Breaking News

Sabtu, 10 September 2011

Rabi'ah Al-Adawiyah Dalam Dunia Sufistik


            Pada suatu hari seorang lelaki datangkepada Rabi’ah al-Adawiyah al-Bashriyah dan bertanya, “Saya ini telah melakukandosa. Maksiat saya bertimbun melebihi gunung-gunung. Andaikata saya bertobat,apakah Allah akan menerima tobat saya?”
            “Tidak,”jawab Rabi’ah dengan suara sangar.
            Padakali yang lain seorang lelaki datang pula kepadanya. Lelaki itu berkata,“Seandainya tiap butir pasir itu adalah dosa, maka seluas gurunlah tebaran dosasaya. Maksiat apa saja telah saya lakukan, baik yang kecil maupun yang besar.Tetapi sekarang saya sudah menjalani tobat. Apakah Tuhan menerima taubat saya?”

            “Pasti,”jawab Rabi’ah dengan tegas. Lalu ia menjelaskan, “Kalau Tuhan tidak berkenanmenerima taubat seorang hamba, apakah mungkin hamba itu tergerak menjalanitaubat? Untuk berhenti dari dosa, jangan simpan kata ‘akan’ atau ‘andaikata’sebab hal itu akan merusak ketulusan niatmu.”
            Memangucapan sufi perempuan dari kota Bashrah itu seringkali menyakitkan telinga bagimereka yang tidak memahami jalan pikirannya. Ia bahkan pernah mengatakan, “Apagunanya meminta ampun kepada Tuhan kalau tidak sungguh-sungguh dan tidak keluardari hati nurani?”
            Barangkalilantaran ia telah mengalami kepahitan hidup sejak awal kehadirannya di duniaini. Sebagai anak keempat. Itu sebabnya ia diberi nama Rabi’ah. Bayi itudilahirkan ketika orang tuanya hidup sangat sengsara meskipun waktu itu kotaBashrah bergelimang dengan kekayaan dan kemewahan. Tidak seorang pun yangberada di samping ibunya, apalagi menolongnya, karena ayahnya, Ismail, tengahberusaha meminta bantuan kepada para tetangganya. Namun, karena saat itu sudahjauh malam, tidak seorang pun dari mereka yang terjaga. Dengan lunglai Ismailpulang tanpa hasil, padahal ia hanya ingin meminjam lampu atau minyak tanahuntuk menerangi isterinya yang akan melahirkan. Dengan perasaan putus asaIsmail masuk ke dalam biliknya. Tiba-tiba matanya terbelalak gembiramenyaksikan apa yang terjadi di bilik itu. Seberkas cahaya memancar dari bayiyang baru saja dilahirkan tanpa bantuan siapa-siapa.
            “YaAllah,” seru Ismail, “Anakku, Rabi’ah, telah datang membawa sinar yang akanmenerangi alam di sekitarnya.” Lalu Ismail menggumam, “Amien.”
            Tetapiberkas cahaya yang membungkus bayi kecil itu tidak membuat keluarganya terlepasdari belitan kemiskinan. Ismail tetap tidak punya apa-apa kecuali tiga keratroti untuk istrinya yang masih lemah itu. Ia lantas bersujud dalam shalattahajud yang panjang, menyerahkan nasib dirinya dan seluruh keluarganya kepadaYang Menciptakan Kehidupan.
            Sekonyong-konyongia seolah berada dalam lautan mimpi manakala gumpalan cahaya yang lebihbenderang muncul di depannya, dan setelah itu Rasul hadir bagaikan masihsegar-bugar. Kepada Ismail, Rasulullah bersabda, “Jangan bersedih, orangshalih. Anakmu kelak akan dicari syafaatnya oleh orang-orang mulia. Pergilahkamu kepada penguasa kota Bashrah, dan katakan kepadanya bahwa pada malam Jumatyang lalu ia tidak melakukan shalat sunnah seperti biasanya. Katakan, sebagaikifarat atas kelalaiannya itu, ia harus membayar satu dinar untuk satu rakaatyang ditinggalkannya.”
            KetikaIsmail mengerjakan seperti yang diperintahkan Rasulullah dalam mimpinya, IsaZadan, penguasa kota Bashrah itu, terperanjat, ia memang biasa mengerjakanshalat sunnah 100 rakaat tiap malam, sedangkan saban malam Jum’at ia selalumengerjakan 400 raka’at. Oleh karena itu, kepada Ismail diserahkannya uangsebanyak 400 dinar sesuai dengan jumlah raka’at yang ditinggalkannya pada malamjum’at yang silam.
