Breaking News

Kamis, 30 Juni 2011

Pembagian Akhlak

          Kewajiban dalam akhlak Islam erat hubungannya dengan kewajiban dalam Fiqh dan Tauhid, kerena semuanya berjalan tidak terpisahkan, meskipun kewajiban dalam tiga aspek ini berbeda-beda kerena mempunyai arti masing-masing. Perbuatan terpuji atau tercela terhadap Allah Swt dinamakan hubungan vertikal, sedangkan hubungan terpuji atau tercela terhadap sesama manusia atau alam sekitarnya, dinamakan hubungan horizontal. Supaya manusia tidak tertimpa kehinaan, maka hendaknya dalam hubungan dengan Khaliq, maupun hubungan dengan makhluk harus selalu perpegang kepada agama Allah Swt, yakni selalu berakhlak karimah.


            Kita perhatikan firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 112, yang artinya:

 “Kehinaan menimpa mereka dimanapun mereka berada, kecuali (jika memegang) tali (agama) Allah dan memegang tali (memelihara hubungan baik) sesama manusia.”

Orang yang berakhlak baik terhadap Allah Swt ia akan merendahkan diri (tadarru’) dihadapan-Nya, misalnya ketika mendirikan shalat terutama ketika bersujud, diwaktu berdo’a, munajat, ketika membaca al-Qur’an, membaca tasbih, tahlil, takbir dan ibadah mahdlah lainnya.
            Allah Swt berfirman dalam surat Al-A’raf ayat 55 yang artinya,

 “Mohonlah kepada Tuhanmu dengan merendahkan diri dan dengan suara yang rendah lagi lemah lembut (dari bisikan kalbu). Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”

Dalam surat tersebut ayat 204 dan 205,

“Dan apabila al-Qur’an dibacakan, hendaklah kamu dengar baik-baik, dan diamlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan perasaan rendah diri dan takut dengan tidak bersuara keras di waktu pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”

Orang yang mau dan mampu memegang teguh tali Allah, ia akan khusyu’ dalam shalatnya dan ia termasuk orang-orang yang beruntung, sebagaimana firman Allah Swt dalam surat Al-Mu’minun ayat 1 dan 2 yang artinya:

“Sesungguhnya beruntunglah orang–orang yang beriman (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.”

Memang banyak manusia yang berakhlak buruk terhadap Allah Swt, misalnya beribadah dan minta pertolongan kepada-Nya, namun juga kepada yang lain, buruk sangka kepada Allah; tidak sopan dalam mendirikan shalat (shalat sahun), demikian pula seringkali tidak mendengarkan apabila al-Qur’an sedang dibaca.
            Orang yang berakhlak baik terhadap dirinya dan terhadap orang lain, akan rendah hati (tawadlu’) ia akan baik memelihara dirinya, misalnya makanan, pakaian dan tempat tinggal, memelihara kebersihan dan kesehatan (yang ada hubungannya dengan kepentingan jasmani). Demikian pula yang erat hubungannya dengan kepentingan rohani seperti: rasio atau cipta, diisi dengan ilmu dan hal-hal yang masuk akal; rasa yang selalu berhubungan dengan pengalaman seseorang, kepercayaannya, pendidikanya, pengetahuan dan suasana lingkungan. Dan karsa yaitu kemauan dan kehendak, ia tidak takabur, ria dan sum’ah, namun dibuktikan dengan karya nyata.
            Tertanam dalam diri orang yang baik akhlaknya rasa kasih sayang dan cinta terhadap sesama manusia, menyayangi binatang, dan sayang serta suka memelihara alam sekitarnya. Kesadaran hidup dalam hubungannya dengan sesama manusia dan alam sekitarnya, harus dilandasi dengan iman dan taqwa kepada Allah Swt sehingga benar-benar menjadi manusia yang mulia disisi-Nya. Ia akan terhindar dari buruk sangka terhadap orang lain, namun tetap waspada dan hati-hati. Perhatikanlah firman Allah Swt dalam surat Al-Hujurat ayat 12, yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman. Jauhilah kebanyakan prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Dan janganlah kamu mencari-mencari kesalahan orang lain. Dan janganlah sebahagian kamu memperguncingkan sebahagian yang lain.”

Dalan surat yang sama ayat 13, yang artinya:

“Hai manusia. Sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang pria dan seorang wanita. Dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allah ialah siapa yang paling bertaqwa diantara kamu…”

1.      Pengertian Baik dan Buruk

Sebagaimana dijelaskan diatas, bahwa akhlak terbagi kepada akhlak terpuji (mahmudah) dan akhlak tercela (madzmumah), pembagian ini tidak terlepas dari nilai atas perbuatan manusia itu sendiri, apakah baik ataukah buruk.
            Pengertian baik secara bahasa diterjemahkan dari kata khair, good. Louis Ma’luf mengatakan bahwa yang disebut baik adalah sesuatu yang telah mencapai kesempurnaan.[1] Sementara itu dalam Webster’s New Twentieth Century Dictionary, dijelaskan bahwa baik adalah sesuatu yang menimbulkan rasa keharuan dalam kepuasan, kesenangan, persesuaian dan sebagainya.[2] Selanjutnya yang baik itu adalah sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang diharapkan, yang memberikan kepuasan;[3] sesuatu yang sesuai dengan keinginan;[4] sesuatu yang mendatangkan rahmat, memberikan perasaan senang atau bahagia;[5] sesuatu yang diinginkan, yang diusahakan dan menjadi tujuan manusia; dan segala sesuatu yang berhubungan dengan yang luhur, bermartabat, menyenangkan, dan disukai oleh manusia. Tingkah laku manusia adalah baik, jika tingkah laku tersebut menuju kesempurnaan manusia. Kebaikan disebut dengan nilai (value), apabila kebaikan itu bagi seseorang menjadi kebaikan yang kongkret tentunya.[6] Definisi kebaikan tersebut terkesan anthropocentris, yakni memusat dan bertolak dari sesuatu yang menguntungkan dan membahagiakan manusia. Pengertian tersebut tidak ada salahnya karena memang demikian yang disukai oleh manusia.
            Dengan mengetahui sesuatu yang dinilai baik itu, maka akan memudahkan dalam mengetahui yang buruk, syarr, sesuatu yang tidak baik, tidak seperti yang seharusnya, tak sempurna kualitasnya, di bawah standar, kurang dalam nilai, tak mencukupi, keji, jahat, tidak bermoral, tidak menyenangkan, tidak dapat disetujui, tidak dapat diterima, sesuatu yang tercela, lawan dari yang baik, dan perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.[7]

2.      Ukuran Baik dan Buruk

Ada beberapa pendapat tentang ukuran baik dan buruk. Ada yang menilainya dengan agama, tradisi, rasio, pengalaman dan sebagainya.
            Al-Ghazaly mengemukakan bahwa: orang yang mengajak kepada taklid saja dengan mengenyampingkan akal adalah bodoh, dan sebaliknya orang yang hanya merasa cukup dengan akalnya saja, lepas dari cahaya al-Qur’an dan as-Sunnah maka ia tertipu.
            Apabila akhlak disamakan dengan etika, maka apa yang disebut Filsafat Etika itu, juga adalah Filsafat Akhlak. Oleh karenanya banyak pendapat yang mengemukakan bahwa di dalam filsafat akhlak itu terdapat pula bermacam-macam aliran. Dan berikut ini dikemukakan beberapa aliran dalam filsafat etika.

