Breaking News

Selasa, 06 September 2011

Latar Belakang Timbulnya Tasawuf


          Sejarahperkembangan tasawuf dapat dikatakan sejak timbulnya fitnah di zaman KhalifahUtsman sampai Khalifah Ali, di mana akibat perang saudara itu beratus danberibu umat Islam menjadi korban. Termasyhurlah semboyan: kamu mencintai duniadan takut kepada mati.
         Dengan  demikian timbullah reaksi dari masyarakatterhadap khalifah-khalifah berikutnya, seperti halnya sebagian Ulama melakukan‘uzlah. Tercatatlah dalam sejarah sebagai pelopor dalam tasawuf, yaitu:Hasan Basyri pada abad kedua Hijrah sebagai awal timbulnya ajaran tasawuf.Beliaupun sebagai sumber dari ahli fikir faham Mu’tazilah dan sumber dari rasashufiyah. Kemudian diikuti oleh Sofyan Tsauri dan Rabi’atul Adawiyah.

            Dapat pula dikatakan bahwa timbulnyatasawuf itu bersamaan dengan kelahiran agama Islam itu sendiri, yaitu sejakNabi Muhammad Saw diutus menjadi rasul untuk segenap umat manusia.Perhatikanlah tahannus dan khalwat Rasulullah Saw di Gua Hira sebelum beliaudiangkat menjadi Rasul, dengan maksud disamping menghindarkan diri dari hawanafsu keduniawian, juga mencari jalan untuk membersihkan hati dan menyucikanjiwa dari noda-noda yang menghinggapi masyarakat pada waktu itu. Dengandemikian hati dan jiwa beliau tetap bersih tidak terkena dengan berbagai godaanpada waktu itu. Memang sejak kecil beliau telah menunjukan kebersihan jiwanya,dan hal ini dipergunakan oleh kaum shufi sebagai dasar kegiatan untukmembersihkan hati dan jiwa.
            Setelah Muhammad menjadi Rasul,banyak kegiatan-kegiatan beliau yang dijadikan pedoman dan kaum shufi merasalega dan puas terhadap garis-garis yang telah ditunjukan oleh Rasulullah Sawdalam menunaikan ibadah untuk lebih mendekatkan diri (taqarub) kepada AllahSWT. Hal ini dianggap sebagai dasar amalan-amalan tasawuf bagi hidup dankehidupan kaum shufi, seperti: zuhud, riyadlah, dzikir, tawakal, sabar, danlain sebagainya.
            Sebenarnya para shahabat pun dapatmemancarkan cahaya yang mereka terima dari Rasulullah Saw kepada orang-orang disekitarnya juga bagi generasi selanjutnya. Rasulullah Saw telah memberipenghargaan dan pujian kepada para shahabat dengan pujian setinggi-tingginyasebagaimana sabdanya yang artinya: “Shahabatku seperti bintang-bintang, jikakamu mengikuti mereka, kamu akan mendapat petunjuk.”
            Kesederhanaan hidup yang dilakukankaum shufi itu sudah dicontohkan oleh Abu Bakar Shiddiq, yang pernah hidupdengan sehelai kain saja dan beliau pernah memegang lidahnya seraya berkata, “Lidahinilah yang senantiasa mengecamku.” Demikian pula Umar Bin Khaththab,pernah digelari Amirul Mukminin, namanya harum dan termasyhur, bukan sajakarena dapat menghancurkan Kaisar Rum dan Kaisar Persia, tapi juga karenabeliau dapat mengikis habis secara tuntas tradisi-tradisi mereka yang membudayadalam masyarakat yang bertentangan dengan Islam. Beliau pernah berpidato dihadapan manusia sedangkan beliau memakai kain dengan dua belas tambalan danbaju empat tambalan dan tidak memiliki kain lainnya.
            Utsman bin Affan, khalifah ketiga,terkenal sebagai seorang yang tekun beribadah dan sangat pemalu (al-haya/bukanpengecut) meskipun juga ia terkenal sebagai shahabat yang tekun mencari rezeki.Dalam kehidupannya penuh dengan pengabdian setiap waktu, bahkan Kitabullahsenantiasa berada di tangannya dan demikian pula sewaktu beliau meninggal duniadiketemukan Kitabullah itu di antara kedua belah tangannya.
            Khalifah keempat  yaitu Ali bin Abi Thalib, hidupnya sederhanapernah dalam satu bulan memakan 3 buah kurma untuk setiap harinya. Di dalamrumahnya hanya terdapat pedang, baju rantai dan sehelai kain. Kalau kain itudijadikan tikar untuk tidur bersama istrinya yaitu Fatimah, tidak cukup untukdijadikan selimut. Demikian pula sebaliknya. Dari setiap perkataannya keluarberbagai hikmah. Beliau pernah berkata, “Wahai dunia, dayalah orang laindaripada saya, apakah engkau akan mendekatkan diri kepada saya? Jauh, jauhilah,sebab saya telah menceraikan engkau talak tiga. Keadaanmu hina dina, ajalmupendek, sedangkan bekal masih amat sedikit, dan jalan yang akan ditempuh masihsangat jauh.”
            Demikianlah amalan tasawufRasulullah Saw dan Khulafa al-Rasyidin, dan dapat diambil kesimpulansifat-sifat para shahabat sebagai berikut:
-         Zuhud terhadap dunia
-         Cinta dan mengharap segera bertemu dengan Allah SWt
-         Shabar, tawakal, ridla, dan sifat-sifat terpuji lainnya.