            Itulahsebagian dari tanda-tanda karamah Rabi’ah al-Adawiyah, seorang sufi perempuandari kota Bashrah, yang di hatinya hanya tersedia cinta kepada Tuhan. Begituagungnya cinta itu bertaut antara hamba dan penciptanya sampai ia tidak punyawaktu untuk membenci atau mencintai, untuk berduka atau bersuka cita selain denganAllah. Tiap malam ia bermunajat kepada Tuhan dengan doanya, “Wahai, Tuhanku. Dilangit bintang gemintang makin redup, berjuta pasang mata telah terlelap, danraja-raja sudah menutup pintu gerbang istananya. Begitu pula para pecinta telahmenyendiri bersama kekasihnya. Tetapi, aku kini bersimpuh dihadapan-Mu,mengharapkan cinta-Mu karena telah kuserahkan cintaku hanya untuk-Mu.”
            Fariduddinal-Attar menceritakan dalam kitab Tazkiratul Auliya bahwa Rabi’ah pandaisekali meniup seruling. Untuk jangka waktu tertentu ia menopang hidupnya denganbermain musik. Namun, kemudian ia memanfaatkan kepandaiannya untuk mengiringipara sufi yang sedang berzikir dalam upayanya untuk mendekatkan diri kepadaTuhan. Selain itu ia mengunjungi masjid-masjid, dari pagi sampai larut malam.Namun, lantaran ia merasa dengan cara itu Tuhan tidak makin menghampirinya,maka ditinggalkannya semua itu.  Ia tidaklagi meniup seruling, dan ia tidak lagi mendatangi masjid-masjid. Iamenghabiskan waktunya dengan beribadah dan berzikir. Setelah selesai shalatIsa, ia terus berdiri mengerjakan shalat malam. Pernah ia berkata kepada Tuhan,“Saksikanlah, seluruh umat manusia sudah tertidur lelap, tetapi Rabi’ah yangberlumur dosa masih berdiri di hadapan-Mu. Kumohon dengan sangat, tunjukkanlahpandangan-Mu kepada Rabi’ah agar ia tetap berada dalam keadaan jaga demipengabdiannya yang tuntas kepada-Mu.”
            Jikafajar telah merekah dan serat-serat cahaya menebari cakrawala, Rabi’ah punberdoa dengan khusyuk, “Ya, Ilahi. Malam telah berlalu, dan siang menjelangdatang. Aduhai, seandainya malam tidak pernah berakhir, alangkah bahagianyahatiku sebab aku dapat selalu bermesra-mesra dengan-Mu. Ilahi, demikemuliaan-Mu, walaupun Kau tolak aku mengetuk pintu-Mu, aku akan senantiasamenanti di depan pintu karena cintaku telah terikat dengan-Mu.”
            Lantas,jika Rabi’ah membuka jendela kamarnya dan alam lepas terbentang di depanmatanya, ia pun segera berbisik, “Tuhanku. Ketika ku dengar margasatwa berkicaudan burung-burung mengepakkan sayapnya, pada hakikatnya mereka sedang memuji-Mupada waktu kudengar desauan angin dan gemericik air di pegunungan, bahkanmanakala guntur menggelegar, semuanya kulihat sedang menjadi saksi ataskeesaan-Mu.”
            Tentangmasa depannya ia pernah ditanya oleh Sufyan al-Tsauri, “Apakah engkau akanmenikah kelak?”
            Rabi’ahmengelak, “Pernikahan merupakan keharusan bagi mereka yang mempunyai pilihan.Padahal aku tidak mempunyai pilihan kecuali mengabdi kepada Allah.”
            “Bagaimanakahjalannya sampai engkau mencapai martabat itu?” tanya Sufyan al-Tsauri.
            “Karenatelah kuberikan seluruh hidupku,” ujar Rabi’ah.
            “Mengapabisa kaulakukan itu, sedangkan kami tidak?” Tanya Sufyan al-Tsauri kembali.
            Dengantulus Rabi’ah menjawab, “Sebab aku tidak mampu menciptakan keserasian antaraperkawinan dan cinta kepada Tuhan.”
            Kesejatian cinta adalah penyerahansegala asa dan cinta hanya kepada Yang Maha Sejati, Maha Kasih.
Rabi’ahadalah sufi wanita yang paling terkenal, sang wakil Maryam yang suci, diterimadi barisan laki-laki, ditutupi oleh hijab khusus, hijab ketulusan dankemurnian, terbakar dalam cinta rindu, terkurung dalam kedekatan danpengorbanan, tersesat dalam persatuan cinta.[1]
            Ia adalah seorang zahidah, zahidperempuan yang dapat menghiasi lembaran sejarah shufi dalam abad keduahijriyah. Kemasyhuran yang diperolehnya ialah karena mengemukakan dan membawaversi baru dalam hidup kerohanian, di mana tingkat zuhud yang diciptakan HasanBashri yang bersifat khauf dan raja’ itu dinaikkan oleh Rabi’ah ke tingkatzuhud yang bersifat hub (cinta) karena yang Suci Murni tidakmengharapkan apa-apa.
            Banyak sekali gubahan-gubahan yangmerupakan pantun atau syair dalam memuji keagungan Tuhan, antara lain:

