Breaking News

Jumat, 21 Oktober 2011

Perbedaan Pengarang dan Penulis


APA perbedaan antara pengarang (author) dan penulis (writer)?Pertanyaan sederhana yang tidak mudah dijawab, apalagi bila disusul beberapapertanyaan berikut: bagaimana membedakannya? Apa ukuran yang kita gunakan?Kenapa dibedakan?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kita perlu mengetahui persamaanpengarang dan penulis. Kerja keduanya sama-sama berhubungan dengan bahasa.Bahasa dalam pengertian paling luas dan mendasar: formula yang membentukkesadaran (bahkan ketidaksadaran, menurut psikoanalisis) dan pandangan hidupmanusia. Seandainya terdapat seorang pengarang atau penulis mengaku mampubekerja tanpa bahasa, orang tersebut bisa dibilang sedang berdusta. Ibu gurumemberi pelajaran mengarang, murid-muridnya menulis cerita. Pak guru memberitugas menulis karya ilmiah, para siswa menulis laporan penelitian.

Mengarang sering diasosiasikan dengan karya sastra yang fiksional,sedangkan menulis dengan ilmu yang sifatnya faktual: seakan-akan mengarangsastra tidak memerlukan studi ilmiah, dan menulis karya ilmiah tidak memerlukanbahasa imajinasi yang fiksional. 

Bukan bentuk, tetapi fungsi 
Kita akan tahu asumsi tersebut keliru. Terbukti dengan adanya karyailmiah yang ditulis dengan bahasa literer atau kental unsur sastranya. Filsuf,ekonom, dan ilmuwan politik Karl Marx menulis karyanya dengan bahasa yangliterer, penuh simbol dan metafora, contohnya dalam Capital. Demikian pulaDarwin yang terkenal dengan bukunya, The Origin of Species. 
Sebaliknya, terdapat banyak karya sastra yang penuh muatan ilmiah,dan mengolah fakta-fakta dengan metodologi tertentu. Umberto Eco misalnya,secara konsisten menggunakan logika abduksi sebagai metode dalamnovelnya, The Name of the Rose. Demikian pula Jorge Luis Borges yangmenggunakan labirin sebagai konsep (bahkan semacam metode) untuk membahasmatematika dan metafisika dalam prosa-prosanya, khususnya Tlon, Uqbar, Orbis Tertius,dan Perpustakaan Babel. 
Artinya, asumsi tersebut keliru karena adanya kesalahan dalammenentukan kategori. Seseorang disebut pengarang bukan karena sifat karyanyaliterer-fiksional, dan disebut penulis bukan karena sifat karyanya ilmiah danfaktual (barang siapa tetap menggunakan kategori ini untuk membedakan pengarangdan penulis, jalan pikiran orang tersebut pasti akan tersesat). Yang membedakankeduanya bukan bentuk bahasa, melainkan fungsinya.
Fungsi bahasa bagi pengarang adalah untuk mencipta wacana, sementarabagi penulis untuk menyampaikan pesan. Marx, Darwin, Eco, dan Borges adalahpengarang, karena karya mereka melahirkan wacana. Sementara banyak karya sastradan ilmiah yang tidak melahirkan wacana, dengan alasan yang berlainan; entahbahasanya kurang kuat, penalarannya kurang akurat, atau sekadar mengulang karyasebelumnya. 
Seorang pengarang niscaya menempatkan bahasa sebagai basis darigagasannya, melampaui fungsi instrumentalnya sebagai media komunikasi. Gagasanseorang pengarang memberi bobot baru terhadap bahasa, sehingga mampu mengubahstruktur kesadaran, pandangan hidup, dan landasan baru dalam memandang dunia.Adapun penulis menjadikan bahasa semata sebagai instrumen untuk menyampaikanpesan agar para pembacanya memahami makna yang disampaikan. 

Pengaruh yang mendasar 
Apa yang membuat sebuah karya sastra dan ilmiah menjadi wacanasehingga penciptanya layak disebut pengarang? Pertanyaan itu juga tidak mudahdijawab, karena banyaknya ukuran yang bisa digunakan, dan jangan-jangan kitaakan salah lagi (dan lagi) dalam menentukan kategori. Tulisan ini kembaliberusaha menjawabnya, dan jika jawaban itu ternyata kelak bisa dibuktikansalah, maka itu berarti kita telah menawarkan sepercik gagasan kepada pembaca,dan oleh sebab itu bolehlah disebut sebagai “wacana”. 
Sebuah karya ilmiah bisa menjadi wacana karena di dalamnya terdapattiga hal. Pertama, ide kreatif yang didukung dasar filosofi yang kuat. Marxbisa dikatakan adalah orang pertama yang mengemukakan hukum ekonomi sebagaihukum yang menentukan perkembangan masyarakat dan sejarah. Kebudayaan (sepertiagama, negara, dan institusi sosial lainnya), dicipta semata agar manusia dapatmengatur kebutuhan ekonominya. Melalui budaya, agama, dan negara, manusiamendistribusikan kebutuhan ekonominya, bukan sebaliknya.
Kedua, gagasannya memiliki pengaruh melampaui disiplinnya, bahkanpandangan hidup secara keseluruhan. Sebelum Darwin, Lamarck telah menggunakanteori evolusi untuk menjelaskan asal-usul manusia, tetapi Darwin-lah yangmembuat teori evolusi berpengaruh melampaui disiplin biologi, seperti pandanganyang ditawarkan kitab suci serta dunia mitos. Lebih luas lagi gagasan Marx yangmengubah pandangan manusia tak semata secara teoretis, tetapi juga praksis.Kita tahu, di abad lalu komunisme menguasai sepertiga dunia. 
Ketiga, pemikirannya dapat dibuktikan kebenarannya. Darwinmelahirkan teori evolusi dengan melakukan observasi terhadap serangkaianfakta-fakta ilmiah, demikian pula Marx dengan teori ekonominya. Gagasan merekabukan spekulasi penalaran belaka, melainkan didukung bukti-bukti empiris. Tanpaitu, gagasan mereka akan rapuh, persis seperti mitos-mitos yangditentangnya. 

