Breaking News

Selasa, 07 Juni 2011

Akhlak atau Etika dalam Perspektif Filsafat Islam

Upaya perumusan etika di dalam sejarah Islam dilakukan oleh berbagai pemikir dari berbagai cabang pemikiran–termasuk di dalam-nya, ulama hukum (syari’at, eksoteris, fuqaha, legalistik), para teolog (ahli kalam), para mistikus (kaum sufi, ortodoks), dan para filosof. Berkaitan dengan ini Haidar Bagir [1] membaginya ke dalam empat kelompok besar, di antaranya adalah.
1.  Semua manusia baik yang Muslim maupun yang non-Muslim pada hakikatnya memiliki pengetahuan fitri (innate nature) tentang baik dan bu-ruk. Hal ini dapat diketahui dengan memperhatikan firman Allah Swt dalam surat al-Syams [91]: 8-9, “Maka Dia (Allah Swt) mengilhamkan kepa-danya (jiwa manusia) yang salah dan yang benar. Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan jiwanya. Dan sesungguhnya rugi besar orang yang mengotorinya”. Rasulullah Saw juga mengajarkan dalam haditsnya, agar untuk mengetahui sesuatu itu apakah baik ataukah buruk, maka hendaklah menanyakan kepada hati nurani (qalb atau dlamir). Dan dalam haditsnya yang lain beliau juga menyatakan, “Perbuatan baik adalah yang membuat hatimu tenteram, sedangkan perbuatan buruk adalah yang membuat hatimu gelisah”. Dari sinilah muncul ungkapan bahwa Islam berpihak pada teori tentang etika yang bersifat fitri. Di sinilah letak bertemunya filsafat Islam dengan filsafat Yunani era Socrates dan Plato, serta Kant dari masa modern. Tampaknya, para pemikir Islam dari berbagai pendekatan sama sepakat mengenai hal ini. Namun, sebagian di antaranya – yakni kaum Mu’tazilah (kaum teolog rasional) dan para filosof pada umumnya percaya bahwa manusia-manusia (yang qualified, tentunya) mampu memperoleh pengetahuan tentang etika yang benar dari pemikiran rasional mereka. Ini berbeda dengan pandangan kaum Asy’ariyyah (teolog tradisional), kaum mistikus (kaum ortodoks), juga para ulama ahli hukum (syari’at, eksoteris, fuqaha, legalistik) di mana mereka lebih menekan-kan pada peran wahyu sebagai sarana untuk mencapai pengetahuan etika manusia – meskipun barangkali ‘hanya’ sebagai sarana untuk mengu-dar potensi etis yang sebenarnya sudah merupakan bawaan dalam diri manusia itu sebagaimana yang telah dijelaskan dalam firman Allah Swt dan sabda Rasulullah Saw tadi.