“Aku mencintai dua cinta.
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu.
Cinta karena diriku, adalah keadaanku senantiasamengingat-Mu.
Cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabirhingga Engkau kulihat.
Baik untuk ini maupun untuk itu, pujian bukanlah bagiku.
Bagi-Mulah pujian untuk semuanya.”

Hampirseluruh literatur bidang tasawuf menyebutkan bahwa Rabi’ah al-Adawiyahlah yangmemperkenalkan ajaran mahabbah ini. Hal ini didasarkan padaungkapan-ungkapannya yang menggambarkan bahwa ia menganut paham tersebut.
Rabi’ahal-Adawiyah adalah seorang zahid perempuan yang amat besar dari Bashrah, diIrak. Ia hidup antara tahun 713-801 H.[2] sumber lain menyebutkan bahwa iameninggal dunia dalam tahun 185 H./796 M.[3] Menurut riwayatnya ia adalah seoranghamba yang kemudian dibebaskan. Dalam hidup selanjutnya ia banyak beribadat,bertaubat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kesederhanaan dan menolaksegala bantuan material yang diberikan orang kepadanya. Dalam berbagai doa yangdipanjatkannya ia tak mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan. Iabetul-betul hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat denganTuhan.[4]
Disebutkandalam riwayat yang lain bahwa ia selalu menolak lamaran-lamaran pria salih,dengan mengatakan: “Akad nikah adalah bagi pemilik kemaujudan luar biasa.Sedangkan pada diriku hal itu tidak ada, karena aku telah berhenti maujuh dantelah lepas dari diri. Aku maujud dalam naungan firman-Nya. Akad nikah mestidiminta dari-Nya, bukan dariku”.[5] Rabi’ah tenggelam dalam kesadarankedekatan dengan Tuhan. Ketika sakit ia berkata kepada tamu yang menanyakansakitnya: “Demi Allah aku tak merasa sakit, lantaran surga telah ditampakkanbagiku sedangkan aku merindukannya dalam hati, dan aku merasa bahwa Tuhankucemburu kepadaku, lantas mencelaku. Dialah yang dapat membuatku bahagia.”[6]
CintaRabi’ah yang tulus tanpa mengharapkan sesuatu pada Tuhan, terlihat dariungkapan doa-doa yang disampaikannya. Ia misalnya berdoa “Ya Tuhanku, bila akumenyembah-Mu lantaran takut kepada mereka, maka bakarlah diriku dalam neraka;dan bila aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga, maka jauhkanlah aku darisurga; namun jika aku menyembah-Mu hanya demi Engkau, maka janganlah Engkaututup Keindahan Abadi-Mu.[7]
KecintaanRabi’ah pada Tuhan terlihat pada syairnya berikut ini:

اُحِبُّكَ حُبَّيْنِ حُبُّ الْهَوَى   .  وَحُبَّا لاَِنَّكَ اَهْلُ لِذَاكَا
فَاَمَّا الَّذِيْ هُوَ حُبُّالْهَوَى   .   فَشُغْلِى بِذِكْرِكَ عَمَّنْ سِوَاكَا
وَاَمَّا الَّذِيْ اَنْتَ اَهْلُ لَهُ   .  فَكَشْفُكَ لِى الْحَجْبَ حَتَّى اَرَاكَا
فَادَ الْحَمْدُ فىِ ذَا اَوْذَاكَلىِ   .  وَلَكِنْ لَكَ الْحَمْدُ فىِ ذَا وَذَاكَا

   “Aku mencintai-Mu dengan dua cinta. Cintakarena diriku dan cinta karena diri-Mu. Cinta karena diriku adalah keadaankusenantiasa mengingat-Mu. Cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu mengungkapkantabir hingga Engkau kulihat. Baik untuk ini maupun untuk itu pujian bukanlahbagiku. Bagi-Mulah pujian untuk kesemuanya.”[8]

يَاحَبِيْبُ الْقَلْبِ مَالىِ سِوَاكَا
                     فَا رْحَمِ الْيَوْمَ مُذْنِيًا قَدْ اَتَاكَا
       بَا رَجَائِ وَرَاحَتِى وَسُرُوْرِيْ
                     قَدْ أَبَى الْقَلْبُ اَنْ يُحِبُّ سِوَاكَا

   “Wahai kekasih hatiku, hanya Engkaulahyang kukasihi. Beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke hadirat-Mu. Engkaulahharapanku, kebahagiaan dan kesenanganku. Hatiku telah enggan mencintai selainEngkau.”[9]

            Dalam syairnya yang lain iamengatakan:

            Kucintai Engkau lantaran akucinta,
            Dan lantaran Kamu patut dicintai,
            Cintakulah yang membuat rindukepada-Mu
            Demi cinta suci ini, sibakkanlahtabir penutup
            Tatapan sembahku. Janganlah Kau pujiaku lantaran itu
            Bagi-Mulah segala puja dan puji.[10]

Al-Ghazalimengomentari syair-syair tersebut dengan mengatakan: “Barangkali yang ia maksuddengan cinta kerinduan itu ialah cinta kepada Tuhan, karena kasih sayang,rahmat dan iradah Allah telah sampai kepadanya”. Karena Allah telahmenganugerahkan roh, sehingga ia dapat menyebut dan dekat dengan-Nya.[11]
Syair-syairtersebut ia ucapkan pada saat telah datang keheningan malam dengan gemerlapnyabintang, tertutupnya pintu-pintu istana raja dan orang-orang telah terbuatdalam tidurnya. Waktu malam sengaja dipilih karena pada waktu itulah roh dandaya rasa yang ada dalam diri manusia tambah meningkat dan tajam, tak ubahnyaseorang yang bercinta yang selalu mengharapkan waktu-waktu malam untuk selalubersamaan.[12]
Cintaatau yang dikenal dalam bahasa Arab dengan mahabbah berasal dari kata ahabba,yuhibbu, mahabbatan, yang secara bahasa berarti mencintai secara mendalam,atau kecintaan atau cinta yang mendalam.[13] Dalam Mu’jam al-Falsafi, JamilShaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yaknicinta lawan dari benci.[14] Al-Mahabbah dapat pula berarti al-wadud,yakni yang sangat kasih atau penyayang.[15] Selain itu al-mahabbah dapatpula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuanuntuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperticintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, orang tua padaanaknya, seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, atauseorang pekerja kepada pekerjaannya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapatpula berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkatruhaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran Yang Mutlak, yaitu cinta kepadaTuhan.[16]
Katamahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukkan pada suatu paham ataualiran dalam tasawuf. Dalam hubungan ini mahabbah obyeknya lebih ditujukan padaTuhan. Dari sekian banyak arti mahabbah yang dikemukakan di atas, tampaknya adajuga yang cocok dengan arti mahabbah yang dikendaki dalam tasawuf, yaitumahabbah yang artinya kecintaan yang mendalam secara ruhian pada Tuhan.[17]
Mahabbahdalam pengertian tasawuf ini lebih lanjut dikemukakan oleh al-Qusyairi sebagaiberikut:

اَلْمَحَبَّةُ حَالَةٌشَرِيْفَةٌ شَهِدَ الْحَقَّ سُبْحَانَهُ بِهَا لِلْعَبْدِ وَاَخْبَرَ عَنْمَحَبَّتِهِ لِلْعَبْدِ فَالْحَقُّ سُبْحَانَهُ يُوْصَقُ بِاَنَّهُ يُحِبُّالْعَبْدَ وَالْعَبْدُ يُوْصَقُ بِاَنَّهُ يُحِبُّ الْحَقَّ سُبْحَانَهُ

   “Al-Mahabbah merupakan hal (keadaan) jiwayang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakan) Allah Swt olehhamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yangdikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah Swt.”[18]

Mahabbah(kecintaan) Allah kepada hamba yang mencintai-Nya itu selanjutnya dapatmengambil bentuk iradah dan rahmah Allah yang diberikan kepadahamba-Nya dalam bentuk pahala dan nikmat yang melimpah.[19] Mahabbah berbeda dengan al-raghbah,karena mahabbah adalah cinta yang tanpa dibarengi dengan harapan pada hal-halyang bersifat duniawi, sedangkan al-raghbah adalah cinta yang disertai denganperasaan rakus, keinginan yang kuat dan ingin mendapatkan sesuatu, walaupunharus mengorbankan segalanya.[20]
HarunNasution selanjutnya mengatakan bahwa mahabbah adalah cinta dan yangdimaksud ialah cinta kepada Tuhan. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan,pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain yang berikut:

1.     Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawankepada-Nya.
2.     Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3.     Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yangdikasihi, yaitu Tuhan.[21]

Kalaudilihat dari segi tingkatannya, mahabbah sebagaimana dikemukakan olehal-Sarraj, sebagaimana dikutip oleh Harun Nasution, ada tiga macam, yaitumahabbah orang biasa, mahabbah oang shidiq dan mahabbah orang yang arif.Mahabbah orang biasa mengambil bentuk selalu mengingat Allah dengan zikir, sukamenyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog denganTuhan. Senantiasa memuji Tuhan. Selanjutnya mahabbah orang shidiq adalah cintaorang yang kenal pada Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, padailmu-Nya dan lain-lain. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkandiri seorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia yangada pada Tuhan. Ia mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangandari dialog itu. Cuma tingkat kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkankehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cintapada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya. Sedangkan cinta orang yang arif adalahcina orang yang tahu betul pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagicinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang mencintai.[22]
Dariketiga tingkatan mahabbah yang dikemukakan oleh Harun Nasution tersebut tampakmenunjukkan suatu proses mencintai, yaitu mulai dari mengenal sifat-sifat Tuhandengan menyebut-Nya melalui zikir, dilanjutkan dengan leburnya diri (fana) padasifat-sifat Tuhan itu, dan akhirnya menyatu kekal (baqa) dalam sifat Tuhan.Dari ketiga tingkatan ini nampaknya cinta yang terakhirlah yang ingin ditujuoleh mahabbah ini.[23]
Denganuraian tersebut kita dapat memperoleh pemahaman bahwa mahabbah adalah suatukeadaan jiwa yang menyintai Tuhan sepenuh hati, sehingga sifat-sifat yangdicintai (Tuhan) masuk ke dalam diri yang dicintai. Tujuannya adalah untukmemperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapihanya dapat dirasakan oleh jiwa. Selain itu uraian di atas juga menggambarkanbahwa mahabbah adalah merupakan hal yaitu keadaan mental, sepertiperasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Hal bertaliandengan maqam, karena hal bukan diperoleh atas usaha manusia, tetapi terdapatsebagai anugerah dan rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula dengan maqam,hal bersifat sementara, datang dan pergi, datang dan pergi bagi seorang sufidalam perjalanannya mendekati Tuhan.[24]
Adapula yang mengatakan bahwa al-mahabbah adalah satu istilah yang hampirselalu berdampingan dengan makrifat, baik dalam kedudukannya maupun dalampengertiannya. Kalau makrifat adalah merupakan tingkat pengetahuan kepada Tuhanmelalui mata hari (al-qalb), maka mahabbah adalah perasaan kedekatan denganTuhan melalui cinta (roh). Seluruh jiwanya terisi oleh rasa kasih dan cintakepada Allah. Rasa cinta itu tumbuh karena pengetahuan dan pengenalan kepadaTuhan sudah sangat jelas dan mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa bukanlagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Oleh karena itu, menurut al-Ghazali,mahabbah itu manifestasi dari ma’rifah kepada Tuhan.[25]
Pendapatyang terakhir ini ada juga benarnya jika dihubungkan dengan tingkatan mahabbahsebagaimana dikemukakan di atas. Apa yang disebut sebagai makrifat olehal-Ghazali itu pada hakikatnya sama dengan mahabbah tingkat kedua sebagaimanadikemukakan al-Sarraj di atas, sedangkan mahabbah yang dimaksud adalah mahabbahtingkat ketiga. Dengan demikian kedudukan mahabbah lebih tinggi dari makrifat.
HarunNasution, dalam bukunya Falsafat dan Mistisisme dalam Islam mengatakan,bahwa alat untuk memperoleh mahabbah oleh sufi disebut sir (سرّ). Dengan mengutip pendapat al-Qusyairi,Harun Nasution mengatakan, bahwa dalam diri manusia ada tiga alat yang dapat dipergunakanuntuk berhubungan dengan Tuhan. Pertama, al-qalb (القلب) hati sanubari, sebagai alat untukmengetahui mengetahui sifat-sifat Tuhan. Kedua, roh (الروح) sebagai alat untuk mencintai Tuhan. Ketiga,sir, yaitu alat untuk melihat Tuhan. Sir lebih halus daripada roh, dan rohlebih halus dari qalb. Kelihatannya sir bertempat di roh, dan roh bertempat diqalb, dan sir timbul dan dapat menerima iluminasi dari Allah, kalau qalb danroh telah suci sesuci-sucinya dan kosong sekosong-kosongnya , tidak berisi apapun.[26]
Denganketerangan tersebut, dapat diketahui bahwa alat untuk mencintai Tuhan adalahroh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dari dosa dan maksiat, serta dikosongkandari kecintaan kepada segala sesuatu, melainkan hanya diisi oleh cinta kepadaTuhan. Ruh yang digunakan untuk mencintai Tuhan itu telah dianugerahkan tuhankepada manusia sejak kehidupannya dalam kandungan ketika umur empat bulan.Dengan demikian alat untuk mahabbah itu sebenarnya telah diberikan Tuhan.Manusia tidak tahu sebenarnya hakikat roh itu. Yang mengetahui hanyalah Tuhan.Allah Swt berfirman:

وَيَسْئَلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِ قُلِالرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّيْ وَمَا اُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ اِلاَّقَلِيْلاً

   “Mereka itu bertanya kepada Engkau(Muhammad) tentang roh, katakanlah bahwa roh itu urusan Tuhan, tidak kamudiberi pengetahuan melainkan sedikit sekali.”[27]

فَاِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيْهِمِنْ رُّوْحِيْ فَقَعُوْلَهُ سَاجِدِيْنَ

   “Maka apabila Aku telah menyempurnakankejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan) Ku, maka tunduklahkamu kepada-Nya dengan bersujud.”[28]

Selanjutnyadi dalam hadis pun diinformasikan bahwa manusia itu diberikan roh oleh Tuhan,pada saat manusia berada dalam usia empat bulan di dalam kandungan. Hadistersebut selengkapnya berbunyi:

اِنَّ النّاَسَ يَجْمَعُخَلْقُهُ فىِ بَطْنِ اُمِّهِ اَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً ثُمَّ يَكُوْنَعَلَقَةً مِّثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُوْنَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يُرْسَلُاِلَيْهِ الْمَلَكَ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحُ

“Sesungguhnyamanusia dilakukan penciptaanya dalam kandungan ibunya, selama empat puluh haridalam bentuk nutfah (segumpal darah), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal dagingyang menempel) pada waktu yang juga empat puluh hari, kemudian dijadikanmudghah (segumpal daging yang telah berbentuk) pada waktu yang juga empat puluhhari, kemudian Allah mengutus malaikat untuk menghembuskan roh kepadanya.” (H.R. Bukhari-Muslim).[29]

            Dua ayat dan satu hadis tersebut diatas selain menginformasikan bahwa manusia dianugerahi roh oleh Tuhan, jugamenunjukkan bahwa roh itu pada dasarnya memiliki watak tunduk dan patuh padaTuhan. Ruh yang wataknya demikian itulah yang digunakan para sufi untukmencintai Tuhan.
            Paham mahabbah sebagaimanadisebutkan di atas mendapatkan tempat di dalam al-Qur’an. banyak ayat-ayatdalam al-Qur’an yang menggambarkan bahwa antara manusia dengan Tuhan dapatsaling bercinta. Misalnya ayat yang berbunyi:

قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَفَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللهُ

  “Jika kamu cinta kepada Allah, maka turutlahaku dan Allah akan mencintai kamu.”[30]

يَأْتِى اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْوَيُحِبُّوْنَهُ

“Allah akan mendatangkan suatu umatyang dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya.”[31]

Didalam hadis juga dinyatakan sebagai berikut:

وَلاَ يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ اِلَىَّبِالنَّوَافِلِ حَتَّى اُحِبَّهُ وَمَنْ اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ لَهُ سَمْعًاوَبَصَرًا وَيَدًا

            “Hamba-Ku senantiasa mendekatkandiri kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan hingga Aku cinta padanya. Orang yangKucintai menjadi telinga, mata dan tangan-Ku.”[32]

            Kedua ayat dan satu hadis tersebutdi atas memberikan petunjuk bahwa antara manusia dan Tuhan dapat salingmencintai, karena alat untuk mencintai Tuhan, yaitu roh adalah berasal dari rohTuhan. Ruh Tuhan dan roh yang ada pada manusia sebagai anugerah Tuhan bersatudan terjadilah mahabbah. Ayat dan hadis tersebut juga menjelaskan bahwa padasaat terjadi mahabbah diri yang dicintai telah menyatu dengan yang mencintaiyang digambarkan dalam telinga, mata dan tangan Tuhan. Dan untuk mencapaikeadaan tersebut dilakukan dengan amal ibadah yang dilakukan dengansungguh-sungguh.


[1]Ibid. hal. 223-229.
[2]A.J. Arberry. Pasang-Surut Aliran Tasawuf. (terj.) Bambang Herawan, darijudul asli Sufism: An Account of The Myctics of Islam. (Bandung: Mizan,1985). Cetakan I. hal. 49; Lihat pula Harun Nasution. Falsafat dan …hal. 71.
[3]Hamka. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. (Jakarta: PustakaPanjimas. 1984). Cetakan XI. hal. 79.
[4]Ibid. hal. 71-72.
[5]Aththar. Tadzkirat al-Aulia I. (Mesir: al-Ma’arif. t.t.). hal. 66.
[6]A.J. Arberry. Pasang-Surut … hal. 50.
[7]Al-Kalabazi. Al-Ta’aruf. (terj.) Arberry. Hal. 159; lihat pula HarunNasution. Falsafat dan … hal. 72.
[8]Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 215-216.
[9]Harun Nasution. Falsafat dan … hal. 74-75.
[10]A.J. Arberry. Pasang-Surut … hal. 50.
[11]Hamka. Tasawuf Perkembangan … hal. 80.
[12]Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 217.
[13]Lihat Mahmud Yunus. Kamus Arab … hal. 96.
[14]Jamil Shaliba. Al-Mu’jam al-Falsafi. Jilid II. (Mesir: Dar al-Kairo.1978). hal. 439.
[15]Ibid. hal. 349.
[16]Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 208.
[17]Jamil Shaliba. Al-Mu’jam al-Falsafi … hal. 440.
[18]Al-Qusyairi al-Naisabury. Al-Risalah al-Qusyairiyah. (Mesir: Daral-Kahir. t.t.). hal. 318.
[19]Ibid. hal. 319.
[20]Jamil Shaliba. Al-Mu’jam al-Falsafi … hal. 617.
[21]Harun Nasution. Falsafah dan … hal. 70.
[22]Ibid. hal. 70-71.
[23]Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 210.
[24]Harun Nasution. Falsafah dan … hal. 63.
[25]IAIN Sumatera Utara. Pengantar Ilmu Tasawuf. (Sumatera Utara.1983/1984). hal. 125.
[26]Ibid. hal. 77.
[27]Q.S. al-Isra’, [17]: 85.
[28]Q.S. al-Hijr, [15]: 29.
[29]Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 213-214.
[30]Q.S. Ali ‘Imran, [3]: 30.
[31]Q.S. al-Maidah, [5]: 54.
[32]Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 218.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By