1.      Tradisionalisme

Yang menjadi ukuran norma baik dan buruk itu adalah tradisi. Dengan demikian akan terdapatlah adat kebiasaan yang dijadikan norma oleh suatu kelompok masyarakat yang terkadang tidak sesuai dengan moral dalam agama. Misalnya kebiasaan yang sudah ada sejak nenek moyangnya, sehingga masyarakat menerima sebagai sesuatu yang sudah ada, kemudian melanjutkannya karena dianggapnya kebiasaan tersebut adalah peninggalan orang tua dan tidak boleh dilanggar, seperti “nyalin” di jawa Barat.

2.      Rasionalisme

Faham ini menganggap bahwa rasiolah yang menjadi sumber moral dan rasio berada di atas segala-galanya, sehingga menentukan mana yang baik dan buruk itu juga tergantung kepada penilaian rasio, meskipun tidak sesuai dengan agama.

3.      Empirisme

Faham ini menganggap bahwa pengalaman manusia adalah satu-satunya alat yang terpercaya untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk.

4.      Intuisionisme

Sumber pengetahuan dan juga penilaian yang baik dan buruk itu adalah intuisi (bisikan kalbu). Ada orang yang menamakannya kekuatan batin atau hati nurani.


5.      Hedonisme

Kebahagianlah yang merupakan norma baik dan buruk. Jadi suatu perbuatan itu baik kalau mendatangkan kebahagian, dan sebaliknya perbuatan itu buruk jika mendatangkan penderitaan. Kebahagian ini relatif, dan pengikut aliran ini banyak sekali terutama Hedonisme egoistis yaitu kebahagiaan individu. Tokoh pertamanya adalah Epicurus dan Thomas Hobbes. Adapun tokoh Hedonisme Universal ialah Bentham dan John Stuart Mill.

6.      Evolusionisme

Perbuatan-perbuatan moral itu tumbuh dan berkembang secara berangsur-angsur dan meningkat sedikit demi sedikit. Ia berproses terus menuju idealisme yang menjadi tujuan hidup.

7.      Idealisme

Perbuatan manusia harus berdasarkan prinsip kerohanian yang tinggi, bukan berdasarkan kepada kausalitas verbal yang lahir. Jadi perbuatan yang baik adalah yang berdasarkan atau kemampuan diri sendiri, atas rasa wajib bukan oleh karena anjuran orang atau menginginkan pujian orang. Faktor yang mempengaruhi perbuatan manusia itu adalah kemauan, rasa kewajiban.

8.      Fitalisme

Yang baik adalah yang dapat memaksakan dan menekankan kehendak agar berlaku dan ditaati oleh orang-orang, yang diharapkan selanjutnya tidak terasa sebagai paksaan dan tekanan.

9.      Utilitarisme

Yang baik adalah yang bermanfaat hasilnya, dan yang buruk adalah yang hasilnya tidak bermanfat. Manfaat disini adalah kebahagian untuk jumlah manusia sebesar mungkin dari segi jumlah atau nilai.

10.  Theologia

Perbuatan yang baik adalah perbuatan yang sesuai dengan instruksi Tuhan dan yang tidak baik adalah bila berlawanan dengan perintah-Nya.

11.  Naturalisme

Manusia dapat bahagia apabila menurutnya panggilan fitrah lahir dan batin. Menurut Naturalisme, norma baik dan buruk itu dapat dicari dalam alam kita ini dan bukan problema yang terjadi diluar realita. Sedangkan aliran Methafisika berpendapat bahwa norma itu tidak akan dapat di dunia ini.

12. Ajaran Islam

Penentuan baik dan buruk dalam ajaran Islam harus didasarkan pada petunjuk al-Qur’an dan al-Sunnah. Ada beberapa istilah yang mengacu kepada yang baik, di antaranya al-hasanah lawannya al-sayyiah,[8] al-thayyibah lawannya al-qabihah,[9] al-khair lawannya al-syarr,[10] al-mahmudah,[11] al-karimah,[12] dan al-birr.[13] Adanya berbagai istilah kebaikan yang demikian variatif yang diberikan al-Qur’an dan hadis itu menunjukkan bahwa penjelasan tentang sesuatu yang baik menurut ajaran Islam jauh lebih lengkap dan komprehensif, karena meliputi kebaikan yang bermanfaat bagi fisik, akal, rohani, jiwa, kesejahteraan di dunia dan akhirat serta akhlak yang mulia.

            Dalam aliran akidah (teologi, kalam, tauhid) ada aliran Mu’tazilah, yang hampir sama dengan Rasionalisme, namun di mana selain berpendapat bahwa untuk mengetahui tentang baik dan buruk itu adalah kewajiban akal, juga aliran ini tetap setuju bahwa mengenal dan bersyukur kepada Allah sebagai pemberi ni’mat adalah wajib, dan tetap memperhatikan juga firman Allah dan sabda Rasul-Nya.
            Dr. Rachmat Djatnika mengemukakan juga tentang “benar” ini yang intisarinya ialah: secara subjektif benar di dunia ini bermacam-macam. Benar menurut Ilmu Hitung berlainan dengan benar menurut Ilmu Politik. Demikian pula benar menurut seseorang akan berlainan dengan benar menurut yang lainnya berdasarkan kepentingannya.
            Kita perhatikan pula ukuran benar berdasarkan peraturan yang disusun oleh sistem suatu negara, maka kemungkinan timbul perbedaan bahkan bertentangan antara kebenaran menurut negara yang satu dengan negara lain. Jelaslah kebenaran yang demikian adalah relatif.
            Secara objektif, benar itu adalah satu, tak ada dua benar yang bertentangan. Bila ada dua hal yang bertentangan, mungkin salah satunya saja yang benar atau kedua-duanya yang salah. Secara objektif pula peraturan hanya satu dan tak mungkin mengandung perlawanan di dalamnya. Maka pada hakikatnya yang benar itu adalah pasti dan hanya satu. Kebenaran yang pasti itu adalah yang didasarkan atas peraturan yang dibuat oleh yang Maha Esa, Yang Maha Satu.



[1] Louis Ma’luf. Munjid … hal. 198.
[2] Webster’s New Twentieth Century Dictionary. hal. 789.
[3] Hombay, AS., EU Gaterby, H. Wakefield. The Advanced Leaner’s Dictionary of Current English. (London: Oxford University Press. 1973). hal. 430.
[4] Webster’s World University Dictionary. hal. 401.
[5] Ensiklopedi Indonesia. Bagian I. hal. 362.
[6] Achmad Charris Zubair. Kuliah Etika … hal. 81.
[7] Lihat Webster’s New Twentieth Century Dictionary of English Language. hal. 138; The Advanced Leaner’s of Current English. hal. 63; Ensiklopedi Indonesia. hal. 557; dan Asmaran As. Pengantar Studi … hal. 26.
[8] Q.S. al-Nahl, [16]: 125 dan al-Qashash, [28]: 84.
[9] Q.S. al-Baqarah, [2]: 57.
[10] Q.S. al-Baqarah, [2]: 158.
[11] Q.S. al-Isra’, [17]: 79.
[12] Q.S. al-Isra’, [17]: 23.
[13] Q.S. al-Baqarah, [2]: 177.

Read more ...