2.     Dengan merujuk al-Quran yang mencirikan (memberikan identitas) ka-um Muslimin sebagai kaum yang mengambil jalan tengah (moderat), dan juga merujuk kepada Nabi Muhammad Saw yang diketahui secara luas mengajarkan bahwa urusan yang terbaik adalah pertengahannya. Sehingga dengan ini moderasi (hadd al-wasath) Aristoteles adalah pandangan filsafat yang sejalan dengannya, di mana moralitas dalam Islam didasar-kan kepada keadilan, yakni menempatkan segala sesuatu pada porsinya. Tentunya tanpa merelatifkan etika itu sendiri, nilai suatu perbuatan diyakini bersifat relatif terhadap konteks dan tujuan perbuatan itu sendiri. Dengan demikian, dapat diyakini bahwa etika itu bersifat rasional. Di si-ni, sekali lagi kaum tradisional memiliki pandangan yang berbeda. Bagi mereka, tindakan etis adalah tindakan yang sejalah dengan wahyu, se-bagaimana direkam dalam tradisi (Nabi Saw). Ini dapat dilihat di beberapa firman Allah Swt yang lain yang berkenaan dengan ini, misalnya dalam surat Luqman [31]: 5, “Mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”. Su-rat al-Baqarah [2]: 58, “Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman, ‘Masuklah kamu ke negeri ini (Bait al-Maqdis) dan makanlah dari hasil buminya yang banyak lagi enak di mana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud, dan katakanlah, ‘Bebaskanlah kami dari dosa, niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu. Dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik”. Begitu juga dalam surat al-A’raf [7]: 16, “Iblis menjawab, ‘Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya akan benar-benar (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus”. Ibn Miskawaih – begitu juga mungkin Nasr al-Din al-Tusi – menegaskan bahwa, kebahagiaan baru bisa dianggap paripurna jika telah mencakup juga kebahagiaan fisik. Dengan tegas beliau menolak juga bahwa keba-hagiaan baru bisa diperoleh pelakunya di akhirat setelah kematiannya kelak. Baginya, kebahagiaan itu bisa diraih sejak kehidupan di dunia ini. Inilah sebagai tujuan tindakan etis.
Berkenaan dengan ini Haidar Bagir dalam catatan kakinya memberikan ilustrasi sebuah kisah. Di sana dikisahkan ada seorang ulama yang meni-kah dengan seorang wanita cantik. Ketika itu malam menjelang tiba–kita semua tahu makna “malam pengantin” bagi sepasang pengantin baru. Karena sang ulama merasa masih ada sedikit waktu luang sebelum ia menemui istrinya di kamar tidur, ia masuk ke perpustakaan pribadinya (mungkin karena masih ada tamu yang belum pulang). Tanpa direnca-nakannya, ia tertarik membaca satu kitab yang ada di sana. Saking asyik-nya membaca, ia lupa. Tidak terasa, malam pun berlalu dengan cepat hingga adzan subuh dikumandangkan. Baru pada saat itu sang ulama tersadar. Ternyata ia telah menghabiskan malam pertamanya di perpus-takaan. Ia pun bergegas menemui istrinya sambil meminta maaf karena telah melewatkan malam pertama dengan tidak sebagaimana mestinya.[2]
Dengan ilustrasi ini didapatkan informasi bahwa jika manusia melakukan sebuah kebaikan, maka ia akan memperoleh pula suatu kebahagiaan tersendiri. Bagi sebagian orang menganggap kenikmatan malam perta-ma adalah “puncak” kebahagiaan dalam kehidupan mereka, sehingga tindakan yang dilakukan oleh ulama tadi bisa dianggap sebagai tinda-kan bodoh. Akan tetapi berbeda bagi sang ulama tadi, membaca buku dan memperoleh pengetahuan baru dianggapnya suatu kebahagiaan puncak, persis seperti tolok ukur eudemonia Aristotelian tersebut di atas. Cepat atau lambat tindakan etis itu akan membawa si pelaku kepada kebahagiaan baik secara disadari atau tidak, disepakati atau tidak.
3.     Pada prinsipnya setiap perbuatan bersifat netral nilai. Tindakan baik dan buruk dapat dinilai secara berbeda bergantung pada penerapannya. Maling budiman seperti Rohin Hood misalnya yang mencuri harta milik orang-orang kaya yang egoistis untuk kemudian dibagi-bagikan kepada rakyat yang miskin dan tertindas, dapat dinilai sebagai bukanlah tindakan tercela, bahkan orang yang mencuri karena haknya tidak diberikan tetapi kemudian ia tertangkap dan terbunuh, maka ia dipercayai sebagai mati dalam keadaan syahid, demikian sebagaimana diungkapkan oleh Ibn Hazm al-Dhahiri sebagaimana yang dikutip oleh Haidar Bagir[3]. Dan pada akhirnya, tindakan etis itu sekaligus dipercayai pada puncaknya akan bisa menghasilkan kebahagiaan bagi si pelaku.
4.     Tindakan etis itu bersifat rasional, tetapi kaum rasionalis Muslim tidak bisa sependapat dengan anggapan – sebagaimana yang dilontarkan oleh Immanuel Kant, meskipun dalam banyak masalah kefitrian dorongan etis pendapatnya justru sejalan dengan Islam–bahwa menggunakan nalar dalam merumuskan etika akan mengakibatkan perselisihan pendapat yang tak pernah bisa dipersatukan. Justru, menurut mereka, Islam sangat percaya kepada rasionalitas sebagai alat dalam mendapatkan kebe-naran. Tepatnya, adalah intelektualitas (‘aql dan qalb). Disinilah Kant dan al-Ghazali bersesuaian. Keduanya lebih menekankan kepada faktor kewajiban (deon) – dimana yang satu berdasarkan nalar praktis, sedangkan yang satunya lagi mendasarkannya pada wahyu sebagai sumber tindakan etisnya, dan keduanya juga bersepakat bahwa etika lebih primer dibandingkan dengan metafisika yang dibangun atas dasar nalar murni yang rapuh dan tak dapat dijadikan sebagai dasar perumusan etika.
Tetapi disamping kesamaan dan kesepakatan antara Immanuel Kant dan al-Ghazali ada juga titik-titik perbedaan diantara keduanya. Rasionalitas Kant terletak pada metodenya dalam menganalisis etika, sementara kesimpulan Kant justru adalah: sumber tindakan etis bukanlah rasio atau nalar (murni). Rasionalitas metode yang digunakan Kant mencakup pen-dekatannya yang menekankan kepada kausalitas, sifat aktif pelaku dalam suatu tindakan, apresiasinya terhadap perubahan sosial sebagai sa-lah satu faktor yang perlu dipertimbangkan dalam etika, dan kepercaya-annya bahwa betapapun juga rasio masih berperan – kalau tidak dalam perumusan etika – yakni dalam pemikiran-pemikiran nonmetafisis. Ini-lah bedanya dengan al-Ghazali yang menolak rasio nyaris secara total dan menolak pula kausalitas, serta lebih menekankan kepada kehendak Allah Swt ketimbang karsa manusia. Jadilah tindakan etis secara eks-klusif bersumber dari Tuhan, bukan saja nilai-nilainya, melainkan juga kehendak dan kemampuan untuk bertindak etis itu sendiri. Mungkin ia dipengaruhi oleh ikutannya, yakni teologi Asy’ariyah dan sekaligus ke-tertokohannya sebagai seorang mistikus ortodoks


[1] Haidar Bagir. Op. cit. hal. 18-20
[2] Ibid. hal. 20.
[3] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By