Breaking News

Minggu, 20 November 2011

Jurus Menggerus Virus “Bajak Sana Bajak Sini”


Oleh: HendroTri Utomo, Mahasiswa Fakultas Teknologi Informasi, Sistem Informasi InstitutTeknologi Sepuluh Nopember.
Semut di seberang lautan tampakjelas, gajah di pelupuk mata kasat mata. Mungkin, peribahasa inilah yang palingtepat untuk menggambarkan kondisi Indonesia saat ini. Isu perseteruan antaraIndonesia dan Malaysia yang sedang hangat, seolah memacu semangat“nasionalisme” Indonesia untuk mempertahankan aset Indonesia dari intervensinegara tetangga kita ini. “Ganyang, ganyang, ganyang” kata-kata inilah yangsering diteriakkan orang-orang yang mengaku “cinta” Indonesia. Tidak ada yangsalah dengan fenomena ini. Setiap orang yang haknya direbut oleh orang lainsecara paksa atau tanpa izin pasti akan marah. Suatu hal yang wajar.
Yang menjadi pertanyaansekarang adalah bagaimana jika bangsa kita sendirilah yang menjadi “tersangka”perampasan hak orang lain? Apakah kita masih bisa dengan lantang berteriak“ganyang”? Faktanya, bangsa kita sendiri selama beberapa dekade ini tidakpernah luput dengan budaya “bajak sana, bajak sini”. Pernahkah kita menghitung,berapa banyak perangkat lunak (software) bajakan yang telah kita pakai selamaini? Pernahkah kita meniti, berapa banyak film, sinetron, dan lagu dalam negeriini yang dengan enaknya menjiplak karya orang lain? Tidak perlu mencaci bangsalain dahulu. Kita harus mau membuka mata bahwa pembajakan, perampasan hak oranglain, begitu banyak terjadi di internal bangsa kita sendiri.
Selamatdatang di “heaven of pirates”.
Laporantahunan ke-7 2009 oleh BSA (Business Software Alliance) yang dirilis Mei 2010,mengungkapkan bahwa Indonesia masih menjadi 15 besar negara dengan tingkatpembajakan software tertinggi di dunia. Dalamlaporan tersebut, Indonesia bertengger di peringkat ke-12 dengan persentasepembajakan 86%. Total kerugian yang ditimbulkan mencapai US$ 886 juta atausetara Rp 8 triliun.
Description: http://kem.ami.or.id/wp-content/uploads/2011/09/630.-Hendro-Jurus-Menggerus-Virus-Bajak-Sana-Bajak-Sini-2.jpg
Tabel1. 15 Negara dengan tingkat pembajakan tertinggi dan terendah 2009 (BSA-2010)
Dimata internasional, Indonesia dikenal sebagai negara pembajakan (piracy state) atau surgapara pembajak (heaven ofpirates). Setelah membajak perangkat lunak (software), buku, barangelektronik dan pakaian dianggap sebagai suatu hal yang lumrah, pembajakan jugamelakukan “ekspansi” di bidang makanan, farmasi, dan bidang-bidang lainnyaAkibatnya adalah semakin memburuknya citra Indonesia di mata internasional.Atas “prestasi”-nya tersebut, negara kita sukses mengantongi gelar PriorityWatch List (PWL)oleh United States Trade Representative (USTR)”sejak tahun 2001. Gelartersebut merupakan predikat buruk bagi negara-negara yang wajib untuk“diwaspadai” dalam industri perdagangan. Tahun 2008, Indonesia sempat berhasilmenanggalkan gelar yang memalukan ini. Namun, tahun 2009, Indonesia kembalimengantonginya karena ternyata pelanggaran HAKI kembali marak, bahkan semakinparah.
Faktadi lapangan sendiri tidak jauh berbeda dengan data yang ada, bahkan jauh lebihparah. Jika diteliti lebih lanjut, mungkin tingkat pembajakan di Indonesiatidaklah 86%, namun bisa saja 90% atau mungkin 99%. Lihat saja, hampir segalajenis produk dapat kita temukan versi bajakannya di Indonesia. Mulai dari Software,CD, DVD, Film / musik, handphone, serta beragam perangkat elektronik lainnyaseperti TV, VCD/DVD player pun juga ada. Beberapa produk memang bukan murnihasil produksi Indonesia, tetapi distribusi barang bajakan tersebut diIndonesia dapat dikatakan sebagai yang terbesar di dunia.
Pembajakandan “efek domino”-nya.
Dampak pembajakan sangat mengerikan.Citra buruk karena pembajakan mengancam eksistensi industri dalam negeri.Bagaimana industri lokal dapat bersaing di dunia internasional, ketika aksesekspor justru terancam ditutup oleh negara-negara lain? Hal ini diperparahdengan beredar luasnya produk dengan merek-merek asing bajakan di pasar lokal.Akibatnya industri lokal pun banyak yang berguguran. Pengangguran meningkat,kemiskinan pun tidak terhindarkan. Menurut badan pusat statistik (BPS),pengangguran di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 9.258.964. Sedangkan jumlahpenduduk miskin mencapai 11.910.500 jiwa.