Selasa, 21 Juni 2011

Manusia dan Kegelisahan

A.      A .  Pengertian kegelisahan
Kegelisahan berasal dari kata  gelisah, yang berarti tidak tentram hatinya, selalu merasa khawatir, tidak tenang, tidak sabar, dan cemas. Kegelisahan merupakan hal yang menggambarkan keadaan seseorang yang tidak tentram hati maupun perbuatannya, merasa khawatir, tidak tenang dalam tingkah lakunya, tidak sabar, ataupun merasa kecemasan.
Dari pengertian di atas, seseorang yang sedang mengalami kegelisahan memiliki gejala-gejala sebagai berikut:
1.       orang itu pasti tidak tenang pikirannya, karena ada masalah yang belum terselesaikan dalam pikirannya, orang demikian belum memperoleh suatu kepastian yang diharapkan;
2.       orang demikian merasa selalu khawatir, takut sesuatu yang diharapkan tidak tercapai atau tidak terwujudkan, ia takut apa yang tidak diinginkannya terwujud;
3.       orang yang sedang dilanda kecemasan, tampak dalam tingkah lakunya seperti berikut ini: apabila ia sedang duduk, duduknya tidak tenang, sebentar memandang ke kiri, segera beralih ke kanan atau ke depan, dan duduknya segera beringsut sebentar ke kiri atau sebentar kemudian ke kanan. Apabila seorang yang sedang gelisah berdiri, seperti yang sering disaksikan dalam sandiwara atau film-film, orang itu akan berjalan kesana kemari, hilir mudik tak tentu arah tujuannya sebagai sarana untuk mengehilangkan kegelisahannya, perhatiannya berpindah-pindah, seperti ada yang ditunggu-tunggu, entah suatu penyelesaian atau sesuatu yang diharapkan untuk datang. Apabila seseorang yang sedang gelisah itu tidur, tidurnya tidak tenang, sebentar menelentang, sebentar miring ke kiri, sebentar miring ke kanan, sering pula disertai desahan panjang yang mengeluarkan rasa kegelisahannya yang terpendam dalam hati. Apabila sedang merokok, cara merokoknya tidak normal, cara menghisapnya secara dipaksakan, cara mengepulkan asapnya juga aneh, dan hal ini akan tampak secara mencolok pada pemain sandiwara atau film, seperti overacting wujudnya. Ketidaksabaran juga akan tampak dalam tingkahnya yang tidak tenang. Sehingga jika sedang bekerja sering menimbulkan banyak kesalahan. Lebih dalam lagi adalah bahwa kecemasan akan tampak dalam raut wajah orang yang sedang mengalami kegelisahan, seperti rambut kusut, tatapan mata berubah-ubah antara redup, khawatir, dan cemas.
Kegelisahan merupakan salah satu ekspresi kecemasan. Karena itu, dalam kehidupan sehari-hari, kegelisahan juga dengan masalah frustasi, yang pengertiannya dapat disebut bahwa seseorang akan mengalami frustasi apabila yang diingankannya tidak tercapai.
Sigmund freud, ahli psikoanalisa terkenal berpendapat bahwa ada tiga macam kecemasan yang menimpa manusia, yaitu kenyataan, neurotik, dan moril.
a.       Kenyataan
Kenyataan yang pernah dialami seseorang, misalnya merasa terkejut ketika mengetahui bahwa di bawah tempat tidurnya ada tikus. Rasa terkejutnya itu demikian hebatnya sehingga tikus merupakan binatang yang mencemaskannya. Seorang wanita yang pernah diperkosa oleh sejumlah pria yang tidak bertanggungjawab, dalam keadaan sendiri akan merasa ketakutan apabila melihat pria, lebih-lebih apabila jumlahnya sama dengan yang pernah memperkosanya.
Berdasarkan hal tersebut, kecemasan akibat dari kenyataan yang pernah dialaminya sangat terasa, terutama apabila pengalaman itu mengancam eksistensi hidupnya karena seseorang tidak mampu mengatasinya waktu itu. Selanjutnya terjadilah stres yang akan dikemukakan lebih lanjut pada uraian selanjutnya. Demikian pula halnya dengan kecemasan yang dialami seorang bayi atau anak kecil, akan menimbulkan kesan baik dan buruk. Hal itu akan tampak kembali ketika dia sudah menjadi dewasa. Misalnya, ia sering mendapat perlakuan kejam dari ayahnya, mungkin akan selalu cemas apabila ia berhadapan dengan orang yang seusia dengan ayahnya. Ada pula kemungkinan lain, yaitu ia akan memberikan reaksi terbalik, biasanya akan timbul rasa dendam, ia akan berbuat kejam kepada setiap orang tua sebagai akibat dari pelampiasannya.

b.      Neurotik
Kecemasan neurotik atau saraf disebabkan oleh pengamatan atau perasaan yang menimbulkan ketegangan pada saraf seseorang. Ketegangan saraf ini timbul karena menurutnya perasaannya tidak akan mampu menghadapi apa yang akan terjadi, dan ia selalu membayangkan apa yang dirasakan terjadi akan membuat dirinya menderita. Dalam hal ini, kecemasan neurotik terjadi karena takut pada bayangannya sendiri.
Selain itu, dapat juga terjadi bahwa apa yang ditakutkan itu merupakan hal yang sifatnya tidak masuk akal (irasional) yang berlebihan sehingga menimbulkan phobia. Kecemasan neurotik juga dapat disebabkan oleh rasa gugup, sebab ia tidak mengira bahwa situasi yang sedang dihadapinya demikian berbeda dengan apa yang diperkirakan sebelumnya. Misalnya, seorang penyanyi mengira bahwa yang akan menjadi penontonnya adalah orang-orang biasa atau hanya golongan anak muda, ternyata yang datang adalah sejumlah menteri yang usianya sudah tua. Oleh karena itu, ia menjadi gugup, baik dalam penampilannya maupun dalam pengucapannya.

c.       Moril
Kecemasan moril umumnya disebabkan oleh pribadi seseorang. Setiap pribadi memiliki macam-macam emosi, seperti iri, benci, dendam, marah, dan rendah diri. Emosi demikian merupakan the ego seseorang dan untuk memperbaikinya, penampilan diri dari orang ini perlu mendapat pengekangan dari the super ego. Apabila hal ini terus-menerus dilakukan, dalam kata lain tidak memperoleh pengekangan maka akan merugikan dirinya sendiri, misalnya mendapat celaan dari masyarakat.
Sesuai dengan sifatnya sebagai homo socius, seseorang seharusnya dapat mengendalikan diri untuk keperluan masyarakat, tetapi untuk dirinya sendiri. Hal ini sebenarnya dapat menimbulkan pengekangan yang menekan, apabila telah bertumpuk dan tidak dapat diperoleh jalan pemecahannya, maka akan menimbulkan stres. Misalnya seseorang yang selalu merasa dirinya kurang cantik, dalam pergaulannya ia akan merasa terbatas atau tersisihkan, akibatnya ia tidak akan berprestasi dalam berbagai kegiatan, dank arena terbawa perasaan, kawan-kawannya dinilai sebagai lawan. Ketidakmampuannya dalam menyamai kawan-kawannya inilah yang akan menimbulkan kecemasan moril.
Sehubungan dengan ketiga bentuk kecemasan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa kecemasan itu dapat menimbulkan reaksi langsung. Salah satunya adalah stres. Itulah sebabnya, dalam kehidupan sehari-hari banyak orang menyamaratakan dengan stres. Padahal arti stres sendiri secara harfiah berarti tekanan. Menurut Dr. P. Sidharta, neurology kenamaan di Jakarta, dalam seminarnya di Erasmus Huis tanggal 13 April 1985, dikatakan bahwa tanda seseorang benar-benar dihinggapi stres adalah terjadi peningkatan kadar kortikosteroid yang merupakan hasil kelenjar anak ginjal, yang dirangsang oleh sarag bagian otak sebagai pusat dari emosi. Begitu badan mengalami ancaman, zat tersebut akan menolak kadarnya. Namun, ada kalanya orang mampu untuk melawan (fight) sehingga sumber stres dapat dikalahkan, tetapi banyak juga yang ketakutan, lalu melarikan diri atau terbang (flight), yang membuat tekanan menjadi semakin parah. Apabila keduanya, yaitu fight dan flight, melawan atau melarikan diri tidak dilakukan, rasa ketakutan orang itu akan meningkat menjadi kecemasan.
Berhubungan dengan masalah stres, dikenal adanya tiga tingkatan stres atau kadar stres.
1.       Stres mahabesar
Stres mahabesar timbul apabila seseorang mengalami musibah besar, misalnya kebakaran, kebanjiran, peperangan, dan perampokan. Hal tersebut dapat meneror mentalnya. Dalam menghadapi musibah demikian, tidak jarang seseorang langsung lari, bahkan menjadi sangat tercekam, tidak dapat berbicara. Namun, karena bahaya demikian relatif sedikit, maka penderita stres ini jarang yang sampai harus dirawat oleh dokter.

