Breaking News

Selasa, 06 September 2011

Zuhud dan Pengertiannya


      Al-zuhud secara harfiah berarti tidak inginkepada sesuatu yang bersifat keduniawian.[1] Sedangkan menurut Harun Nasution zuhudartinya keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian.[2] Selanjutnya al-Qusyairi mengatakanbahwa di antara para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan zuhud. Sebagianada yang mengatakan bahwa zuhud adalah orang yang zuhud di dalam masaah yangharam, karena yang halal adalah sesuatu yang mubah dalam pandangan Allah, yaituorang yang diberikan nikmat berupa harta yang halal, kemudian ia bersyukur danmeninggalkan dunia itu dengan kesadarannya sendiri. Sebagian ada pula yangmengatakan bahwa zuhud adalah zuhud dalam yang haram sebagai suatu kewajiban.[3]

       Zuhud termasuk salah satu ajaranagama yang sangat penting dalam rangka mengendalikan diri dari pengaruhkehidupan dunia. Orang yang zuhud lebih mengutamakan atau mengejar kebahagiaanhidup di akherat yang kekal dan abadi, daripada mengejar kehidupan dunia yangfana dan sepintas lalu. Hal ini dapat dipahami dari isyarat ayat yang berbunyi:

قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيْلٌوَالاَخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلاَ تُظْلَمُوْنَ فَتِيْلاً (النساء: 77)

   “Katakanlah kesenangan di dunia ini hanyasebentar dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa, dan kamutidak akan dianiaya sedikitpun.”[4]

وَمَا الْحَيَوةُالدُّنْيَا اِلاَّ لَعِبٌ وَلَهْوٌ وًّللدَّارُ الاَخِرَةُ خَيْرٌ لِّلَّذِيْنَيَتَّقُوْنَ اَفَلاَ تَعْقِلُوْنَ(الانعام:32)

   “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selaindari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebihbaik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidaklah kamu memahaminya.”[5]

فَمَا مَتَاعُ الْحَيَوةِ الدُّنْيَا فِىالاَخِرَةِ اِلاَّ قَلِيْل (التوبة: 38)

   “Padahal kenikmatan hidup di dunia ini(dibandingkan dengan kehidupan) akhirat hanyalah sedikit.”[6]

            Ayat-ayat tersebut di atas memberi petunjuk bahwa kehidupandunia yang sekejap ini dibandingkan dengan kehidupan akhirat yang kekal danabadi, sungguh tidak sebanding. Kehidupan akhirat lebih baik dari kehidupandunia. Allah lebih lanjut berfirman:

وَالأَخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى

            “Sedangkan kehidupan akhiratadalah lebih baik dan lebih kekal.”[7]

            Orang yang memiliki pandangan yangdemikian tidak aka mau mengorbankan kebahagiaan hidupnya di akhirat hanyakarena mengejar duniawi yang sementara. Orang yang demikian akhirnya akanterpelihara dari melakukan hal-hal yang negatif. Ia selalu berbuat yangbaik-baik saja. Hal ini sejalan dengan hadis Nabi Saw yang menyatakan:

اِذَا رَاَيْتُمُ الرَّجُلَ فَقَدْ اُوْتِىزَهِدًا فىِ الدُّنْيَا وَمُنْطِقًا فَاقْتَرَبُوْا مِنْهُ فَاِنَّهُ يُلَقِّنُالْحِكْمَةَ.

    “Jika kamu melihat seseorang yang telah dianugerahi sifatzuhud dalam dirinya dan selalu lurus sikapnya, maka dekatlah orang itu, karenaorang itu yang telah meyakini hikmah.”[8]

            Sikap zuhud sebagaimana telahdisebutkan di atas, menurut Harun Nasution, adalah sikap yang harus ditempuholeh seorang calon sufi. Sikap ini dalam sejarah buat pertama kali munculketika terjadi kesenjangan antara kaum yang hidup sederhana dengan para rajayang hidup dalam kemewahan dan berbuat dosa. Mu’awiyah misalnya disebut sebagairaja Roma dan Persia yang hidup dalam kemewahan. Anaknya bernama Yazid dikenalsebagai pemabuk.[9] Demikian pula halnya dengankhalifah-khalifah Bani Abbas. Al-Amin, anak Harun al-Rasyid juga dikenal dalamsejarah sebagai orang yang kepribadiannya jauh dari kesucian, hingga ia dibencioleh ibunya sendiri, Zubaidah.
            Sementara itu sumber lainmenyebutkan bahwa sebelum timbul hidup mewah di zaman Mu’awiyah dan Abbasiyahitu telah timbul pula sikap perlombaan dan persaingan tidak sehat di zamanUsman dan Ali. Dalam keadaan demikian ada sahabat yang tidak mau melibatkandiri. Mereka mengasingkan diri dari persaingan tersebut.
            Berkaitan dengan keadaan demikianitu, maka timbullah sikap zahid. Para zahid Kufahlah yang pertama kali memakaipakaian kasar sebagai reaksi terhadap pakaian sutera yang dipakai golonganMu’awiyah. Mereka itu seperti Sufyan al-Tsauri (w. 135 H), Abu Hasyim (w. 150H), Jabir ibn Hasyim (w. 190 H), Hasan Basri (w. 110 H) dan Rabi’ah al-Adawiyah.[10]


[1]Mahmud Yunus. Kamus Arab … hal. 158.
[2]Harun Nasution. Falsafat dan … hal. 64.
[3]Al-Qusyairi, al-Naisabury. Al-Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tasawuf.(Mesir: Dar al-Khair. t.t.). hal. 115.
[4]Q.S. al-Nisa, [4]: 78.
[5]Q.S. al-An’am, [6]: 32.
[6]Q.S. al-Taubah, [9]: 38.
[7]Q.S. al-A’la, [87]: 17.
[8]Al-Qusyairiyah, al-Naisyabury. Al-Risalah al-Qusyairiyah … hal. 115.
[9]Harun Nasution. Falsafat dan … hal. 64.
[10]Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 197.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By