Breaking News

Selasa, 06 September 2011

Hubungan Tasawuf dengan Tauhid dan Akhlak


         Setiapmanusia harus mengenal Allah, mempercayai-Nya dengan penuh keyakinan didasaridengan firman Allah dan sabda Rasul. Dipertajam dan diperkokoh degan seringdzikir kepada-Nya dan mau bertafakur atas makhluk-Nya. Jadi tidaklah cukuphanya dengan pendapat pikiran atau hanya berupa itikad atau kepercayaan yangsumbernya hanyalah naluri atau akal manusia saja.
            Seorang sufi sebenarnya adalahseorang Ulil Albab, atau seorang cendekiawan muslim, apabila dalam jalan yangditempuhnya itu berdasarkan kepada dzikir kepada Allah sepanjang masa, tafakuratas kejadian langit dan bumi, juga selalu mempererat persaudaraan di antaraorang-orang yang beriman.

            Firman Allah dalam surat Ali Imranayat 190 dan 191 yang artinya sebagai berikut.

“Sesungguhnya pada kejadian langit danbumi dan silih bergantinya siang dan malam (dengan teratur) menjadi tanda(bukti atas adanya Allah dan Maha Besar kekuasaan-Nya) bagi kaum Ulil Albab.”

“Yaitu orang-orang yang ingat kepadaAllah di saat sedang berdiri, duduk dan waktu berbaring. Dan mereka memikirkankejadian langit dan bumi, (lantas berdo’a): ‘Ya Tuhan kami, bukanlah Engkaumenciptakan semua ini dengan percuma, Maha Suci Engkau. Maka peliharalah kamidari azab neraka.”

Dalamsurat al-Ra’du ayat 21 yang artinya.

“Dan orang-orang Ulil Albab(cendekiawan muslim) itu adalah orang-orang yang menghubungkan silaturrahmisebagaimana diperintahkan Allah agar dilaksanakan. Dan mereka takut akanTuhannya, juga khawatir atas hisab yang buruk.”
           