2.       Stres situasional
Stres situasional timbul secara mendadak dalam suatu situasi. Misalnya, pada seseorang yang mengalami peristiwa penodongan. Peristiwa itu begitu membekas dihatinya dan menjadikan stres, sehingga setiap kali orang tersebut berjalan sendiri, apalagi dalam gelap, stres tersebut akan dapat timbul kembali, atau seseorang  yang melihat orang lain mati secara mengerikan karena ditabrak mobil, bisa menyebabkan ia selalu ketakutan apabila menyebrang jalan.

3.       Stres kronik
Stres kronik dapat melanda seseorang kalau penganggulangan stres yang muncul sebelumnya tidak sempurna atau tidak tuntas. Misalnya, pada seorang suami yang mempunyai istri resmi, tetapi memiliki istri simpanan. Dalam diri seseorang tersebut, stres kronik akan muncul karena kecemasan yang selalu timbul, yaitu takut jika anak dan istrinya sampai mengetahui dia selingkuh. Selain itu, stres jenis ini juga dapat terjadi pada seseorang yang kurang senang pada pekerjaannya. Ia merasa terpaksa melakukannya karena pertimbangan ekonomi. Lama-kelamaan ia akan dihinggapi stres kronik karena terus-menerus melakukan pekerjaan yang tidak disukainya. Orang yang terlalu ambisius juga mudah terkena stres, karena setiap apa yang diinginkannya jika tidak tercapai, akan menjadi tumpukan baru yang bisa mempertebal rasa stresnya.
Jika seseorang mudah mengalami stres, dirinya diibaratkan sebagai seseorang yang begitu melihat cabai langsung merasa pedas, padahal cabai itu dalam kenyataanya baru bisa dirasakan pedas jika sudah dimakan. Untuk itu, Dr. P. Shidarta mengemukakan sepuluh nasihat untuk menghindari stres.
1.       Keluarkan isi hati yang mengganggu pikiran kepada orang yang dekat dengan Anda;
2.       Kalau tegang karena suatu pekerjaan yang rumit, tinggalkan dahulu pekerjaan tersebut;
3.       Kalau sedang merasa sebal, lakukanlah pekerjaan fisik;
4.       Sesekali mengalah;
5.       Cobalah menolong orang lain;
6.       Selesaikan satu pekerjaan saja pada satu saat;
7.       Ingatlah, bahwa tidak ada seorang pun yang bisa mengerjakan segalanya;
8.       Jangan membiasakan memulai sesuatu pada orang lain dengan kritik, tapi mulailah dengan pujian;
9.       Berikan kesempatan kepada orang lain untuk meraih sukses;
10.   Bersikaplah ramah terhadap setiap orang lain (Intisari, Juni 1985, hlm 14-20)
Ahli lain, yaitu Walter Mc. Quade dan Ann Aikman, dalam bukunya “stres” terjemahan Dra. Stella, mengatakan bahwa penyebab utama dari penyakit dalam abad ke XX adalah bayangan adanya stres. Menurutnya, ada tiga macam stres pokok yang menjadi penyebabnya. Ketiga macam stres pokok itu sebagai berikut:
1.       Ancaman perkelahian mati-matian (mortal combat)
Dalam stres ini, jika ancaman timbul, jantung mulai berdebar dengan cepat, tekanan darah naik, dan system pencernaan kinerjaanya menjadi semakin berkurang. Semuanya itu terjadi secara otomasis, tertuju pada musuh, dan merupakan perubahan fisik yang dirancang untuk meringankan perbuatan fisik. Oleh karena itu, terkadang bisa terjadi pelawanan sungguhan, atau lari menghindar (fight atau flight)

2.       Masalah mencari makanan yang mencukupi
Sebelum abad ke XX, hal mencukupi makanan tidaklah seberat seperti sekarang. Hal ini terjadi karena pada zaman sekarang banyak orang yang dirangsang ketakutan kalau-kalau tidak berkecukupan dalam hal makan. Misalnya seseorang yang terkena PHK, orang yang dinonaktifkan dari tugasnya, dan orang yang merasa hidupnya merasa serba kurang.

