Breaking News

Sabtu, 15 Oktober 2011

Memenjarakan Angin


Tidak ada henti-hentinya dantidak ada jeranya, Baginda selalu memanggil Abu Nawas untuk dijebak dengan berbagaipertanyaan atau tugas yang aneh-anehdan mustahil bagi orang kebanyakan. Hari ini Abu Nawasjuga dipanggil ke istana. Setelah tiba di istana, Baginda Raja menyambut AbuNawas dengan sebuah senyuman gembira. “Akhir-akhir ini aku sering mendapat gangguan perut. Kata tabibpribadiku, aku kena serangan angin.” kata Baginda Raja memulai pembicaraan.

 “Ampun Tuanku, apa yang bisa hamba lakukanhingga hamba dipanggil.” tanya Abu Nawas.
“Aku hanyamenginginkan engkau menangkap angin dan memenjarakannya.” kata Baginda.
Abu Nawashanya terdiam.Mulutnya tak mampu mengucapkansepatah kata. La bingung memikirkan bagaimana cara menangkap angin nanti tetapi ia masihbingung bagaimana cara membuktikan bahwa yang ditangkap itu memang benar-benarangin. Karena angin tidak bisa dilihat. Tidak ada benda yang lebih aneh dariangin. Tidak seperti halnya air walaupun tidak berwarna tetapi masih bisadilihat. Sedangkan angin tidak.
Baginda hanyamemberi Abu Nawas waktu tidak boleh lebih dari tiga hari. Abu Nawas pulang membawa pekerjaan rumah dariBaginda Raja. Namun Abu Nawas tidak begitu sedih. Karena berpikir sudahmerupakan bagian dari hidupnya, bahkan merupakan suatu kebutuhan. la yakinbahwa dengan berpikir akan terbentang jalan keluar dari kesulitan yang sedangdihadapi. Dan dengan berpikir pula ia yakin bisa menyumbangkan sesuatu kepadaorang lain yang membutuhkan terutama orang-orang miskin. Karena tidak jarangAbu Nawas membawa pulang sepundi penuh uang emas hadiah dari Baginda Raja atas kecerdikannya.
Tetapi sudahdua hari ini Abu Nawas belum juga mendapat akal untuk menangkap angin apalagimemenjarakannya. Sedangkan besok adalah hari terakhir yang telah ditetapkanBaginda Raja. Abu Nawas hampir putus asa. Abu Nawas benar-benar tidak bisatidur walau hanya sekejap.
Mungkin sudahtakdir; sepertinya kali ini Abu Nawas harus menjalani hukuman karena gagal melaksanakanperintah Baginda. la berjalan gontai menuju istana. Di sela-sela kepasrahannyakepada takdir ia ingat sesuatu, yaitu Aladin dan lampu wasiatnya.
“Bukankah jinitu tidak terlihat?” Abu Nawas bertanya kepada diri sendiri. la berjingkrakgirang dan segera berlari pulang. Sesampai di rumah ia secepat mungkinmenyiapkan segala sesuatunya kemudian menuju istana. Di pintu gerbang istanaAbu Nawas langsung dipersilahkan masuk oleh para pengawal karena Baginda sedangmenunggu kehadirannya.
Dengan tidaksabar Baginda langsung bertanya kepada Abu Nawas. “Sudahkah engkau berhasilmemenjarakan angin, hai Abu Nawas?”
“Sudah Padukayang mulia.” jawab Abu Nawas dengan muka berseri-seri sambil mengeluarkan botolyang sudah disumbat. Kemudian Abu Nawas menyerahkan botol itu.
Bagindamenimang-nimang botol itu. “Mana angin itu, hai Abu Nawas?” tanya Baginda.
“Di dalam,Tuanku yang mulia.” jawab Abu Nawas penuh takzim.
“Aku takmelihat apa-apa.” kata Baginda Raja.
“AmpunTuanku, memang angin tak bisa dilihat, tetapi bila Paduka ingin tahu angin,tutup botol itu harus dibuka terlebih dahulu.” kata Abu Nawas menjelaskan.Setelah tutup botol dibuka Baginda mencium bau busuk. Bau kentut yang begitumenyengat hidung.
“Bau apa ini,hai Abu Nawas?!” tanya Baginda marah.
“Ampun Tuankuyang mulia, tadi hamba buang angin dan hamba masukkan ke dalam botol. Karenahamba takut angin yang hamba buang itu keluar maka hamba memenjarakannya dengancara menyumbat mulut botol.” kata Abu Nawas ketakutan.
TetapiBaginda tidak jadi marah karena penjelasan Abu Nawas memang masuk akal. Danuntuk kesekian kali Abu Nawas selamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By