Breaking News

Sabtu, 10 September 2011

Abu Yazid Al-Busthomi Dalam Dunia Sufistik


           Dalam sejarah tasawuf, Abu Yazid al-Bustami (w. 261 H/876 H)disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan paham fana dan baqaini. Nama kecilnya adalah Thaifur. Nama beliau sangat istimewa dalam hati kaumsufi seluruhnya. Bermacam-macam pula anggapan orang tentang pendiriannya. Iapernah mengatakan: “Kalau kamu lihat seseorang sanggup melakukan pekerjaankeramat yang besar-besar, walaupun dia sanggup terbang di udara, maka janganlahkamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia mengikuti perintah syariat danmenjauhi batas-batas yang dilarang syari’at.”[1]

Ketika Abu Yazid telah fana danmencapai baqa maka dari mulutnya keluarlah kata-kata yang ganjil, yang jikatidak hati-hati memahami akan menimbulkan kesan seolah-olah Abu Yazid mengakudirinya sebagai Tuhan, padahal yang sesungguhnya ia tetap manusia, yaitumanusia yang mengalami pengalaman batin bersatu dengan Tuhan. Di antara ucapanganjil yang keluar dari dirinya, misalnya: “Tidak ada Tuhan, melainkan saya.Sembahlah saya, amat sucilah saya, alangkah besarnya kuasaku.”

لاَ اِلَهَ اِلاَّ اَنَا فَاعْبُدْنِيْ

“Tidak ada Tuhan selain Aku, makasembahlah Aku.”

سُبْحَانِيْ, سُبْحَانِيْ, مَا اَعْظَمُشَأْنِيْ

“Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, MahaBesar Aku.”

Selanjutnya diceritakan yang berikut:

اَتىَ رَجُلُ اَبَا يَزِيْدَ وَدَقَّعَلَيْهِ الْبَابَ فَقَالَ: مَنْ تَطْلُبُ؟ قَالَ اَبُوْا يَزِيْدَ قَالَ مُرَّفَلَيْسَ فىِ الْبَيْتِ غَيْرُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Seorang lewatdi rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya: “Siapa yang engkaucari?” Jawabnya: “Abu Yazid”. Lalu Abu Yazid mengatakan: “Pergilah”. Di rumahini tidak ada kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi.”

Pada lain kali Abu Yazid berkata,

لَيْسَ فىِ الْجُبَّةِ اِلاَّ اللهُ

“Yang ada dalam baju ini hanyalah Allah.[2]

Ucapan yang keluar dari mulut Abu Yaziditu, bukanlah kata-katanya sendiri tetapi kata-kata itu diucapkannya melaluidiri Tuhan dalam ittihad yang dicapainya dengan Tuhan. Dengan demikiansebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan.
Bagi orang yang bersikap toleran, ittihaddipandang sebagai penyelewengan (inhiraf), tetapi bagi orang yangkeras berpegang pada agama, itu dipandang sebagai kekufuran. Faham ittihad iniselanjutnya dapat mengambil bentuk hulul dan wahdat al-wujud. Dengan demikianuntuk mencapai hulul dan wahdatul wujud pun sama dengan al-ittihad, yaitumelalui fana dan baqa.
Ittihad sebagai salah satu metodetasawuf yang diperkenalkan oleh Abu Yazid al-Bustami ini dapat dikelompokkan kedalam tasawuf metode irfani.[3]
            Ajarantasawuf terpenting Abu Yazid adalah fana’ dan baqa’ yang melahirkan ittihadsebagai tahapan selanjutnya. Hanya saja dalam literatur klasik, pembahasantentang ittihad ini tidak ditemukan. Apakah karena pertimbangan keselamatanjiwa ataukah ajaran ini sangat sulit dipraktekkan merupakan pertanyaan yangsangat baik untuk dianalisis lebih lanjut. Menurut Harun Nasution uraiantentang ini banyak terdapat di dalam buku karangan orientalis.[4]
Iaseorang zahid yang terkenal. Zahid itu berarti seseorang yang telah menyediakandirinya untuk hidup zuhud demi kedekatan dengan Allah. Yang ia kerjakan melaluitiga fase:
-         zuhud terhadap dunia
-         zuhud terhadap akherat
-         zuhud terhadap selain Allah.