3.       Masalah yang menghantui kebanyakan orang, yaitu takut mati
Makin kuatnya budaya materi yang menjangkiti kehidupan manusia modern, tetapi menipisnya rasa keagamaan dapat membuat seseorang takut mati. Oleh karena itu, timbullah manusia-manusia modern yang kurang beriman. Bagi orang-orang tersebut, dunia bagaikan surga yang sulit untuk ditinggalkan, sedangkan neraka seperti neraka yang menakutkan.
Selain mengungkapkan penyebab stres, Mc Quade dan Aikman juga mengemukakan tentang proses terjadinya stres. Berdasarkan penyelidikan mereka, ternyata proses terjadinya stres tidaklah jauh berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Dr. P. Shidarta. Dalam penyelidikan mereka, manusia disebutkan ada dua tipe, yaitu tipe A dab tipe B. Tipe A  adalah mereka yang kegiatannya intensif, agresif, berambisi, senang bersaing, senang menyelesaikan pekerjaan, dan yang memiliki kebiasaan untuk berlomba dengan waktu. Manusia tipe demikian mudah terkena stres. Sedangkan lawan dari tipe tersebut, atau tipe B, adalah orang-orang yang tingkah lakunya santai, lebih terbuka, tidak melihat jamnya terus-menerus, tidak memburu prestasi, tidak begitu bersaing, dan bicaranya lebih teratur. Manusia tipe ini biasanya terhindar dari bahaya stres.
Berdasarkan pernyataan tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa rasa stres atau rasa gelisah mempunyai pengaruh yang besar bagi kehidupan manusia. Stres dapat mempermudah berbagai macam penyakit untuk menghinggapi tubuh manusia, akibat dari tubuh yang terus diforsir atau dipaksa untuk memenuhi ambisi. Dalam system kardiovaskuler, stres ini dapat mempermudah terjadinya serangan jantung, tekanan darah tinggi, dan anging (jantung tidak banyak mendapat oksigen). Dalam sistem pencernaan, stres mudah menimbulkan tungkak (maagsfer), radang usus besar, sembelit (susah untuk buang air besar), diare, dan menimbulkan penyakit gula. Selain itu juga dapat menimbulkan beberapa penyakit seperti infeksi, alergi, kanker, dan rematik. Dan dalam rangka tubuh dan otot misalnya, dapat menyebabkan sakit punggung, sakit kepala, dan encok.
Timbul masalah, apabila stres merupakan penyakit utama dalam abad ke XX dan orang berusaha untuk mengatasinya, apakah kehidupan yang akan datang menyebabkan manusia menjadi spesies yang paling kuat, sehat, dan lebih super daripada manusia sekarang? Pemikiran untuk menjawab hal tersebut harus dikaitkan dengan teori evolusi. Dalam hal ini, manusia juga berusaha untuk survive (bertahan) dalam menghadapi tantangan alam ataun lingkungan. Di pihak lain, stres sebagai ancaman semakin lama semakin diketahui cara-cara untuk mengatasinya, manusia semakin tahu bahwa mereka yang takut pada dirinya sendiri, seperti takut mati atau takut untuk mudah disaingi akan mudah terkena stres. Manusia yang gagal dalam kehidupannya akan binasa, ia tidak akan bertahan dengan tantangan alam yang semakin sulit.
B.      Keterasingan
Keterasingan berasal dari kata asing, yang berarti tersendiri atau terpisah sendiri. Oleh karena itu, keterasingan berarti hal yang terpisah sendiri. Seperti yang telah dikemukakan tentang manusia, bahwa manusia terdiri atas dua aspek, yaitu jasmani dan rohani. Karena itu, sebab-sebab atau sifat keterasingan yang dialami oleh seseorang juga dapat bersifat dua hal tersebut, yaitu jasmani dan rohani.
Dalam membicarakan keterasingan, kita bertitik tolak pada manusia sebagai makhluk sosial, sehingga apabila seseorang terasing dari masyarakat, dengan sendirinya sudah dimaksudkan sebagai keterasingan.
Dalam membicarakan keterasingan, masalahnya dititikberatkan pada keterasingan fisik, karena dalam membicarakan pasal berikutnya tentang kesepian, dianggap hal itu sudah merupakan keterasingan yang sifanya psikis. Sulit sekali disangkal karena manusia merupakan kesatuan antara jasmani dan rohani, sehingga dengan sendirinya apabila setiap dikemukakan soal jasmani, sebenarnya soal rohani pun ikut tersangkut paut. Jelaslah mengapa dalam hal ini, masalah keterasingan lebih mengutamakan soal fisik, walaupun tidak mungkin lepas dari soal psikis.
Seperti juga dalam kegelisahan, dalam keterasingan pun juga ada hal-hal yang menyebabkannya. Ada tiga hal yang menyebabkan seseorang harus mengalami keterasingan, yaitu akibat dari pelanggaran, adanya perbedaan sosial-ekonomi, dan cacat tubuh. Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut.
1.       Keterasingan karena pelanggaran
Dalam pembahasan manusia dan keadilan, dikemukakan bahwa dalam masyarakat tradisional berlaku hukum adat. Siapa pun yang melanggar hukum adat akan dikenakan hukuman berupa pengasingan atau pengucilan dari masyarakat. Orang yang mengalami hal demikian hidupnya akan terpisah dari sanak saudara, ia hidup sendiri, tetapi mungkin juga ada yang setia menemaninya. Selain itu, segala kebutuhan hidupnya harus dipenuhi sendiri. Dan ia sebagai makhluk sosial akan merasa kesepian.
Sedikit memiliki kesamaan dengan masyarakat tradisional, dalam Negara modern pun berlaku hukum seperti itu, siapa yang melanggar hukum akan ditangkap, diadili, dan apabila dinyatakan bersalah akan dihukum. Orang yang bersalah ini akan diasingkan dalam penjara – yang di Indonesia diistilahkan dengan Lembaga Pemasyarakatan, agar terdengar lebih manusiawi. Bukan hanya sampai di sini, dalam penjara pun seseorang akan diasingkan satu dari yang lain (apabila tempatnya memungkinkan), atau setidak-tidaknya ia akan terasing dari masyarakat ramai dalam penjara. Misalnya, mereka yang hukumannya berat akan diasingkan secara ketat dari kawan-kawannya di penjara, sedangkan untuk yang lebih ringan dapat lebih bebas (tetapi hanya sebatas kebebasan dalam keterasingan di penjara). Oleh karena itu, keterasingan mereka dari masyarakat ramai seringkali menjadi hukuman psikis yang disebabkan oleh kerinduannya akan sanak saudaranya, terutama kepada istri dan anaknya.
Keluarga pun merasa ikut terhukum oleh masyarakat, bahkan tidak jarang mereka pun turut diasingkan oleh masyarakat akibat menjadi keluarga dari seorang narapidana. Pemerintah pun tanggap akan hal tersebut. Dalam lembaga pemasyarakatan RI, seorang narapidana akan memperoleh pendidikan keagamaan, ketrampilan, dan pergaulan, dengan tujuan supaya para eksnarapidana ini bisa kembali bercampur baur dengan masyarakat dan memperoleh pengakuan kembali berkat pendidikan dan pengarahan yang diperolehnya selama menjadi narapidana.

2.       Keterasingan karena perbedaan sosial ekonomi yang mencolok
Perbedaan sosial-ekonomi yang mencolok menyebabkan manusia menjadi masyarakat yang terkotak-kotak, dalam ilmu sosiologi disebut pelapisan atau stratifikasi masyarakat. Pelapisan masyarakat itu bersifat tertutup (closed social stratification) dan dapat juga bersifat terbuka (open social stratification). Yang pertama merupakan pandangan lama dengan pendirian bahwa seseorang menempati kedudukan yang tinggi atau rendah karena takdir atau nasibnya memang demikian.  Sedangkan yang kedua merupakan pandangan baru dengan pendirian bahwa seseorang menempati posisi masyarakat rendah dapat memiliki posisi tinggi apabila ia mau untuk berjuang meraih posisi tersebut.
Sesuai dengan perkembangan zaman, secara berangsur manusia semakin menjadi masyarakat yang terbuka. Dalam hal ini, masyarakat yang konservatif yang sifatnya kolot  terdesak oleh masyarakat modern yang sifatnya lebih maju. Walaupun demikian, masih terdapat beberapa kriteria dalam masyarakat modern yang menunjukkan sistem pelapisan masyarakat masyarakat tersebut, dengan kata lain ada nilai-nilai yang berbeda yang menyebabkan terjadinya pelapisan sehingga menjadikan suatu lapisan menjadi terasing dari lapisan lainnya. Soerjono Soekanto, dalam bukunya, Sosiologi, Suatu Pengantar (1981:141,142), menyebutkan adanya empat ukuran yang menyebabkan terjadinya pelapisan masyarakat dalam dunia masyarakat modern, yaitu kekayaan, kekuasaan, kehormatan, dan ilmu pengetahuan.
1.       Ukuran kekayaan
Kekayaan seseorang biasanya berupa harta benda, seperti rumah, perhiasan, kendaraan, ternak, dan pabrik. Berdasarkan banyaknya jumlah harta benda dapat membedakan orang tersebut kaya atau miskin. Antara si kaya dan si miskin terdapat jurang yang lebar sehingga satu sama lain saling terpisah.
Keadaan seperti inilah yang dapat menjadi keterasingan diri. Bagi si kaya, ada kemungkinan keterasingan dapat dibeli, dengan mengadakan pesta misalnya. Namun berbeda dengan si miskin, bisa makan sehari tiga kali saja sudah untung, apalagi untuk mengadakan pesta. Kemiskinan menyebabkan  si penderita diasingkan oleh mereka yang tidak miskin, terutama mereka yang sangat kaya.