Jelaslahbahwa ajaran Islam sejak mulanya tidak bisa lepas dari hidup kerohanian,sedangkan tasawuf Islam sebenarnya adalah hidup kerohanian. Khulafa al-Rasyidintelah dapat menggabungkan kehidupan lahir (duniawi) dengan kehidupan kerohaniandi dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini terbukti meskipun para shahabatutama itu suatu ketika menjadi khalifah, namun segala warna kehidupan itu telahmereka pandangi dari segi hidup kerohanian.
Setelahberakhirnya Khulafa al-Rasyidin, hidup kerohanian mendapat perhatian lebihbaik, terlebih-lebih setelah situasi istana dikerajaan Islam sudah menurutilanggam Persia yang mengarah kepada kemewahan dan kekayaan. Maka sejak abadpertama sampai ujung abad kedua, hiduplah ahli-ahli kerohanian dan kebatinanyang besar-besar. Mereka berani hidup dalam kesederhanaan karena ketekunanmereka beribadat dan menjauhkan diri dari kemewahan duniawy pada zamannya.Mereka sering dijuluki zuhad dan nusak. Zuhad kata jama darizahid, artinya orang yang tidak ingin kemewahan duniawy. Nusak jama dari nasik,yaitu orang yang telah menyediakan dirinya untuk mengerjakan ibadah kepadaTuhan.
Apabilapada masa Rasulullah saw dan pada masa shahabat dan masa tabi’in, predikatshufi bagi para pengamal tasawuf itu belum begitu terkenal, disebabkan yangterkenal pada masa itu dan yang merupakan julukan yang paling utama pada waktuitu dan yang mulai adalah shahabat dan tabi’in. Barulah padaakhir abad pertama sampai ujung abad kedua termasyhur istilah zuhad dan nusak.
Sedangkanmenurut sebagian pendapat mengatakan bahwa teori-teori mengenai sebab-sebabtimbulnya pemikiran tasawuf dalam Islam ini antara lain adalah sebagai berikut.

1.     Pengaruh ajaran-ajaran Kristen tentang faham menjauhi duniadan hidup mengasingkan diri dalam biara-biara. Dalam literatur Arab memangterdapat tulisan-tulisan tentang rahib-rahib yang mengasingkan diri di padangpasir Arabia. Lampu yang mereka pasang malam hari menjadi petunjuk jalan bagikafilah yang lewat, kemah mereka yang sederhana menjadi tempat berlindung bagiorang yang kemalaman dan kemurahan hati mereka menjadi tempat memperoleh makanbagi musafir yang kelaparan.
2.     Filsafat mistik Phytagoras yang berpendapat bahwa rohmanusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Badan jasmanimerupakan penjara bagi ruh. Kesenangan ruh yang sebenarnya adalah di dalamsamawi. Untuk memperoleh senang di alam samawi, manusia harus membersihkan rohdengan meninggalkan hidup dari dunia materi yaitu zuhud, untukselanjutnya berkontemplasi. Ajaran Phytagoras untuk meninggalkan dunia danberkontemplasi inilah menurut pendapat sebagian orang yang mempengaruhitimbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam.
3.     Filsafat emanasi Plotinus yang menyatakan bahwa wujud inimemancar dari Dzat Tuhan yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembalipada Tuhan, tetapi dengan masuknya ke alam materi, roh menjadi kotor dan untukdapat kembali ke tempat asalnya roh harus terlebih dahulu dibersihkan.Pensucian roh ialah dengan meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sedekatmungkin, kalau dapat bersatu dengan Tuhan.
4.     Ajaran-ajaran Budha dengan paham nirwananya. Untuk mencapainirwana, orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Fahamfana yang terdapat dalam sufisme hampir serupa dengan faham nirwananya.
5.     Ajaran agama Hindu yang mendorong manusia untuk meninggalkanhidup duniawi dan mendekatkan diri kepada Tuhan untuk mencapai persatuan Atmandengan Brahman.[1]

Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani[2] menjelaskan bahwa sufisme mula-mulamerupakan pola kehidupan zuhud (asketis) terhadap dunia dan tekunberibadah guna mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dan zuhud, menurut para ahlisejarah adalah fase yang mendahului tasawuf. Pola ini dijalankan olehsegolongan umat Islam yang merasa muak terhadap kehidupan mewah yang telahmelanda sementara umat Islam yang lain – terutama elit birokrat pada waktu itu– yang mengiringi suksesnya Islam menguasai daerah-daerah subur dan kaya sejakabad pertama Hijriyah. Para zahid dan nasik (orang yang tekunberibadah) tersebut juga mengaku bahwa melalui pola kehidupan semacam itumereka berusaha melestarikan kehidupan yang benar-benar Islami, sebagaimanayang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw bersama umat Islam periode pertama (salaf).Hidup mewah dan berfoya-foya dianggap suatu penyimpangan dari jiwa agama Islamyang sejati.[3]
Selamadua abad pertama, tercatat beberapa nama para sufi yang terkenal sebagaipenganut pola yang pertama ini. Di antara mereka ialah al-Hasan al-Bashri (w.110 H), Ibrahim ibn Adham (w. 139 H), dan Rabi’ah al-Adawiyah (w. 185 H).Karakteristik sufisme pada fase ini, selain zuhud dan ibadah, juga bermotivasiuntuk kebersihan diri lahir bathin, tanpa ada pembahasan-pembahasan yangmelahirkan konsep-konsep dalam sufisme. Fase konseptualisasi dalam sufisme barutampak pada abad ke – 3 H, yaitu dengan munculnya nama-nama sufi yang besar,seperti al-Muhasibi (w. 242 H), Dzu al-Nun al-Mishri (w. 244 H), Abu Yazidal-Bustami (w. 260 H), al-Junayd al-Baghdadi (w. 298 H) dan Mansur al-Hallaj(w. 309 H).[4] Dengan menampilkan unsur-unsur budayayang mempengaruhi mereka, para sufi ini melakukan konseptualisasi pengalamankejiwaan mereka dalam menjalankan kehidupan sufi. Maka muncullah pelbagaikonsep sufisme seperti al-ma’rifah (pengetahuan) yang diformulasikanoleh Dzu al-Nun al-Mishri, al-ittihad (persatuan hamba dengan Tuhannya)yang dikemukakan oleh Abu Yazid al-Bustami, al-hulul (Tuhan mengambiltempat dalam diri seseorang) yang dilontarkan oleh al-Hallaj, sedangkanal-Muhasibi telah mencoba menganalisis pengalaman sufi secara psikologis.Mengenai konseptualisasi tersebut, ada sementara pendapat yang menyatakan bahwaDzu al-Nun al-Mishri dengan konsepnya al-ma’rifat terpengaruh olehfilsafat Neo-Platonisme; Abu Yazid al-Busthami dengan ittihad-nyaterpengaruh oleh agama Budha; dan al-Hallaj dengan hulul-nyaterpengaruhi oleh Kristen.[5]
Dalampada itu, perjalanan kaum sufi beserta konsepnya mengalami hambatan dantantangan yang serius, khususnya dari para intelektual fiqh dan kalamyang bukan lagi mempertanyakan konsep-konsep kaum sufi malah menyatakan bahwakonsep-konsep tersebut tidak berada dalam garis yang benar, telah banyakterpengaruh oleh pemikiran di luar Islam. Misalnya, anggapan kaum sufi bahwa ma’rifahlebih tinggi daripada ilmu. Juga, konsep-konsep al-ittihad dan hululyang dianggap bertentangan dengan akidah Islam.
Selanjutnyapara ulama fiqh dan kalam makin membuat jarak terhadap golongansufi, yang makin bertambah ‘liar’ dalam teori dan prakteknya, sehingga adakesan bahwa sufisme berjalan seperti ‘agama tersendiri’ dalam Islam. di sampingitu, di antara para ulama ortodoks (Ahlussunah) muncul pulakecenderungan kepada berkehidupan sufi. Mereka berusaha menarik kembali sufismeke dalam pangkuan Islam dan berkembang sesuai dengan ketentuan yang bisa diterimaoleh para ulama fiqh dan kalam, yaitu dengan cara mengungkapkankembali kehidupan para sufi ortodoks pada masa kemurniannya dan mengungkapkankembali konsep-konsep sufisme mereka dengan pengertian yang bisa dibenarkanoleh akidah yang diyakini oleh Ahlussunnah. Di antara mereka adalah al-Sarraj(w. 377 H) dengan kitabnya al-Luma’, al-Kalabadzi (w. 385 H) dengankaryanya al-Ta’aruf li Madzhab Ahl al-Tashawwuf, dan Qustairi (w. 465 H)dengan risalahnya yang terkenal al-Risalah fi ‘Ibn al-Tashawwuf. Kerja paraulama sufisme Ahlussunnah tersebut, tidaklah terlalu membawa hasil yangberarti. Namun, peran mereka begitu besar karena menjadi spirit bagi al-Ghazali(w. 505 H) untuk membangun konseptualisasi sufisme di belakang hari yang dapatditerima secara lapang dada oleh para ulama fiqh dan kalam sertaumat Islam lainnya, di sini tasawuf mencapai sukses yang besar.[6] Dari sinilah, dikemudian hari, tasawufterbelah menjadi dua jalur, yakni, pertama, tasawuf falsafi yangkonsepnya kental dengan nuansa filosofisnya dan atau terpengaruh oleh pemikirandi luar Islam, sehingga hanya sedikit orang yang memahami dan menerima konseptersebut, seperti halnya konsep al-ittihad dan al-hulul. Kedua,tasawuf sunni atau Ahlussunnah yang konsep-konsepnya diambil dari Islam dantidak mencampuradukkannya dengan pemikiran di luar Islam, sehingga dapatditerima oleh sebagian besar umat Islam, dan tokohnya adalah al-Ghazali.
Sebelumlebih jauh membincangkan tentang tasawuf ini dan tokoh-tokoh sertapemikiran-pemikirannya, ada baiknya di sini dicoba untuk diuraikan tentangmaqamat dan hal dalam tasawuf.
Maqamatsecara harfiah berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang bediri ataupangkal mulia.[7] Istilah ini selanjutnya digunakanuntuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untukberada dekat dengan Allah.[8] Dalam bahasa Inggris maqamat dikenaldengan istilah stages yang berarti tangga.
Tentangbeberapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuksampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammadal-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’aruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagaidikutip Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlah adasepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu’, al-taqwa,al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah, dan al-ma’rifah.[9]
Sementaraitu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlahmaqamat hanya tujuh, yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr,al-tawakkal, dan al-ridla.[10]
Dalamkitab Ihya ‘Ulum al-Din, al-Ghazali mengatakan bahwa maqamat itu aadelapan, yaitu al-taubah, al-shabr, al-zuhud, al-tawakkal, al-mahabbah,al-ma’rifah, dan al-ridla.[11]
Kutipantersebut memperlihatkan keadaan variasi penyebutan maqamat yang berbeda-beda,namun ada maqamat yang oleh mereka disepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud,al-wara, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal, dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu,al-mahabbah, dan al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagaimaqamat. Terhadap tiga istilah yang disebut terakhir itu (al-tawadlu,al-mahabbah, dan al-ma’rifah) terkadang para ahli tasawufmenyebutnya sebagai maqamat, dan terkadang menyebutnya sebagai hal dan ittihad(tercapainya kesatuan wujud rohaniah dengan Tuhan).[12]