Keyakinanyang terdapat dalam hati manusia itu bertingkat-tingkat, yaitu dari ‘ilmal-yakin kepada ‘ain al-yakin, kemudian kepada haqq al-yakin. Al-Qur’an sendirimemberikan gambaran secara urut dan mempunyai skala yang menarik, yaitupengetahuan yang diperoleh dari kesimpulan atau ilmu yakin kepada pengetahuanyang diperoleh dari penglihatan atau pengamatan, yaitu ‘ainul yakin. Kemudianberujung kepada pengetahuan yang diperoleh dengan pengalaaman sendiri atauintuisi atau biasa dalam agama dinamakan haqqul yakin. Perhatikan firman Allahdalam surat al-Takatsur ayat 5-7 dan surat al-Haqqah ayat 51.
            Pengetahuan bentuk pertama, ilmuyakin, akan tergantung kepada kebenaran dari dugaan awal pada deduksi, atauhanya kemungkinan seperti pada induksi. Adapun pengetahuan bentuk kedua, ‘ainulyakin, adalah pengetahuan yang didasarkan atas pengalaman observasi ataueksperimerimentasi, atau pengalaman sejarah yang didasarkan laporan-laporan danpenggambaran dari pengalaman aktual. Adapun pengalaman batin atau pribadiadalah sumber pengetahuan ketiga yakni haqqul yakin. Pengalaman melalui batinmemberikan derajat pada tingkat yang paling tinggi. Dan petunjuk Allahmula-mula datang kepada makhluk-Nya dari sumber anfus itu. Oleh karena ituketiga bentuk ini tidak harus berkontoversi, tetapi harus konsisten secarastruktural.
            Mengenai arti ‘yakin’ ini para sufiberbeda pendapat, namun pada prinsipnya sama, yaitu; yakin adalah musyahadahatau menyaksikan kenyataan, hilangnya pertentangan yang terus menerus terhadapsesuatu, keyakinan diketahui dengan hati, bukan hanya terlihat dengan mata.
            Adapun orang yang telah mampumeletakkan ketiga bentuk keyakinan teersebut berarti ia telah mampu meletakkanal-anfus al-kamilah pada tempatnya. Hal ini sangat mempengaruhi peri kehidupanyang wujud disertai penuh ketenangan dan ketaatan menjelaskan makna dan isisyari’at Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, sehingga tidak begitu sajamudah terkena godaan pengaruh duniawi yang dapat melalaikan kepada Allah Swt.
            Apabila dengan filsafat saja akanlahir peristiwa-peristiwa kontroversial, diperdebatkan dan dipercekcokkan, baikdi dalam diri kita sendiri. Maupun dalam masyarakat, maka dengan Agama Islam,filsafat akan menampilkan konsistensi, kemantapan dalam bertindak, dan keutuhanantara iman, akal dan rasa, demikian pula konsistensi antara aspek atau domain/bidang:kognitif, afektif dan psikomotorik; juga antara cipta, rasa dan karsa.Konsistensi antara iman, ilmu dan amal. Jadi konsistensi antara otak, hati danotot itu satu sama lainnya hendaknya tidak kontroversial. Ke arah itulahseharusnya langkah membentuk pribadi muslim yang paripurna dan harus tetapbersumber kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, juga pendapat bersama para ulama,sehingga keyakinannya tidak mudah terpengaruh oleh akibat negatif dari kemajuanilmu pengetahuan, teknologi modern dan budaya lainnya. Terutama dalam eraglobalisasi yang melanda dunia ini dan modernisasi yang sedang kita laksanakanyang apabila tidak ada keseimbangan antara pembangunan bidang fisik materil danbidang mental spirituil, dikhawatirkan bergesernya nilai-nilai kebudayaandipengaruhi kebudayaan asing yang bertentangan dengan agama.
            Iman merupakan landasan pokokdaripada akhlak dan tasawuf. Dengan iman inilah setiap manusia mempunyaikekuatan moral sebagai pendorong untuk melaksanakan kebaikan dan menjauhikeburukan. Apabila iman seseorang lemah, maka lemahlah akhlaknya. Oleh karenaitu seringkali kita temukan  dalamal-Qur’an seruan Allah Swt kepada orang-orang yang beriman untuk beramalshalih, atau yang beramal shalih itu hendaknya didasari oleh iman yang baik danbenar.
            Allah Swt berfirman dalam suratal-Baqarah ayat 177 yang artinya sebagai berikut.

“Bukanlah kebaikan itu mengarahkanmukamu ke arah timur dan barat, tetapi kebaikan itu ialah keimanan kepadaAllah, hari kiamat, para Malaikat, Kitab-kitab, Nabi-nabi, dan memberikan hartayang disukai kepada kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir,orang yang minta-minta, memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat, membayarzakat, menepati janji yang sudah dibuat, sabar waktu mengalami kesempitan, penderitaandan dalam peperangan.”
           