2.       Ukuran kekuasaan
Dunia saat ini mengarah kepada sistem pemerintahan yang demokratis. Hal ini tampak dari sebagian besar negara yang memiliki bentuk sistem pemerintahan republic. Walaupun demikian, dalam tata kepegawaiannya perlu diatur sistem berjenjang. Misalnya, dalam Peraturan Gaji Pegawai Negeri (PGPN) di Indonesia, dikenal adanya golongan I, II, III, dan IV. Dapat dibayangkan apabila semua pegawai menempati golongan IV yang merupakan golongan tertinggi, sungguh akan kacau balau. Dalam hal ini, pembedaan kekuasaan perlu dilakukan.

3.       Ukuran kehormatan
Seharusnya, ukuran kehormatan dapat dilepaskan dari ukuran kekayaan atau kekuasaan. Namun, dalam praktiknya hal ini sangatlah sulit dikarenakan keadaan masyarakat yang semakin kompleks. Khususnya dalam masyarakat tradisional, masalah kehormatan masih lebih tampak, mereka yang dihormati atau disegani diberikan tempat teratas.

4.       Ukuran ilmu pengetahuan
Jenjang pendidikan modern yang disusun berdasarkan tingkatan rendah atau dasar, menengah, dan tinggi juga menyebabkan manusia dalam masyarakat yang berlapis-lapis, sehingga menyebabkan terjadinya keterasingan. Hal ini terutama dirasakan oleh mereka yang memiliki pendidikan rendah, mereka menjadi merasa terasing.
Dalam dunia industri, kecendrungan untuk memperhitungkan kemampuan seseorang lebih besar dari ijazah formal, tetapi idealnya ijazah juga turut menentukan kemampuan seseorang.
Dengan perkembangan dunia yang makin maju, diharapkan manusia semakin manusiawi, tetapi kapankah kiranya pelapisan yang membuat suatu lapisan tertentu merasa terasing. Siapa pun tidak akan pernah bisa untuk menjawabnya. Namun, satu hal yang telah diketahui dengan pasti bahwa masalah tersebut merupakan suatu seleksi sosial yang juga sebagai hukum dalam masyarakat.

5.       Keterasingan karena  cacat tubuh
Cacat tubuh sejak lahir yang diderita oleh seseorang, dapat menjadi sebab dari keterasingan. Tidak jarang, penderita ini selalu menjadi bahan ejekan, tidak diikutsertakan dalam kegiatan tertentu, dan lebih jauh lagi ia tidak dimasukkan ke dalam tatanan pergaulan oleh masyarakat.
Selain cacat bawaan, juga cacat karena penyakit. Dalam rumah sakit, pasien selalu diklasifikasikan menurut jenis penyakitnya, misalnya penyakit dalam, penyakit kulit, dan penyakit saraf. Penggolongan ini bukan dilaksanakan tanpa maksud. Ada kalanya dalam maksud baik yang telah direncanakan menjadi sebuah boomerang bagi orang lain, terutama bagi penderita. Bagi rumah sakit, penggolongan demikian bisa mempermudah dalam perawatan pasien, dan bagi keluarga bisa mempermudah ketika ingin menjenguk pasien. Lain lagi bagi si pasien, mereka yang mengalami penderitaan yang sama akan merasa senasib dan sepenanggungan. Terutama bagi pasien yang terkena penyakit berbahaya dan menular yang membuat mereka harus dikarantina atau diasingkan, hal ini akan membuat mereka merasa terasing dari dunia luar. Bahkan, jika lebih jauh bisa menimbulkan rasa rendah diri.
Dalam masyarakat yang semakin manusiawi, penderita banyak yang memperoleh bantuan agar mereka dapat direhabilitasi, seperti yang sedang marak pada stasiun televisi. Mereka yang cacat –kaki atau tangan misalnya – akan direhabilitasi dengan membuatkan kaki atau tangan palsu, dan mereka pun diberikan penyuluhan atau konseling agar mereka tidak menjadi orang yang perlu dikasihani lagi. Diharapkan dengan cara tersebut akan menghilangkan rasa keterasingan pada diri mereka.