Dalamfase terakhir ini berada dalam suatu kondisi mental yang menjadikan dirinyatidak mengingat apa-apa lagi selain Allah, atau fana’ al-nafs. Fana’ berartihilangnya kesadaran akan eksistensi diri pribadi sehingga ia tidak menyadarilagi akan jasad kasarnya sebagai manusia, kesadarannya menyatu ke dalam iradahTuhan, bukan menyatu dengan wujud Allah.
            Dalamtahapan ittihad ini, seorang sufi bersatu dengan Tuhan. Antara yang mencintaidan yang dicintai, baik substansi maupun perbuatannya,[5] sehingga salah satu dari mereka dapatmemanggil yang lain dengan “Hai Aku”. Dengan mengutip A.R. al-Baidawi, Harunmenjelaskan bahwa dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud sungguh punsebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Karena yang disebutdan dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad dapat  terjadi pertukaran antara yang mencintai danyang dicintai, atau tegasnya antara sufi dan Tuhan. Dalam ittihad, “identitastelah hilang, identitas telah menjadi satu.” Sufi yang bersangkutan, karenafana’-nya tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.
Denganfana’-nya, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke hadlirat Tuhan. Beradadekat dengan Tuhan hingga ittihad. Hingga sehabis shalat shubuh, Abu Yazidberucap, “Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku.” Dan suatu ketikaseseorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya,“Siapa yang engkau cari?” Orang itu menjawab, “Abu Yazid”. Abu Yazid berkata,“Pergilah, di rumah ini tidak ada, kecuali Allah Yang Mahakuasa danMahatinggi”.[6] Ucapan ini sepintas memberi kesansyirik. Karena itu, dalam sejarah ada sufi yang ditangkap dan dipenjarakankarena ucapannya membingungkan golongan awam.[7]
Kritikdan celaan banyak bermunculan, bertubi-tubi menyerang Abu Yazid berkaitandengan ucapan syatahatnya itu, tetapi seluruh kritik dan celaan itu didasarkanatas riwayat atau pernyataan yang konteks waktunya tidak bisa diketahui(diakses) atau dipahami. Karena mereka tidak memahami tujuannya serta tidakmengetahui makna yang dimaksudkan; mereka mengungkapkan semua itu tanpamenggunakan perspektif orang yang pertama mengucapkannya dan tanpa melakukanklarifikasi lebih jauh. Pengetahuan yang mendalam hanya bisa dicapai melaluipemahaman yang lebih dalam pula.[8]
Al-fana’secara bahasa sebetulnya berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana berbeda denganal-fasad (rusak). Fana artinya tidak nampaknya sesuatu, sedangkan rusak adalahberubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Dalam hubungan ini Ibn Sina ketikamembedakan antara benda-benda yang bersifat samawiyah dan benda-benda yangbersifat alam, mengatakan bahwa keberadaan benda alam itu atas dasarpermulaannya, bukan atas dasar perubahan bentuk yang satu kepada bentuk yanglainnya, hilangnya benda alam itu dengan cara fana, bukan cara rusak.[9]
Sedangkanarti fana menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengandirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Menurutpendapat lain, fana berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengansifat-sifat yang tercela.[10]
MustafaZahri mengatakan bahwa yang dimaksud fana adalah lenyapnya inderawi ataukebasyariahan, yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat danhawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagimelihat daripada alam baharu, alam rupa dan alam wujud ini, maka dikatakan iatelah fana dari alam cipta atau dari alam makhluk.[11] Selain itu fana juga dapat berartihilangnya sifat-sifat buruk (maksiat) lahir batin.
Akibatdari seseorang yang telah mencapai fana maka ia akan berada dalam keadaan baqa.Secara harfiah baqa berarti kekal, sedang menurut yang dimaksud para sufi, baqaadalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia.Karena lenyapnya (fana) sifat-sifat basyariah, maka yang kekal adalahsifat-sifat ilahiah. Dalam istilah tasawuf, fana dan baqa datang beriringan,sebagaimana dinyatakan oleh para ahli tasawuf:

اِذَا اَشْرَقَ نُوْرُ الْبَقَاءِفَيَفْنَى مَنْ لَمْ يَكُنْ وَيَبْقَى مَنْ لَمْ يَزُلْ

   “Apabila nampaklah nur kebaqaan, makafanalah yang tiada, dan baqalah yang kekal.”[12]

التَّصَوُّفُ فَانُوْنُ عَنْ اَنْفُسِهِمْفَاقُوْنَ بِرَبِّهِمْ بِحُضُوْرِ قُلُوْبِهِمْ مَعَ اللهِ

   “Tasawuf itu ialah mereka fana daridirinya dan baqa dengan Tuhannya, karena kehadiran hati mereka bersama Allah.”[13]

            Dengan demikian, dapatlah difahamibahwa yang dimaksud dengan fana adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlakyang tercela, kebodohan dan perbuatan maksiat dari diri manusia. Sedangkan baqaadalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuandan kebersihan diri dari dosa dan maksiat. Untuk mencapai baqa ini perludilakukan usaha-usaha seperti bertaubat, berzikir, beribadah, dan menghiasidiri dengan akhlak yang terpuji.
            Selanjutnya fana yang dicari olehorang sufi adalah penghancuran diri (al-fana ‘an al-nafs), yaituhancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia. Menurutal-Qusyairi, fana yang dimaksud adalah:

فَنَاءُهُ عَنْ نَفْسِهِوَعَنِ الْخَلْقِ بِزَوَالِ اِحْسَاسِهِ بِنَفْسِهِ وَبِهِمْ فَنَفْسُهُمَوْجُوْدَةٌ وَالْخَلْقُ مَوْجُوْدٌ وَلَكِنْ لاَ عِلْمَ لَهُ بِهِمْ وَلاَ بِهِ

   “Fananya seseorang dari dirinya dan darimakhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentangmakhluk lain itu. Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula makhluk lainada, tetapi ia tak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya.”[14]

            Apabila seorang sufi telah mencapaial-fana al-nafs, yaitu apabila wujud jasmaniah tak ada lagi (dalam arti takdisadarinya lagi), maka yang akan tinggal ialah wujud rohaninya dan ketika ituia bersatu dengan Tuhan secara rohaniah. Menurut Harun Nasution, kelihatannyapersatuan dengan Tuhan ini terjadi langsung setelah tercapainya al-fanaal-nafs.[15] Tak ubahnya dengan fana yang terjadiketika hilangnya kejahilan, maksiat dan kelakuan buruk di atas. Denganhancurnya hal-hal ini yang langsung tinggal (baqa) ialah pengetahuan, takwa dankelakuan baik.
            Berdasarkan uraian tersebut dapatdiketahui bahwa yang dituju dengan fana dan baqa ini adalah mencapai persatuansecara rohaniah dan batiniah dengan Tuhan, sehingga yang disadarinya hanyaTuhan dalam dirinya. Adapun kedudukannya adalah merupakan hal, karena hal yangdemikian tidak terjadi terus menerus dan juga karena dilimpahkan oleh Tuhan.Fana merupakan keadaan di mana seseorang hanya menyadari kehadiran Tuhan dalamdirinya, dan kelihatannya lebih merupakan alat, jembatan atau maqam menujuittihad (penyatuan rohani dengan Tuhan).
            Membicarakan fana dan baqa ini erathubungannya dengan al-ittihad, yakni penyatuan batin atau rohaniah denganTuhan, karena tujuan dari fana dan baqa itu sendiri adalah ittihad itu. Halyang demikian sejalan dengan pendapat Mustafa Zahri yang mengatakan bahwa fanadan baqa tidak dapat dipisahkan dengan pembicaraan paham ittihad. Dalam ajaranittihad sebagai salah satu metode tasawuf sebagaimana yang dikatakan oleh al-Baidawi,yang dilihat hanya satu wujud sungguhpun sebenarnya yang ada dua wujud yangberpisah dari yang lain. Karena yang dilihat dan  yang dirasakan hanya satu wujud, maka dalamittihad ini bisa terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai (manusia)dengan yang dicintai (Tuhan) atau tegasnya antara sufi dan Tuhan.[16]
            Dalam situasi ittihad yang demikianitu, seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satudari mereka dapat memanggil yang satu dengan kata-kata: “Hai Aku”. Dalam teksArabnya kata-kata tersebut berbunyi:

فَيَقُوْلُ الْوَاحِدُ لِلاَخَرِ يَا اَنَا

“Maka yang satu kepada yang lainnyamengatakan “aku”.[17]

Dengandemikian jika seorang sufi mengatakan misalnya, “mahasuci aku”, maka yangdimaksud aku di situ bukan sufi sendiri, tetapi sufi yang telah bersatu batindan rohaninya dengan Tuhan, melalui fana dan baqa.
Fahamfana dan baqa yang ditujukan untuk mencapai ittihad itu dipandang oleh sufi sebagaisejalan dengan konsep liqa al-rabbi, menemui Tuhan. Fana dan baqamerupakan jalan menuju berjumpa dengan Tuhan. Hal ini sejalan dengan firmanAllah yang berbunyi:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَاءَ رَبِّهِفَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ اَحَدًا

   “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaandengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah iamempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepadanya.”[18]

            Paham ittihad ini juga dapatdipahami dari keadaan ketika Nabi Musa ingin melihat Allah. Musa berkata: “YaTuhan, bagaimana supaya aku sampai kepada-Mu?” Tuhan berfirman: “Tinggalkanlahdirimu (lenyapkanlah dirimu) baru kamu kemari (bersatu).”[19]
            Dari ayat dan riwayat tersebut diatas memberikan petunjuk bahwa Allah Swt telah memberi peluang kepada manusiauntuk bersatu dengan Tuhan secara rohaniah atau batiniah, yang caranya antaralain dengan beramal saleh, dan beribadat semata-mata karena Allah,menghilangkan sifat-sifat dan akhlak yang buruk, menghilangkan kesadaransebagai manusia, meninggalkan dosa dan maksiat, dan kemudian menghias diridengan sifat-sifat Allah, yang kesemuanya ini tercakup dalam konsep fana danbaqa. Adanya konsep fana dan baqa ini dapat dipahami dari isyarat yang terdapatdalam ayat sebagaimana berikut ini:

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ وَيَبْقَىوَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلاَلِ وَالاِكْرَامِ

   “Semua yang ada di dunia ini akan binasa.Yang tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”[20]


[1]Hamka. Tasawuf Perkembangan … hal. 102.
[2]Lihat Harun Nasution. Falsafah dan … hal. 86.
[3]Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin. Ilmu Tasawuf. Bandung. CV. PustakaSetia. Cet. I. Jumadil Ula 1421 H – Agustus 2000. hal. 10, 13-14, 69-84 dan119-142.
[4]Harun Nasution. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta. BulanBintang. 1973. hal. 79.
[5]Abd al-Rahman al-Badawi. Syahidat al-Syauq al-Ilahi Rabi’ah al-Adawiyah.Kuwait. Al-Wak alat  al-Muthbu’ah. 1978.hal. 13.
[6]Harun Nasution. Loc.cit.  hal. 83,85 dan 86.
[7]Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin. Op.cit. hal. 135.
[8]Michael A. Sell (Ed.). Op. cit. hal. 331-363.
[9]Jamil Shaliba. Al-Mu’jam al-Falsafi … hal. 167.
[10]Ibid.
[11]Mustafa Zahri. Kunci Memahami … hal. 234.
[12]Ibid.
[13]Ibid.
[14]Al-Qusyairi al-Naisabury. Al-Risalah al-Qusyairiyah … hal. 303.
[15]Harun Nasutiaon. Filsafat dan … hal. 81.
[16]Mustafa Zahri. Kunci Memahami … hal. 236.
[17]Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 235.
[18]Q.S. al-Kahfi, [18]: 110.
[19]Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 238.
[20]Q.S. al-Rahman, [55]: 26-27.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By