            Di luar kelompok tersebut hanyalahkelompok bodoh. Demikian menurut al-Ghazaly. Mereka inilah yang tidak mengakuiprinsip utama itu, dimana hanya mengagumi pandangan ini, mendengarkan, lalumengejek seraya berkata, “Sungguh mengherankan, bagaimana mereka bisamengigau?”[10] Terhadap orang-orang yang berkomentar demikian ini Allah Swt berfirman:

وَمِنْهُمْ مَّنْيَّسْتَمِعُ اِلَيْكَ حَتَّى اِذَا خَرَجُوْا مِنْ عِنْدَكَ قَالُوْا لِلَّذِيْنَأُوْتُوا الْعِلْمَ مَاذَا قَالَ أَنِفًا, أُوْلَئِكَ الَّذِيْنَ طَبَعَ اللهُعَلَى قُلُوْبِهِمْ وَاتَّبَعُوْا أَهْوَاءَهُمْ. (محمد: 16)

   “Dan di antara mereka ada orang yangmendengarkan perkataan, sehingga apabila mereka keluar dari sisimu merekaberkata kepada orang yang telah diberi ilmu pengetahuan (sahabat-sahabat NabiSaw), ‘Apakah yang dikatakannya tadi?’ Mereka itulah orang-orang yang dikuncimati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka.”[11]

Inilahpaham yang dibawa oleh al-Ghazaly, yang kemudian secara lengkap paham ini lebihdikenal dengan paham makrifat, mengenai paham ma’rifat ini, dapat diikuti daripendapat-pendapatnya di bawah ini. Al-Ghazaly misalnya mengatakan, makrifatadalah:

اَلاِْطِّلاَعُ عَلَى أَسْرَارِالرُّبُوْبِيَّةِ وَالْعِلْمُ بِتَرَتُّبِ الأُمُوْرِ الاِْلَهِيَّةِالْمُحِيْطَةِ بِكُلِّ الْمَوْجُوْدَاتِ

   “Nampak jelas rahasia-rahasia ketuhanandan pengetahuan mengenai susunan urusan ketuhanan yang mencakup segala yangada.”[12]

            Lebih lanjut al-Ghazaly mengatakan,makrifat adalah:

النَّظْرُ اِلَى وَجْهِ اللهِ

“Memandang kepada wajah (rahasia)Allah”[13]

            Seterusnya al-Ghazaly menjelaskanbahwa orang yang mempunyai makrifat tentang Tuhan, yaitu arif, maka orang itutidak akan mengatakan ya Allah (يا الله) atau ya rabb (يارَبّ) karena memanggilTuhan dengan kata-kata serupa ini menyatakan bahwa Tuhan ada di belakang tabir.Orang yang duduk berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya itu.[14]
            Tetapi bagi al-Ghazaly ma’rifaturutannya terlebih dahulu daripada mahabbah, karena mahabbah timbul darimakrifat. Namun mahabbah yang dimaksud al-Ghazaly berlainan dengan mahabbahyang diucapkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah, yaitu mahabbah dalam bentuk cintaseseorang kepada yang berbuat baik kepadanya, cinta yang timbul dari kasih danrahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rezeki, kesenangan danlain-lain. Al-Ghazaly lebih lanjut mengatakan bahwa ma’rifat dan mahabbahitulah setinggi-tinggi tingkat yang dapat dicapai seorang sufi. Dan pengetahuanyang diperoleh dari ma’rifah lebih tinggi mutunya dari pengetahuan yangdiperoleh dengan akal.[15]
            Dari segi bahasa ma’rifatberasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifat yang artinyapengetahuan atau pengalaman.[16] Dan dapat pula berarti pengetahuantentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yangbiasa didapati oleh orang-orang pada umumnya.[17] Ma’rifat adalah pengetahuan yangobyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadapbatinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwaakal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan, dan hakikat itu satu, dansegala yang maujud berasal dari yang satu.[18]
            Selanjutnya ma’rifat digunakan untukmenunjukkan pada salah satu tingkatan dalam tasawuf. dalam arti sufistik ini,ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari.Pengetahuan itu demikian lengkap dan jelas sehingga jiwanya merasa satu denganyang diketahuinya itu, yaitu Tuhan.[19] Selanjutnya Harun Nasution mengatakanbahwa ma’rifat menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk gnosis, pengetahuandengan hati sanubari.[20]
            Selanjutnya dari literatur yangdiberikan tentang ma’rifah sebagai dikatakan Harun Nasution, ma’rifat berartimengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. Olehkarena itu orang-orang sufi mengatakan:

1.     Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusiaterbuka, mata kepalanya akan tertutup, dan ketika itu yang dilihatnya hanyaAllah.
2.     Makrifat adalah cermin, kalau seorang arif melihat ke cerminitu yang akan dilihatnya hanyalah Allah.
3.     Yang dilihat orang arif baik sewaktu tidur maupun sewaktubangun hanya Allah.
4.     Sekiranya ma’rifah mengambil bentuk materi, semua orang yangmelihat padanya akan mati karena tak tahan melihat kecantikan sertakeindahannya dan semua cahaya akan menjadi gelap disamping cahaya keindahanyang gilang gemilang.[21]

Daribeberapa definisi tersebut dapat diketahui bahwa makrifat adalah mengetahuirahasia-rahasia Tuhan dengan menggunakan hati sanubari. Dengan demikian tujuanyang ingin dicapai oleh makrifat ini adalah mengetahui rahasia-rahasia yangterdapat dalam diri Tuhan.
            Sebagaimana halnya dengan mahabbah,makrifat ini terkadang dipandang sebagai maqam dan terkadang dianggap sebagaihal. Dalam literatur Barat, ma’rifah dikenal dengan istilah gnosis.Dalam pandangan al-Junaid (w. 381 H), ma’rifah dianggap sebagai hal, sedangkandalam Risalah al-Qusyairiyah, makrifat dianggap sebagai maqam. Sementara itual-Ghazaly dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din memandang ma’rifah datangsebelum Mahabbah. Sedangkan al-Kalabazi menjelaskan bahwa ma’rifat datangsesudah mahabbah. Selanjutnya ada pula yang mengatakan bahwa ma’rifah danmahabbah merupakan kembar dua yang selalu disebut berbarengan. Keduanyamenggambarkan keadaan dekatnya hubungan seorang sufi dengan Tuhan. Dengan katalain mahabbah dan ma’rifah menggambarkan dua aspek dari hubungan rapat yang adaantara seorang sufi dengan Tuhan.[22]
            Dengan demikian, kelihatannya yanglebih dapat dipahami bahwa ma’rifah datang sesudah mahabbah sebagaimanadikemukakan al-Kalabazi. Hal ini disebabkan karena ma’rifah lebih mengacukepada pengetahuan, sedangkan mahabbah menggambarkan kecintaan, yang mahabbahitu sendiri lahir karena didahului oleh ma’rifah.
            Alat yang dapat digunakan untukma’rifah telah ada dalam diri manusia, yaitu qalb (hati), namun artinyatidak sama dengan heart dalam bahasa Inggris, karena qalb selain darialat untuk merasa adalah juga alat untuk berfikir. Bedanya qalb dengan akalialah bahwa akal tak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan,sedangkan qalb bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada, dan jika dilimpahicahaya Tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan.[23] Qalb yang telah dibersihkan darisegala dosa dan maksiat melalui serangkai zikir dan wirid secara teratur akandapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, yaitu setelah hati tersebut disinaricahaya Tuhan.[24]
            Proses sampainya qalb pada cahayaTuhan ini erat kaitannya dengan konsep takhalli, tahalli dan tajalli. Takhalliyaitu mengosongkan diri dari akhlak yang tercela dan perbuatan maksiat melaluitaubat. Hal ini dilanjutkan dengan tahalli yaitu menghiasi diri dengan akhlakyang mulia dan amal ibadah. Sedangkan tajalli adalah terbukanya hijab, sehinggatampak jelas cahaya Tuhan. Hal ini sejalan dengan firman Allah Swt:

فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ, لِلْجَبَلِجَعَلَهُ, دَكًّا وَخَرَّ مُوْسَى صَعِقًا. (الأعراف: 143)

   “Tatkala Tuhannya nampak bagi gunung itu,kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa jatuh pingsan.”[25]

            Mengenai pengertian tajalli inilebih lanjut dijelaskan dalam kitab Insan al-Kamil sebagai berikut:

تَجَلَّى سُبْحَانَهُوَتَعَالَى اَفْعَالِهِ عِبَارَةٌ عَنْ مَشْهَدٍ يَرَى فِيْهِ الْعَبْدُ جَرْيَانَالْقُدْرَةِ فِى الأَشْيَاءِ فَيَشْهَدُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مُحَرِّكَهَاوَمَسْكِنَهَا يَنْفِى الْفِعْلَ عَنِ الْعَبْدِ وَاِثْبَاتُهُ لِلْحَقِّ

    “Tajalli Allah Swt dalam perbuatannya, ialah ibarat daripadapenglihatan di mana seseorang hamba Allah melihat pada-Nya berlaku kudrat Allahpada sesuatu. Ketika itu, ia melihat Tuhan, maka tiadalah perbuatan seoranghamba, gerak dan diam serba isbat adalah bagi Allah semata-mata.”[26]

            Tajalli dapat diartikan,

مَنْ تَجَلَّى لَهُسُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنْ حَيْثُ اِسْمُهُ الْظَاهِرُ فَكَشَفَ لَهُ عَنْ سِرِّظُهُوْرِ النُّوْرِ الاِلَهِيْ فِى كَشَائِفِ الْمُحْدِثَاتِ لِيَكُوْنَ طَرِيْقًااِلَى مَعْرِفَةٍ أَنَّ اللهَ هُوَ الظَّاهِرُ فَعِنْدَ ذَلِكَ تَجَلَّى لَهُبِأَنَّهُ الظَّاهِرُ فَبَطَنَ الْعَبْدُ بِبُطُوْنِ فِنَاءِ الْحَقِّ فِىظُهُوْرِ وُجُوْدِ الْحَقِّ

   “Siapa-siapa baginya tajalli Allah Swtdari segi namanya yang disebut, maka terbukalah baginya daripada nampaknya nurilahi dalam keadaan biasa, maksudnya agar ia mendapatkan jalan kepada makrifat.Bahwa sesungguhnya Allah ialah pada ketika itu tajalli Allah Swt baginya,karena sesungguhnya Allah adalah tampak. Ketika itu maka bertempatlah hambapada tempat yang batin karena fananya sifat-sifat kebaharuannya ketikanampaknya wujud al-haqq al-yaqin.”[27]

            Kutipan tersebut menunjukkan denganjelas bahwa tajalli adalah jalan untuk mendapatkan ma’rifah, dan terjadisetelah terjadinya al-fana’ yakni hilangnya sifat-sifat dan rasa kemanusiaan,dan melebur pada sifat-sifat Tuhan. Alat yang digunakan untuk mencapai tajalliini adalah hati, yaitu hati yang telah mendapatkan cahaya dari Tuhan.[28]
            Kemungkinan manusia mencapai tajalliatau mendapatkan limpahan cahaya Tuhan itu dapat pula dilihat dari isyarat ayatberikut ini:

نُوْرٌ عَلَى نُوْرٍ يَهْدِى اللهُلِنُوْرِهِ مِنْ يَّشَاءُ (النور: 35)

   “Cahaya di atas cahaya, Allahmengkaruniakan dengan cahaya-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.”[29]

            Dengan limpahan cahaya Tuhan itulahmanusia dapat mengetahui rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Dengan carademikian ia dapat mengetahui hal-hal yang tidak diketahui oleh manusia biasa.Orang yang sudah mencapai makrifat ia memperoleh hubungan langsung dengansumber ilmu yaitu Allah. Dengan hati yang telah dilimpahi cahaya, ia dapatdiibaratkan seperti orang yang memiliki antene parabola yang mendapatkanlangsung pengetahuan dari Tuhan. Allah berfirman:

وَفَوْقَ كُلِّ ذِيْ عِلْمٍ عَلِيْمٌ

   “Dan di atas yang berilmu pengetahuan adalagi yang Maha Mengetahui (Allah).”[30]