C.      Kesepian
Kesepian berasal dari kata sepi yang berarti sunyi atau lengang, sehingga kata kesepian berarti merasa sepi atau lengang atau merasa tidak berteman. Kata keterasingan lebih dititikberatkan pada factor psikis, walaupun terkadang factor fisik juga berpengaruh. Misalnya seseorang yang berada di tempat yang sepi, psikisnya akan mudah terpengaruhi sehingga dapat merasakan keterasingan, khususnya kesepian. Namun, seseorang dalam waktu pesta yang ramai merasa tidak memiliki kawan, maka akan merasakan kesepian.
Beberapa gejala pada orang yang dirundung kesepian antara lain: apabila ia duduk, pandangan matanya ke depan tampak agak kuyu, kurang memberikan sinar yang terang, pandangannya seperti kosong. Tampak matanya terbuka, tetapi kurang memperhatikan apa yang ada di depannya.
Dalam jiwanya yang sepi, tubuhnya merasa lunglai sehingga kepala terasa berat dan harus ditopang pada dagunya. Tidak tampak gerak yang hidup atau bersemangat. Orang yang kesepian memang tampak tenang ketika tidur, tetapi tidurnya seperti sesosok mayat yang bernafas. Kegairahan tubuh tidak nampak, ia seperti tergeletak begitu saja.
Bilamana ia sedang berjalan, tubuhnya sekedar bergerak dari satu tempat ke tempat lain, tetapi pandangannya juga kuyu hanya sekedar sebagai pelita saja, tidak tanggap betul terhadap orang yang di sekitarnya. Apabila orang yang kesepian ditegur, ia akan mudah terkejut, karena sudah terlanjur terbiasa dengan kesepiannya.
Arti kesepian menjadi semakin jelas bila seseorang merasa kesepian dalam keramaian. Yang ramai memang suasana luar dari orang yang merasa kesepian, tetapi orang yang dirundung kesepian merasakan sepinya keadaan. Yang dapat ramai adalah tubuhnya, sedangkan jiwanya tidak. Berikut gambaran orang yang merasa kesepian:
K baru saja putus dengan L. K sangat menderita karenannya. Putusnya hubungan dengan L berarti putus tali ikatan batinnya dengan orang yang selama ini dicintainya. Sebelum hubungan K dengan L putus, mereka selalu rukun, hilir mudik selalu bersama. Pada suatu hari, datanglah surat undangan dari kawan akrabnya yang belum mengetahui kalau K sudah putus hubungan dengan L. pada surat undangan tersebut tertulis “untuk K dan pasangannya”. Ingin tidak datang, yang mengundang tersebut kawan akrab. Mau datang, ia akan merasa kesepian dalam ramainya pesta. Demi tidak mengecewakan kawan akrabnya, K datang ke pesta tersebut walaupun sendirian. Dalam pesta yang meriah, K lebih banyak duduk menyendiri, memperturutkan rasa kesepiannya. “Andaikata aku tidak putus dengan L, pasti aku tak merasa tidak sesepi seperti ini,” kata hatinya. Musik rock yang keras memekakkan telinga, tak mampu mengusir rasa sepinya. Kasihan!
Dari contoh di atas, dapat ditarik kesimpulan ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang merasa kesepian. Pertama apabila ia terpisahkan dari orang yang dikasihinya. Orang seperti ini akan cepat merasa sepi, karena selama ini hanya sang kekasih lah yang menjadi pengisi hatinya. Hilangnya rasa kasih sayang dapat menjadi sebab timbulnya rasa sepi yang kadang dapat mencekam.
Kedua, akibat dari keterasingan. Walaupun dilakukan secara fisik, keterasingan dapat mempengaruhi psikis seseorang. Segarang apa pun narapidana, pasti ia pernah merasa rindu kepada keluarganya. Pada saat-saat tertentu dia akan merasa dirinya kesepian, terlebih lagi jika dia ingat anak dan istrinya. Dalam hal ini, kegerangan seseorang dapat dikalahkan oleh rasa rindu akibat dari kesepian.
Sebab ketiga, bahwa apabila seseorang tidak memiliki atau tidak melakukan suatu kegiatan. Orang demikian selalu akan menuruti lamunannya, tidak jarang lamunannya tersebut akan mengarah pada pemikiran-pemikiran yang sifatnya negatif yang dapat membahayakan dirinya sendiri. Orang yang tidak tahu apa yang dapat dikerjakannya pada suatu waktu akan menimbulkan kesepian. Oleh karena itu, pemikiran-pemikiran merupakan olahraga bagi jiwa dan kegiatan yang dilakukan merupakan olahraga bagi tubuh seseorang. Apabila keduanya sejalan, maka dia akan menjadi orang sehat. Berikut diberikan suatu penggambaran tentang kehidupan seseorang janda tua yang berusia 78 tahun.
Frau Mogh yang berusia 78 tahun, tinggal di suatu apartemen di Jerman. Anak-anaknya telah lama memisahkan diri karena sudah berkeluarga. Walaupun demikian, ia tidak pernah merasakan kesepian karena selalu sibuk atau menyibukkan dirinya setiap hari. Pagi-pagi ia membuat minuman sendiri dan menyiapkan sarapannya, berupa roti lapis selai apel buataannya sendiri. Setelah sarapan, ia membersihkan apartemennya, baik dalamnya maupun halaman luarnya, juga seorang diri. Setelah agak siang, ia pergi ke took untuk berbelanja dengan mengendarai sepeda yang telah lama dimilikinya. Untuk makan siang, semuanya disiapkan sendiri. Setelah agak letih, ia beristirahat. Untuk minum teh sore hari, juga dipersiapkan sendiri. Malam hari, ia membaca koran atau majalah yang diselingi dengan menonton televisi. Ia tidur pada jam yang sejak dahulu sudah ditentukan sendiri dengan perasaan tenang. Paginya ia bangun dengan perasaan sehat. Kebiasaan rutin itu kembali dikerjakannya seperti hari-hari sebelumnya.
Gambaran di atas merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk menghindar dari rasa kesepian. Tentunya masih banyak cara lain yang dapat dilakukan untuk menghindari rasa kesepian. Tetapi satu hal yang harus diingat! Sebab-sebab kesepian yang telah dikemukakan di atas merupakan sisi negatifnya, makan orang harus mengambil langkah yang sifatnya positif (yang dilandasi oleh pemikiran positif, positive thinking). Misalnya, bagi seseorang yang ditinggal pacar, ia dapat pasrah diri dengan pengertian “sudah nasib” yang disertai dengan selalu memohon kepada Tuhan  agar diberi kekuatan atau cepat memperoleh gantinya. Jangan sampai kesepian tersebut diperturutkan sehingga dapat membawa dirinya ke frustasi atau ke keterasingan. Oleh karena itu, ia perlu agar rasa sepi itu tidak memperoleh tempat dalam dirinya. Secara agama dapat disebutkan, orang yang kesepian sebaiknya labih banyak memperdalam pengetahuan agam  dan lebih khusyuk menjalankan ibadah.
Salah satu akibat orang yang memperturutkan rasa kesepian adalah timbulnya rasa rendah diri (MC atau minderzwaadegheids complex). Rasa rendah diri adalah perasaan yang  dialami seseorang karena merasa kurang atau tidak mampu menyamai orang lain. Dr. Frank S. Caprio, dalam bukunya Mengatasi Rasa Sepi, Frustasi, dan Rendah Diri, menyebutkan bahwa orang yang rendah diri pada hakikatnya adalah orang yang cinta diri (self love). Mereka itu menjadi korban dari rasa kasihan diri dan kegetiran hidup mereka. Memang rasa rendah diri ada pada setiap orang, tetapi invalidisme psikis (cacat psikis) ini dapat berpengaruh pada tubuh sehingga tubuh pun ikut sakit.
Wajar apabila setiap orang berusaha untuk menutupi kekurangannya, tetapi banyak yang melakukannya secara berlebihan (overcompensatie) dan sifatnya pun negatif. Rasa superior ini yang semula diusahakan sebagai penutup rasa rendah dirinya merupakan hal-hal yang palsu. Orang yang memperturutkan rasa rendah dirinya cenderung akan mengarah pada usaha pelarian yang tidak memecahkan persoalannya.
Oleh karena itu, orang-orang yang merasa rendah diri perlu berusaha mengatasi dengan jalan sebagai berikut. Langkah pertama, mencari sebab dalam dirinya sendiri mengapa ia merasa rendah diri, kemudian memikirkan langkah apa yang akan dilakukan sebagai usaha memecahkan persoalan itu. Langkah kedua, yakinlah pada diri Anda bahwa Anda akan mampu mengatasinya, bersikaplah sebagai orang besar bukan sebagai orang kerdil.
Janganlah mengurung diri dan membangun benteng-benteng pelindung yang memisahkan diri Anda dari sesamanya. Jangan mundur dalam kegiatan, sebab mundur berarti kembali kepada persoalannya, bersikaplah maju mencapai tujuan guna menghindarkan diri dari rasa rendah. Setelah itu, catatlah kemajuan-kemajuan yang telah Anda capai dan analisislah, sehingga dapat diketahui apakah Anda meninggalkan rasa kesepian dan rendah diri, sehingga mampu menjadi orang normal.
Dalam bukunya, Dr. Frank S. Caprio mengemukakan Dr. Edward Glover yang mendefinisikan tentang orang yang normal. Dikatakannya bahwa orang yang normal adalah orang yang bebas dari gejala-gejala penyakit, bebas dari konflik mental, mampu bekerja dan mencintai seseorang. Selanjutnya, Dr. Frank S. Caprio menyebutkan sejumlah kualitas pribadi yang normal, antara lain secara emosional ia matang, mampu menerima cobaan hidup yang berat secara bijak, ia mencari kesibukan diri agar tidak kesepian, dapat bekerja sendiri tanpa banyak rasa mengeluh, memiliki gairah hidup, dapat bergaul dan berkpribadian supel, memiliki rasa humor yang mencerminkan keyakinan terhadap dirinya, mampu mencintai dan dicintai, mau belajar dari pengalaman-pengalamannya yang lampau, dan mampu menikmati hidupnya denga rasa optimis.