            Selanjutnya perhatikan surat-suratal-Hujurat, 11-13; dan surat al-Nur ayat 27.
            Dalam hubungannya dengan tasawuf,tauhid itu merupakan pangkal tolak berangkat memasuki tasawuf dan kemali kepadaAllah yang Maha Esa yang menjadi kerinduan seorang shufi dengan carameningkatkan mahabbah kepada-Nya. Peningkatan ini misalnya dengan caraseringnya mengucapkan kalimat tauhid, senantiasa dzikir, istighfar, tahmid,tasbih, takbir, mengagungkan Allah dengan pengakuan bahwa diri adalah makhlukyang tidak berdaya, dan selalu berada dalam keadaan lemah.
            Menurut kaum shufi kedudukan akalitu lemah, hanya sebagai alat untuk beribadah, bukan untuk meneliti tentangketuhanan, memang akal itu biasa mampu mengubah keadaan alam, namun apabilaakan mempergunakannya untuk meneliti pencipta Alam tersebut maka akal itu akanhancur, oleh karena itu untuk mengenal Allah dan mahabbah kepada-Nya hendaknyadengan iman dan tauhid.
            Al-Junaid berpendapat bahwa ada duacara untuk mengenal Allah yaitu dengan ma’rifat ta’aruf dan ma’rifat ta’rif.Ma’rifat ta’aruf adalah bahwa Allah mengenal diri-Nya dan orang akan mengetahuitentang sesuatu karena diri-Nya. Adapun ma’rifat ta’rif adalah bahwa Allahmengenalkan dirinya melalui pengaruh-pengaruh kekuasaan-Nya baik dalam alamsemesta, maupun dalam diri manusia sendiri. Tentu saja cara ini harus ditempuhmelalui tharikat mu’tabarah.
            Semua tharikat yang ditempuh olehmanusia untuk mendekatkan diri kepada Allah hendaknya didasari tauhid, bilatidak, maka tharikat itu akan menyimpang dari jalan yang lurus.
            Selanjutnya apabila tasawuf inidihubungkan dengan akhlak, maka pengaruh tasawuf yang diharapkan adalah agarorang dapat menjadi ikhlas dalam amal dan berjuang, semata-mata karena Allah,tidak karena maksud yang lain. Sedangkan hal-hal yang harus diamalkan itudijelaskan dalam ilmu akhlak, termasuk hal-hal kemasyarakatan, juga jalan yangharus ditempunya. Jelaslah bahwa akhlak adalah permulaan dari tasawuf dantasawuf adalah ujung dari akhlak.
            Kaum shufi memandang ajaran Islamdari dua aspek, yaitu aspek lahiriah (seremonial) dan aspek bathiniyah(spiritual), yang disebut juga sebagai aspek dalam, dan aspek luar. Aspek dalaminilah yang merupakan pendalaman dan pengalaman yang paling utama dengan tidakmengabaikan aspek luarnya yang dimotivasikan untuk membersihkan jiwa jaditanggapan perenungannya lebih mengutamakan rasa dan  renjana (rindu, cinta kasih, rasa hati yangkuat), lebih mementingkan pengagungan Tuhan dan bebas dari egoisme.
            Untuk merehabilisir sikap mentalyang tidak baik, menurut orang shufi tidak akan berhasil baik apabila terapinyahanya dari aspek lahiriyah saja. Itulah sebabnya pada tahap-tahap awal memsukikehidupan shufi, seorang murid diharuskan melakukan amalan dan latihankerohanian yang cukup berat.
Sistem pembinaan akhlaknya disusun sebagai berikut.
-         Takhally, langkah membersihkan diri, misalnya dengan taubat,hati dengan ikhlash dan jiwa dengan murasabah.
-         Tahally, langkah menghiasi diri dengan takwa, hati dengansidiq, dan jiwa dengan musyahadah.
-         Tahally, langkah memantapkan, memperdalam, memelihara diridengan istiqamah, hati dengan tuma’ninah, dan jiwa dengan ma’rifat.

Demikianlahhubungan tasawuf dengan akhlak, yang apabila kita kaji selanjutnya, maka dengantakhally dlam rangkaian sistem pendidikan mental itu, orang shufi mengarahkanpeluru pertamanya ke arah penguasaan nafsu duniawi, dan segala aspek sertaekses-ekses negatif yang ditimbulkannya dengan melalui tharikat shufi, kemudiandengan tahally seorang shufi menghiasi diri, mengisi kalbu dengan dibiasakannyadalam rangka pembentukan manusia paripurna, antara lain dengan siddiq, penuihharap tetapi tetap ada khawatir. Selanjutnya dengan tajally, seorang shufimemperdalam rasa ketuhanannya antara lain dengan munajat, dzikir maut, istiqamah,tuma’ninah dan ma’rifat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By