            Makrifat yang dicapai seseorang ituterkadang diberi nama yang bermacam-macam Imam al-Syarbasi menyebutnya ilmu al-mauhubah(pemberian).[31] Sedangkan Imam al-Syuhrawardimenyebutnya al-isyraqiyah (pancaran), Ibn Sina menyebut al-faid(limpahan). Sementara di kalangan masyarakat pesantren dikenal dengan istilah futuh(pembuka), dan di kalangan masyarakat Jawa dikenal dengan nama ilmu laduni,dan di kalangan kebatinan disebut wangsit.[32]
            Uraian di atas telahmenginformasikan bahwa ma’rifat adalah pengetahuan tentang rahasia-rahasia dariTuhan yang diberikan kepada hamba-Nya melalui pancaran cahaya-Nya yangdimasukkan Tuhan ke dalam hati seorang sufi. Dengan demikian ma’rifahberhubungan nur (cahaya Tuhan). Di dalam al-Qur’an, dijumpai tidak kurang dari43 kali kata nur diulang dan sebagian besar dihubungkan dengan Tuhan.[33] Misalnya ayat yang berbunyi:

وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ اللهُ لَهُ نُوْرًافَمَالَهُ مِنْ نُوْرٍ (النور: 40)

   “Dan barangsiapa yang tiada diberi cahaya(petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.”[34]

أَفَمَنْ شَرَحَ اللهُ صَدْرَهُ لِلاِْسْلاَمِ فَهُوَ عَلَى نُوْرٍ مِنْ رَّبِّهِ (الزمر: 22)

   “Maka apakah orang-orang yang dibukakanAllah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dariTuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)?”[35]
               
            Dua ayat tersebut sama-samaberbicara tentang cahaya Tuhan. Cahaya tersebut ternyata dapat diberikan Tuhankepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Mereka yang mendapatkan cahaya akan denganmudah dapat mendapatkan petunjuk hidup, sedangkan mereka yang tidak mendapatkancahaya akan mendapatkan kesesatan hidup. Dalam ma’rifah kepada Allah, yangdidapat seorang sufi adalah cahaya. Dengan demikian, ajaran ma’rifah sangatdimungkinkan terjadi dalam Islam, dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an.[36]
            Selanjutnya di dalam hadits kitajumpai Sabda Rasulullah Saw yang berbunyi:

كُنْتُ خَزِيْنَةً خَافِيَةً اَحْبَبْتُأَنْ أُعْرَفَ فَخَلَقْتُ الْخَلْقَ فَتَعَرَّفْتُ اِلَيْهِمْ فَعَرَفُوْنِي

   “Aku (Allah) adalah perbendaharaan yangtersembunyi (Ghaib), Aku ingin memperkenalkan siapa Aku, maka Aku ciptakanlahmakhluk. Oleh karena itu Aku memperkenalkan diri-Ku kepada mereka. Maka merekamengenal Aku. (Hadis Qudsi).[37]

            Hadis tersebut memberikan petunjukbahwa Allah dapat dikenal oleh manusia. Caranya dengan mengenal atau meneliticiptaan-Nya. Ini menunjukkan bahwa ma’rifah dapat terjadi, dan tidakbertentangan dengan ajaran Islam.
            Demikian mengenai konsep tasawufal-Ghazaly yang terkenal. Adapun mengenai karya yang merekam pergolakanintelektual dan spiritualnya adalah karyanya yang berjudul al-Munqizmin al-Dalal, yang isinya merupakan kumpulan karya-karyanya Majmu’atRasail al-Imam al-Ghazali yang sangat populer itu. Di dalamnya, al-Ghazalymenelanjangi dunia filsafat, khususnya dalam filsafat metafisika yang cenderungmenyejajarkan diri dengan wahyu. Bahaya dunia filsafat diketengahkan secaraargumentatif, sekaligus juga sejumlah disiplin ilmu yang mengkritik filsafat.Namun, al-Ghazali tidak mengkritik filsafat secara membabi buta, ada sejumlah paradigmadan cabang disiplinnya yang bisa diterima secara instrumental oleh umat Islam.[38]
            Al-Munqiz min al-Dalalmerupakan lembaran yang sangat berharga bagi para pencari kebenaran dankeyakinan. Sebab, setiap penempuh jalan kebenaran – paling tidak – akanmengalami imbas kemelut, sebagaimana dialami oleh al-Ghazali, dengan hasilmenurut kadar tertentu, sesuai dengan kemampuannya.
            Keluar dari jalan sesat menujujalan lurus yang benar, adalah satu-satunya tujuan yang ditempuhal-Ghazali dalam seluruh karya-karya monumentalnya. Sebagai ulama besar yangkemudian menambatkan seluruh hidupnya pada dunia sufisme, al-Ghazali secaradeskriptif-analisis merekonstruksikan sejumlah aliran-aliran sesat dalam duniaintelektual yang mengancam intelektualisme Islam hingga akar-akarnya.[39]
            Pencarian jalan selamat benar-benarditempuh oleh al-Ghazali, dengan risiko yang tinggi, bahkan sampai pada titikjenuh psikologis yang mempengaruhi kondisi fisiknya. Tetapi, melalui metodologispiritual-sufistik, metode yang dinilai sebagai alternatif bagi pencerahanpemikiran dan akidah. Dunia tasawuf, yang selama ini dikesankan sebagai dunia mayayang penuh dengan takhayul dan pasif, justru di tangan al-Ghazali menjadiwahana dinamis, optimis dan memberi peluang terbesar bagi kreativitas jiwa,pemikiran dan ekstakologis ubudiyah, sehingga al-Ghazali menemukan pencerahanjiwa yang luar biasa, sampai pada tahap ekstakologi ma’rifat Allah.