Sastra tak jauh beda 
Bila karya ilmuwan menjadi wacana melalui tiga hal di atas, karyasastra tidak jauh beda. Membaca novel Eco, The Name of The Rose, kita akanmendapati ide yang didukung basis filosofis yang kuat, salah satunya bobotrelevatif (kewahyuan) filsafat Aristoteles. Sebelum Eco mungkin sudah ada yangmengatakannya, tetapi Eco melakukannya secara lebih konstruktif dengan caramenghubungkan ide tersebut dengan berbagai ide yang menentang dan yangmendukungnya, termasuk filsafat Abad Pertengahan yang terkungkung teologiapokalipsis. Demikian pula Borges, yang secara konstruktif memberi bobotfilosofis terhadap labirin, dan melalui itu ia mencipta model berpikirtertentu. 
Karya Eco dan Borges juga berpengaruh hingga di luar disiplinnya.Novel Eco tak hanya mengubah pandangan manusia terhadap novel, tetapi jugaterhadap agama dan filsafat Abad Pertengahan. Demikian pula Borges, karyanyaberpengaruh secara generik terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan. Eco sendiri,bahkan Michael Foucault, adalah filsuf dan ilmuwan yang menimba ilham dariprosa-prosa Borges. 
Lalu apa gagasan dalam karya sastra dapat dibuktikan secara ilmiah?Tak terhitung karya sastra yang penuh muatan ilmiah, karena sastrawan lazimmenggunakan disiplin tertentu dalam menciptakan karyanya. Namun, bukan di situposisi unik sastra dalam hubungannya dengan ilmu. Bila Marx dan Darwinmengajukan pertanyaan filosofis dan menyelesaikannya secara ilmiah, sastramembaca kesimpulan ilmiah melalui serangkaian pertanyaan imajinatif sehingga darisana terbuka wilayah baru bagi spekulasi para filsuf dan ilmuwan, persisseperti pengaruh Borges dan Eco terhadap khazanah humaniora kontemporer. 
Kita juga memiliki karya-karya ilmiah dan sastrawi yang sebetulnyamemiliki karakteristik seperti karya-karya mereka yang “pengarang” dan bukansekadar “penulis”. Pemikiran Tan Malaka, sajak-sajak Chairil Anwar, danprosa-prosa Iwan Simatupang di antaranya. 
Lalu kenapa karya mereka tidak punya pengaruh mendasar di luardisiplinnya? Jawabannya, karena mereka adalah orang- orang cemerlang yang hidupdi tengah bangsa dengan tradisi pengetahuan yang buruk (kita berharap jawabanini salah). Bangsa yang belum memiliki tradisi pengetahuan yang kuatmembutuhkan banyak “pengarang”, bukan sekadar “penulis”. 
Salah satu bukti karya ilmiah, filsafat, dan sastra yang melahirkanwacana adalah ketika ia menjadi tonggak dalam disiplinnya. Misalnya dalammembahas kapitalisme (baik ekonomi, politik, maupun budayanya) kita tidak bisalepas dari landasan yang diberikan Marx. Begitu pula mengenai asal-usul manusiasulit lepas dari Darwin. Novel Eco tidak bisa dilewati ketika kita membahasdunia Abad Pertengahan, juga Borges dalam kaitannya dengan sastra filsafi danfantasi. 
Katakanlah, karya mereka memiliki otoritas terhadap wacana. ChairilAnwar memiliki otoritas terhadap puisi Indonesia modern. Sulit bicara puisiIndonesia modern tanpa Chairil Anwar. Demikian pula Tan Malaka dan IwanSimatupang dalam filsafat dan prosa di negeri ini. Nama-nama mereka—termasuktentu saja Marx, Darwin, Eco, dan Borges—sering disebut bukan sekadar namamelainkan semacam “istilah” yang merujuk pada gagasan tertentu yang pengaruhnyaluas. Itu membuktikan mereka adalah pengarang (author), mempunyai “otoritas”terhadap wacana, dan bukan sekadar penulis (writer) yang menyampaikan sebuah“pesan”. 
Lalu mana yang kita inginkan, pengarang atau penulis? Kita tak bisamenjawabnya kecuali dengan berdusta. Karena, secara etos mereka yang penulislebih elegan bila bekerja layaknya pengarang, sedangkan secara etis mereka yangpengarang lebih elegan bila tetap memandang dirinya sekadar penulis. Sejauhditempatkan pada konteks etis dan etos itulah polemik seputar “kematianpengarang” (the death of author) yang diusung Roland Barthes dan ramaididiskusikan beberapa tahun silam di sini relevan untuk direnungkan.

Faisal Kamandobat - Kompas Sabtu 24Maret 2007


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By