Harapanbangsa
Lalu,seandainya suatu hari kita mampu menekan dan mendegradasi pembajakan di negeriini, apakah nasib bangsa Indonesia akan berubah? Jawabnya adalah “ya”. IDC (International Data Corporation)dalam risetnya menemukan bahwa penurunan pembajakan software PC dapatmenghasilkan manfaat ekonomi signifikan. Dimana apabila pembajakan softwaredapat diturunkan sebesar 10% saja dalam empat tahun maka hal tersebut akanmenambah pendapatan bagi pemerintah sebesar $24 miliar tanpa harus meningkatkanpajak. Pada faktanya, IDC memperkirakan bahwa tiap satu dollar nilai softwarelegal yang dijual di suatu negara, maka akan mencul penghasilan tambahansebesar $34 bagisektor layanan lokal dan perusahaan distributor software dalam negeri. Hal inijuga mampu menciptakan sekitar peluang 3000 lapangan kerja baru, danmeningkatkan penghasilan industri lokal lebih dari 1.5 juta dolar AS.
Selain dari sisi ekonomi,apabila pembajakan dapat diminimalkan, dari sisi perkembangan industri dalamnegeri pun bisa dipastikan akan mengalami perubahan yang menguntungkan.Industri perfilman, industri manufaktur, industri musik, dan industri-industriyang lain akan mampu meningkatkan kuantitas dan kualitas produksinya, tanpaharus takut terkena imbas dari pembajakan. Jika hal ini dapat diwujudkan,niscaya produk dan karyakarya Indonesia pasti dapat bersaing di kancahInternasional.
JurusMenggerus Virus “Bajak Sana Bajak Sini”
Berbagaiupaya pemberantasan pembajakan telah ditempuh beberapa elemen masyarakatseperti pemerintah, komunitas-komunitas nirlaba, kepolisian, hingga masyarkatumum. Sebagai referensi, dari pihak pemerintah sendiri sampai saat ini telahmengeluarkan berbagai peraturan perundangan yang memberikan perlindungan HaKI(Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002), didukung pula dengan fatwa MUI (MajelisUlama Indonesia) mengenai kekayaan intelektual Nomor 1/MUNAS VII/MUI/15/2005.Sementara itu, pihak kepolisian pun juga kerap melakukan sweeping penggunaan dan penjualan produkbajakan. Di kalangan akademisi dan masyarakat umum pun mulai banyak bermunculankomunitaskomunitas alternatif yang memberikan solusi antipembajakan sepertikomunitas Open Source dan sejenisnya (alternatifuntuk menghindari pembajakan software).
Yangmenjadi pertanyaan sekarang, jika semua pihak telah melakukan upaya untukmemberantas pembajakan, lalu kenapa kasus pembajakan di Indonesia masih tidakkunjung reda? Jawabnya cukup sederhana, yakni karena tidak adanya penangananyang serius dan terpadu untuk menggerus pembajakan. Ibaratkan obat, dosis yangdiberikan tidaklah cukup untuk mematikan penyakit ini. Fakta yang terjadi, saatdi satu sisi pihak kepolisian gencar melakukan sweeping produk bajakan, tetapi di sisiperadilan, para pelaku malah dihukum ringan atau bahkan dibebaskan. Di satusisi komunitas-komunitas alternatif mulai tumbuh, mereka menjawab kepentinganakan produk alternatif yang asli dan murah (misal: software open source). Namundi sisi lain, lingkungan justru menekan hingga mereka tidak memiliki kesempatanuntuk berkembang. Produk alternatif yang seharusnya sama baiknya dengan produkumum, tidak dibiarkan masuk dan dipandang sebelah mata.
Sejak dini, perilaku “maklum”terhadap pembajakan secara tidak sadar telah dipupuk oleh masyarakat Indonesia.Lihat saja, hampir di semua lembaga pendidikan tidak segansegan menggunakansoftware bajakan dalam proses pendidikannya. Dengan dalih “demi pendidikan”,hal yang semula tidak baik menjadi lumrah dan dimaafkan.
Dari sini, dapat disimpulkanbahwa faktor utama timbulnya pembajakan sebenarnya bukanlah karena faktorketerbatasan ekonomi atau produk, tetapi karena hal ini telah menjadi budayayang telah mengakar kuat sejak lama. Oleh karena itu, satu-satunya cara untukmenggerus pembajakan adalah dengan melakukan pemberantasan dengan “dosis” yangpas. Setiap pihak harus mulai menurunkan kadar “maklum”nya dan berani tegasatas segala bentuk pembajakan. Apakah hal ini mungkin? Tentu saja, toh beberapanegara seperti Inggris, Amerika dan Jepang terbukti mampu melakukannya. KenapaIndonesia tidak?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By