[1]Harun Nasution. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. (Jakarta: BulanBintang. 1983). Cetakan ke-III. hal. 43; Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf.(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Februari 2002). Cetakan keempat. hal. 225.
[2]Abu Hamid al-Ghazali. Al-Munqiz min al-Dalal. (Beirut: Daral-Fikr. 1416/1996). Cetakan ke I. diterjemahkan oleh Abu Ahmad Najieh. Penyelamatdari Kesesatan. (Surabaya: Risalah Gusti. Rabi’ al-Akhir 1418/Agustus1997). Cetakan pertama. hal. 59-60.
[3]Lihat Ibid. hal. 60-62.
[4]Ibid. hal. 63-64.
[5]Ibid. hal. 65.
[6]Ibid. hal. 65-66.
[7]Ibid. hal. 67.
[8]Ibid. hal. 67-68.
[9]Q.S. al-Mujadalah: 11.
[10]Abu Hamid al-Ghazali. Al-Munqiz min … hal. 69.
[11]Q.S. Muhammad: 16.
[12]Mustafa Zahri. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. (Surabaya: Bina Ilmu. 1995).Cet. I. hal. 227.
[13]Ibid.
[14]Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf. hal. 226-227.
[15]Harun Nasution. Filsafat dan … hal. 78.
[16]IAIN Sumatera Utara. Pengantar Ilmu Tasawuf. (Sumatera Utara.1983/1984). hal. 122.
[17]Jamil Saliba. Mu’jam al-Falsafi. Jilid II. (Beirut: Dar al-Kitab. 1979).hal. 72.
[18]Ibid.
[19]Al-Kalabazi. Al-Ta’arruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf. (Mesir: Daral-Qahirah. t.t.). hal. 158-159.
[20]Harun Nasution. Filsafat dan … hal. 75.
[21]Ibid. hal. 75-76.
[22]Ibid. hal. 75.
[23]Ibid. hal. 77
[24]Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 222.
[25]Q.S. al-A’raf, [7]: 143.
[26]Mustafa Zahri. Kunci Memahami … hal. 246.
[27]Ibid. hal. 247.
[28]Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 224.
[29]Q.S. al-Nur, [24]: 35.
[30]Q.S. Yusuf, [12]: 76.
[31]Imam al-Syarbasi. Sejarah Tafsir al-Qur’an. (Mesir: Dar al-Ma’arif.1978). hal. 56.
[32]Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 225.
[33]Lihat Muhammad Fu’ad Abd al-Baqa. Al-Mu’jam al-Mufahras li Afadz al-Qur’anal-Karim. (Beirut: Dar al-Fikr. 1987). hal. 725-726.
[34]Q.S. al-Nur, [24]: 40.
[35]Q.S. al-Zumar, [39]: 22.
[36]Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 230.
[37]Ibid.
[38]Abu Hamid al-Ghazali. Al-Munqiz min … hal. v-vi dan 21-44.
[39]Ibid. hal. v.
Read more ...
Designed By