D.      Ketidakpastian
Ketidakpastian berasal dari kaya tidak pasti yang berarti tidak menentu, sehingga ketidakpastian merupakan hal yang tidak menentu. Dalam ketidak pastian, seseorang terombang-ambing antara  ya dan tidak, sudah atau belum, jadi atau tidak, mau atau tidak mau; sehingga orang demikian selalu dalam keragu-raguan. Karena sulit untuk menentukan pilihan atau belum menentunya suatu keadaan, maka orang yang mengalami ketidakpastian selalu dalam kebimbangan atau kebingungan. Ia pun sering mengalami kegelisahan. Semua ini merupakan gejala-gejala psikis yang dialami oleh orang dalam ketidakpastian yang lama-kelamaan dapat menimbulkan frustasi ataupun stres.
Ditinjau dari segi waktunya, ketidakpastian berada antara waktu sekarang, waktu terjadinya ketidakpastian itu sendiri, wan waktu yang akan datang setelah diperoleh kepastian. Bagi orang yang berkepribadian emosional, ketidakpastian sangat mudah mengundang marah, yang kadang-kadang secara ekstrim diwujudkan dengan memukul-mukul barang untuk melepaskan rasa ketidakpastiannya. Sebaliknya, bagi orang yang memiliki pribadi tenang, ia bersikap biasa saja, tetapi pikirannya berjalan terus untuk mencari penyelesaian. Bagi orang yang berpribadi lemah, ketidakpastian benar-benar menyulitkan hidupnya, dia selalu dalam kebimbangan, keragu-raguan, kebingungan, dan tergambar jelas dalam kegelisahannya. Hal tersebut dapat mengantarkan dirinya menjadi pasien neurotik. Selain berpengaruh pada dirinya, ketidakpastian yang ia rasakan sampai diperoleh kepastian merupakan masa yang cukup menyiksa seseorang dalam hidupnya.
Seseorang dapat mengalami ketidakpastian dalam beberapa hal, di antaranya dalam menentukan pilihan, pada saat-saat harus menunggu, dan kepastian dalam bidang hukum:
a.       Ketidakpastian dalam menentukan pilihan
Seseorang seringkali berada di persimpangan jalan untuk menentukan pilihan, apabila pilihan yang diambilnya sampai salah, maka dapat berakibat fatal. Itulah sebabnya, dalam menentukan pilihan, seseorang perlu berpikir panjang dan tenang agar pilihannya tepat, sehingga membawanya pada keadaan yang positif.
Sebaliknya, apabila yang dipilihnya justru mendatangkan hal-hal yang bersifat negatif tentunya akan merugikan sekali. Untuk menghindarkan hal-hal yang tidak baik tersebut, dalam menentukan pilihan, peranan seseorang yang berpengalaman sangatlah diperlukan.
Apabila seorang diri merasa kesulitan dalam menentukan sesuatu, seyogianya meminta pendapat orang lain yang dapat dipercaya untuk membantunya. Salah satu hal yang berat adalahapabila dalam menentukan pilihan itu, yang mana pun yang akan dipilih akan mendatangkan segi-segi negatif juga, atau banyak yang mengatakan bagaikan makan buah simalakama, dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu yang mati. Tetapi, orang tidak mungkin terus menerus berada dalam ketidakpastian. Oleh karena itu, perlu diambil segera keputusan agar keraguan-keraguan yang menyiksa cepat berakhir sehingga orang dapat tenang dalam hidupnya.

b.      Ketidakpastian dalam menunggu
Ketidakpastian juga dirasakan pada waktu seseorang menunggu, apakah orang atau barang yang ditunggu itu pasti datang atau tidak. Saati itu, seseorang yang dirundung ketidakpastian yang membuatnya gelisah. Berikut ini gambaran bagaimana seseorang mengalami keragu-raguan:
W adalah pacar P. Setiap malam minggu, P sebagai seorang pria menjalankan tugas wakuncar (waktu kunjung pacar). Saat-saat mereka bertemu merupakan saat yang berbahagia karena jiwa mereka saling mengisi. Tetapi saat menunggu datangnya kebahagiaan itu biasanya W selalu merasa gelisah, apalagi kalau P sampai terlambat dari jam biasanya dia berkunjung. Untuk itu, P perlu menunjukkan kepribadian yang meyakinkan bahwa ia dapat dipercaya. Antara lain, datang tepat waktu agar sang pacar tidak terus-menerus dalam keragu-raguan. Terlebih lagi apabila datang pada saat-saat yang akan menentukan pelamaran. Pastikah P datang untuk mengajukan lamaran? Sebab saat yang ditunggu-tunggu itulah yang akan menentukan masa depannya.
Salah satu usaha positif untuk mengurangi ketegangan akibat harus menunggu adalah berbuat sesuatu yang dapat merintangi kebimbangan-kebimbangan yang dialami. Karena pada saat menunggu itu walaupun sebentar akan terasa sangat lama. Orang mengatakan bagaimana membinasakan waktu (to kill the time), dan yang umum dilalukan oleh orang modern adalah membaca. Menunggu sambil membaca masih perlu dibudayakan oleh bangsa Indonesia, sementara hal itu sudah biasa dilakukan oleh bangsa-bangsa lain yang telah maju.

c.       Ketidakpastian dalam hukum
Ketidakpastian juga sering melanda seseorang dalam bidang hukum. Melalui hukum, orang bertujuan untuk mencari pengaturan dalam masyarakat , sehingga sesuatu yang dirasakannya dapat pasti atau tidak lagi membuat seseorang menjadi bimbang atau ragu. Oleh karena itu, hukum yang baik dan sehat adalah yang dapat berlaku dalam waktu lama dan tidak berubah. Hanya seorang negarawan (statesman) yang bijaklah yang mampu menciptakan hukum seperti itu. Hukum yang cepat berubah akan mudah membingungkan rakyat karena tidak banyak orang yang mampu mengikuti perubahan itu sendiri. Fungsi hukum adalah mengatur hubungan seseorang dengan orang lain (hukum perdata) dan hubungan orang dengan negara (pidana); dan setiap pelanggaran hukum tersebut dapat dikenakan sanksi.
Untuk dapat mengatasi ketidakpastian, diperlukan adanya suatu keputusan (decision) agar sesuatu menjadi pasti dan orang tidak lagi dalam keadaan bimbang dan ragu. Pengambilan keputusan (decision marking) yang menyangkut diri seseorang pada umumnya dilakukan oleh orang yang bersangkutan, tetapi pada masa lampau hal itu sering juga dilakukan oleh orang lain. Misalnya, keputusan orang tua mengenai diterima atau tidaknya lamaran seseorang. Untuk memperoleh keputusan yang tepat, orang yang melakukan bermacam-macam cara dan secara umum diperlukan suasana yang tenang atau dapat menenangkan. Untuk menentukan keputusan, ada orang yang memikirkan sambil tiduran atau memejamkan mata, ada yang sambil merokok, ada yang perlu minum kopi dulu, atau jalan-jalan ke pantai. Pada prinsipnya, semua itu dilakukan agar jangan sampai setelah diambil keputusan terjadi hal-hal yang justru merugikan.
Pengambilan keputusan yang menyangkut masyarakat luas atau suatu organisasi, pada umumnya dilakukan melalui rapat atau musyawarah untuk memperoleh kata mufakat. Diharapkan dengan cara tersebut pertimbangan yang diperoleh cukup banyak dan matang. Oleh karena itu, tidak terjadi suatu keputusan yang hasilnya justru negatif, sebab pendapat orang banyak biasanya lebih sempurna daripada pendapat seseorang.
Berdasarkan kenyataan di atas, diharapkan bahwa setelah di ambil suatu keputusan, ketidakpastian dapat dihilangkan. Orang akan menjadikan keputusan  yang telah diambilnya sebagai suatu pedoman dalam hidupnya. Dengan kata lain, orang dapat lebih tenang dalam melaksanakan keputusan karena ketidakpastian telah disingkirkan terlebih dahulu.




sumber:    W, Supartono. 2004. Ilmu Budaya Dasar. Bogor Selatan: Ghalia Indonesia.
Read more ...
Designed By