[1]Harun Nasution. Op. cit.
[2]Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani. Madkhal ila al-Tashawuf al-Islam.Kairo. Dar al-Tsaqafah li al-Nasyr wa al-Tauzi. 1983. hal. 54.
[3]Lihatlah kitab karangan Ibrahim Basyuni. Nasy’at al-Tashawwuf al-Islami.Mesir. Dar al-Ma’arif. t.th. hal. 96-107; Lihat pula Fazlur Rachman. Islam.Diterjemahkan oleh Senoaji Saleh. Jakarta. Bumi Aksara. 1992. hal. 132; danbuku Annemarie Schimmel. Mystical Dimension of Islam. The University ofNorth Carolina Press Capital Hill. 1981. hal. 30.
[4]Ibrahim Madzkur. Fi al-Falsafah al-Islamiyah. Mesir. Dar al-Ma’arif.t.th. hal. 69.
[5]Annemarie Schimmel. Op. cit. hal. 43; lihat pula kitab Abd al-QadirMahmud. Al-Falsafah al-Shufiyyat fi al-Islam. Kairo. Dar al-Fikral-‘Arabi. 1967. hal. 309-310.
[6]Lihat Fazlur Rahman. Op. cit. hal. 135-140; dan Ibrahim Madzkur. Op.cit. hal. 71-72.
[7]Lihat Mahmud Yunus. Kamus Arab Indonesia. (Jakarta: Hidakarya Agung.1990). hal. 362.
[8]Lihat Harun Nasution. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. (Jakarta:Bulan Bintang. 1983). Cetakan III. hal. 62.
[9]Ibid.
[10]Ibid.
[11]Imam al-Ghazali. Ihya ‘Ulum al-Din. Jilid III. (Beirut: Dar al-Fikr.t.t.). hal. 162-178.
[12]Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 193-194.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By